Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Anggaran Pendidikan 20 Persen

Kompas.com - 05/02/2013, 03:40 WIB

Selepas libur awal tahun 2013, Yuni Anggraeni (13), warga Desa Sukamaju, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, enggan pergi ke sekolah karena orangtuanya tak mampu membayar uang gedung di SMP setempat sebesar Rp 400.000. Padahal, Yuni baru masuk SMP tahun 2012.

Di Desa Sukamukti, masih di Kecamatan Majalaya, sejumlah warga setempat, Ekon Mulyadi (33), Adang Setiawan (54), dan Anang Usmayadi (45), rata-rata hanya tamatan SD. Mereka bekerja sebagai penambang pasir.

”Sebenarnya, ada keinginan untuk sekolah tinggi, tetapi apa daya, ekonomi keluarga saya tak memungkinkan. Saya sempat melanjutkan pendidikan di SMP, tapi hanya kuat sampai kelas I,” ungkap Ekon.

Itulah sekilas potret rendahnya pendidikan masyarakat di provinsi yang menjadi penyangga utama ibu kota republik ini. Rendahnya partisipasi pendidikan menengah, salah satu faktornya karena jumlah siswa dari SMP yang dapat tertampung setiap tahun pada SMA/SMK hanya setengahnya atau sekitar 50 persen.

Angka partisipasi pendidikan tinggi di Jabar termasuk yang terendah di Indonesia. Pada tingkat pendidikan menengah, posisi tahun 2010 dan 2011 berada di urutan ke-32. Tahun 2012, berada di urutan ke-31 atau termasuk tiga terbawah di Indonesia. ”Kondisinya memang seperti itu. Namun, untuk tingkat partisipasi kasar pendidikan di tingkat SD sudah mencapai 117,18 persen. Di SMP 93,97 persen atau berada dalam posisi 10 besar di Indonesia,” kata Sekretaris Dinas Pendidikan Jabar Dedi Sutardi.

Pemerintah pusat menargetkan tingkat partisipasi kasar untuk pendidikan seluruh jenjang di semua provinsi pada tahun 2020 mencapai 97 persen. ”Target tersebut bakal sulit dipenuhi di Jawa Barat,” ujar Dedi.

Saat ini, berdasarkan data Dinas Pendidikan Jabar, tingkat partisipasi kasar (TPK) pendidikan menengah atas tahun 2011 masih 67 persen. Sebaliknya, Bappeda Jabar mencatat, TPK pendidikan menengah atas di Jabar tahun 2010 baru sebesar 46,37 persen.

Fakta ini sesungguhnya amat memprihatinkan. Jabar sebagai penyangga utama Ibu Kota juga merupakan provinsi yang pertama mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dimulai pada tahun anggaran 2009. Pada 2013 bahkan dialokasikan lebih dari Rp 2 triliun. Itu setidaknya mengisyaratkan adanya perhatian yang besar dari jajaran pemerintahan di Jabar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pembangunan di bidang pendidikan.

Namun, fakta juga menunjukkan, indeks pembangunan manusia di wilayah berpenduduk 49,1 juta jiwa itu ternyata baru mencapai 72,82 poin, masih di bawah target tahun 2011 sebesar 73,24 poin. Posisi ini masih di bawah sejumlah provinsi lain di Pulau Jawa, seperti Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, juga dengan sejumlah provinsi di luar Jawa, yakni Riau, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.

Ruang kelas baru

Pencapaian tersebut merupakan sebuah ironi. Mengapa? Karena hampir semua wilayah di Jabar sesungguhnya bisa dijangkau dengan kendaraan bermotor. Itu berarti, sebagian besar sarana dan prasarana pendidikan semestinya memadai.

Di Jabar juga terdapat sekitar 400 perguruan tinggi swasta, juga sedikitnya 10 perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi negeri itu di antaranya Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Pendidikan Indonesia.

Sadar dengan keterbatasan itu, Pemerintah Provinsi Jabar pada tahun 2011-2013 memprogramkan pembangunan 18.000 ruang kelas baru. Tahun 2013 diselesaikan 6.000 ruang kelas baru, dengan biaya sekitar Rp 600 miliar. Selain itu, Pemprov Jabar mengalokasikan pula sekitar Rp 800 miliar untuk pendampingan dana bantuan operasional sekolah (BOS) serta beasiswa untuk siswa miskin.

Sekitar 50 persen atau sekitar Rp 1,4 triliun anggaran pendidikan digunakan untuk membiayai ruang kelas baru, BOS, dan beasiswa miskin. Ruang kelas baru yang ditargetkan sebenarnya sebanyak 27.000 unit, tetapi mesti dilaksanakan secara bertahap (18.000 unit terlebih dahulu). Program ini sebagai salah upaya untuk mencapai angka partisipasi SMA 95 persen.

Selama 2011-2012 juga telah dilakukan rehabilitasi ruang kelas sekitar 5 persen dari total 400.000 ruang kelas SD-SMA. ”Jadi, saat ini hampir tidak ada lagi sekolah yang rusak di Jawa Barat,” kata Kepala Dinas Pendidikan Jabar Wahyudin Zarkasyi.

Namun, dari alokasi anggaran sekitar Rp 2 triliun untuk pendidikan itu, di antaranya dialokasikan untuk membayar gaji pegawai di lingkungan dinas pendidikan sebesar Rp 232 miliar. Sementara sekitar Rp 400 miliar dialokasikan, antara lain, untuk membiayai kegiatan fungsi pendidikan, termasuk di satuan kerja perangkat daerah di luar dinas pendidikan.

Peta masalah

Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Mohamad Ali menilai, program yang dilakukan Pemprov Jabar melalui pembangunan ruang kelas baru secara besar-besaran, pendampingan BOS, dan penyaluran beasiswa miskin tak menjawab persoalan. Program tersebut lebih berorientasi pada sisi suplai.

Padahal, untuk membangun pendidikan harus melihat pula sisi permintaan (demand) terhadap pendidikan. Ada empat macam karakteristik aspirasi terhadap pendidikan. Pertama, kalangan yang mampu secara ekonomi dan mempunyai aspirasi yang bagus terhadap pendidikan. Kedua, yang mampu secara ekonomi, tetapi permintaan terhadap pendidikan rendah.

Ketiga, mereka yang tak mampu secara ekonomi, tetapi mempunyai aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan. Kelompok keempat adalah mereka yang tidak berdaya secara ekonomi, sekaligus aspirasi yang rendah terhadap pendidikan.

”Dari program itu, pemerintah lebih menggarap kelompok satu dan tiga. Padahal, bantuan itu justru paling dibutuhkan kelompok keempat yang jumlahnya sangat besar. Itu terjadi karena pemerintah tidak memiliki peta persoalan pendidikan baik soal demand pendidikan itu sehingga kebijakan yang diambil tidak efektif,” kata Ali.

Prof Endang Sutari, mantan Rektor IAIN Gunung Jati Bandung, mengingatkan, Pemprov Jabar jangan hanya mengejar target pendidikan secara kuantitas, melainkan juga harus memperhatikan aspek kualitatif. Alokasi anggaran 20 persen harus diarahkan pula untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di bidang pendidikan. ”Dukungan dan perhatian yang berkeadilan oleh pemerintah juga perlu diberikan kepada sekolah-sekolah swasta sebab jumlah sekolah swasta justru lebih banyak dibandingkan dengan negeri,” kata Endang.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan, problem kemajuan pendidikan di Jabar salah satunya karena persoalan regulasi. Di era otonomi daerah, kewenangan pengelolaan pendidikan secara penuh dimiliki pemerintah kabupaten/kota. Pemprov hanya berwenang mengelola sekolah luar biasa dan sekolah bertaraf internasional.

Sekretaris Dewan Pendidikan Jabar Bambang Haryono menegaskan, tidak satu orang pun percaya jika disebutkan Jabar masih tertinggal di sektor pendidikan. Akan tetapi, fakta yang ada ini menimbulkan pertanyaan besar, apa saja yang dikerjakan pemerintah di Jabar sehingga sektor pendidikan masih terpuruk?

”Salah satu penyebab adalah pengelolaan pendidikan di tingkat sering diserahkan kepada orang yang tak kompeten, yang tak punya visi yang baik,” ujar Bambang.

Periode 2013-2018, pembangunan pendidikan di Jabar bukan hal yang mudah. Diperlukan sosok gubernur yang bukan saja tegas dan berwibawa, melainkan juga mempunyai visi yang kuat di bidang tersebut. Dia harus mampu menggunakan dan menyinergikan segala potensi yang ada. (SEM/REK/DMU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com