Lenongan Satir Si Bakil

Kompas.com - 19/02/2013, 00:54 WIB

Di tangan para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, sebuah karya Molière, Si Bakil, menjadi sebuah komedi ala lenong. Garapan sutradara Jolly Masnarsijabat dan Farie Judhistira memang mengocok perut, bahkan terlalu membuat penonton sibuk tertawa.

Di panggung yang tertata mirip panggung komedi situasi ala Srimulat, lengkap dengan balai-balai, pintu rumah, juga pintu dan jendela sebuah kamar di depan rumah, Badu mengendap-endap. Ia mengintip lubang kunci pintu di dinding samping kamar, sedikit berisik.

Juragan Malik, yang diintip, mendengar suara gaduh. Ia membuka jendela di sisi depan kamar, melongokkan kepalanya keluar jendela lalu menoleh ke kiri-kanan. Penonton tergelak karena Malik tak bisa melihat Badu yang mengintip dari lubang kunci pintu.

Penonton makin tergelak ketika Badu mengendap bak berpantomim, mendekati jendela kamar di depan rumah sang juragan kikir. Begitu Badu mengintip dari sela jendela, Malik justru sedang membuka pintu kamar dan mencari-cari. Badu tak melihat Malik, Malik pun tak melihat Badu, penonton kian lepas tertawa. Akhirnya ”ketegangan” itu tentu saja mudah diduga, Malik memergoki Badu mengintip kamarnya.

Itulah secuplik adegan Si Bakil, sebuah saduran atas karya pujangga Perancis, Moliere, yang digarap Himpunan Mahasiswa Program Studi Teater IKJ dan dipentaskan, 8-9 Februari 2013, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Molière, nama panggung Jean-Baptiste Poquelin, menciptakan komedi L’Avare ou l’Ecole du mensonge sebagai drama satir atas situasi Paris.

L’Avare pertama kali dipentaskan di ibu kota Perancis, itu pada 1668. Secara komedik, Molière mengolok ketamakan kaum bangsawan Perancis yang bergelimang harta di atas kemiskinan rakyatnya. Naskah itu disadur Teater Koma menjadi drama pendek Si Bakil, dan pernah dimainkan di TVRI pada 1979. Di panggung para mahasiswa IKJ, Si Bakil hadir menjadi lenongan yang sungguh jenaka.

Si Bakil berporos kepada kekikiran Juragan Malik si rentenir. Juragan Malik menjodohkan dua anaknya, Masnin (Anneke Kartika Sari) dan Manan (Andi Baso Machmud), dengan duda dan janda kaya raya. Masalahnya, Masnin ingin menikahi Slamet (Syahputra Ramadhan), kekasih yang rela jadi juru tulis Juragan Malik demi bisa berdekatan dengan Masnin. Sementara Manan ingin menikahi Neng Anna (Tri Oktavianty).

Jalinan kisahnya memang mengolok-olok kekikiran Juragan Malik yang diperankan jenaka oleh Indra Achoy. Kisah berakhir mudah karena ternyata Neng Anna dan Slamet adalah kakak-beradik anak seorang kaya bernama Raden Musa. Akhirnya, Masnin dan Manan menikahi kekasih mereka.

 

Membumikan

Sutradara Jolly Masnarsijabat dan Farie Judhistira benar-benar membumikan drama komedi satir Perancis itu menjadi lenongan Betawi. Mulai dari penjual kerak telor yang hadir di atas panggung mereka, dialog para pelakon yang kental dengan dialek Betawi pinggir, juga adegan salah pukul atau salah timpuk ala lenong, serta bahasa pelesetan di berbagai adegan yang dilumasi Fadlil, mahasiswa IKJ bertubuh mini yang memerankan Tarsius.

Keseleo lidah muncul di sana-sini, misalnya Ali si koki (Richard Kalipung) yang salah menyebut dirinya sebagai juru tulis. Syafrudin yang memerankan Bin Gaus tampil dengan suara sengau dan celotehan asalnya. Si Bin Gaus ini adalah rentenir kelas gurem, yang menjanjikan pinjaman uang untuk biaya kawin lari Manan dan Neng Anna.

Celakanya, ternyata Bin Gaus adalah kaki tangan Juragan Malik. Seluruh plot Si Bakil yang memang lucu berhasil digarap lucu pula oleh Jolly dan Farie.

Dosen IKJ Frans Joseph Gintings pun menyebut pilihan garapan Jolly dan Farie berhasil mengundang tawa penonton.

”Namun, penonton yang repot tertawa tak akan sempat menangkap kegetiran satir L’Avare. Sindiran tentang sifat tamak dan kikir seperti menguap diembusi lawakan demi lawakan itu,” kata Frans.

Menurut Frans, komedi selalu memberikan kesempatan pelakon mengabaikan penghayatan karakter yang mereka mainkan. Itu seperti jebakan komedi, yang menjauhkan aktor dari proses penghayatan peran.

”Lenongan memang sedang jadi tren dan itu mengundang penonton. Semakin banyak mahasiswa ataupun kelompok teater yang lebih memilih menggarap naskah sebagai komedi situasi dan semakin jarang kelompok teater memainkan naskah realis. Situasi itu memperparah semakin langkanya naskah teater realis baru,” kata Frans.

Masalahnya, begitu menurut Frans, sekadar lucu tak cukup untuk mengasah pelakon jadi aktor watak.

”Mahasiswa program studi teater harus lebih berani menggarap teater realis yang memang membutuhkan latihan panjang, riset yang mendalam untuk menangkap situasi dan konteks naskah garapannya, lalu mengeksekusi semua jerih payahnya di panggung. Itu akan memacu kemampuan pelakon,” kata Frans.

(Aryo Wisangeni G

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau