SURABAYA, KOMPAS.com - Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur meminta Ujian Nasional (UN) ditinjau kembali, karena tidak mengakomodasi "multiple intelegensia" mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik yang menjadi tujuan dan semangat Kurikulum 2013.
"Kami menyetujui perubahan kurikulum selama perubahan kurikulum itu menjamin pengembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa secara seimbang," kata Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Prof Dr Zainudin Maliki MSi, di Surabaya, Rabu (20/2/2013).
Didampingi Sekretaris Dewan Pendidikan Jatim Prof Dr Gempur Santoso M.Kes, ia mengemukakan hal itu ketika menyampaikan rekomendasi Semiloka Kurikulum oleh Dewan Pendidikan Jatim di Sidoarjo pada 19-20 Pebruari 2013.
Semiloka yang diikuti Dewan Pendidikan Se-Jatim, Perguruan Tinggi, Kepala Sekolah, Badan Musyawarah Perguruan Swasta Jawa Timur, dan PGRI Jawa Timur itu menghadirkan narasumber yakni Dr Sulistiyo (Ketua Umum PB PGRI), Prof Dr Anita Lie (anggota Tim Penyusun Kurikulum 2013), dan Achmad Muzakki MAg M.Phil PhD (Dewan Pendidikan Jatim).
"Rekomendasi dari Semiloka Kurikulum yang berjumlah 12 pandangan itu kami sampaikan kepada Mendikbud Mohammad Nuh dengan tembusan kepada Gubernur Jatim, Ketua DPRD Jatim, dan Kepala Dinas Pendidikan Jatim," katanya.
Menurut dia, Dewan Pendidikan Jatim menyetujui asumsi dasar penyusunan Kurikulum 2013 yang mempersiapkan anak menjadi kreatif dan progresif, sehingga lebih siap memaksimalkan potensi diri dan kekayaan bangsa.
"Jadi, Kurikulum 2013 jangan mengulangi kesalahan kurikulum sebelumnya yang melahirkan bias kognitif saja, sehingga hanya melahirkan anak cerdas tetapi tidak responsif terhadap pengembangan potensi diri dan bangsa," katanya.
Oleh karena itu, Dewan Pendidikan Jatim mendesak sosialisasi Kurikulum 2013 perlu dilaksanakan secara simultan dan berkelanjutan kepada seluruh penyelenggara dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan agar memahami kurikulum 2013 dengan baik.
"Proses pelatihan dan pendampingan Kurikulum 2013 harus bersifat partisipatif dengan melibatkan asosiasi penyelenggara pendidikan seperti LP Maarif NU, Majelis Pendidikan Muhammadiyah, PPLP PGRI, lembaga pendidikan Katolik, lembaga pendidikan Kristen, Taman Siswa, dan organisasi pendidikan yang sejenis, serta melibatkan media massa," katanya.
Dalam rekomendasi itu, Dewan Pendidikan Jatim memberikan empat catatan yakni UN, buku babon, panduan untuk orang tua, dan penambahan jam belajar. "Jika UN digunakan sebagai strandar penentu kelulusan, maka pelaksanaan UN perlu ditinjau kembali, karena tidak mengakomodasi multiple intelegensia," katanya.
Tentang Buku Babon, Dewan Pendidikan Jatim menilai Buku Babon cenderung mematikan kreativitas guru dan bahkan mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap guru.
"Apabila pemerintah tetap menerbitkan buku babon itu, maka guru harus tetap diberi ruang untuk berekspresi dalam menyusun buku turunan berbentuk modul pembelajaran dan buku manual," katanya.
Catatan penting lainnya, Dewan Pendidikan Jatim mendesak perlunya disusun buku panduan pelaksanaan Kurikulum 2013 untuk orang tua agar kurikulum dipahami dan memperoleh dukungan aktif dari orang tua, sehingga orang tua akan mengarahkan anaknya dalam pergaulan dengan teman dan membatasi "pergaulan" dengan media massa elektronika dan jaringan telekomunikasi yang tidak mendidik.
"Kami juga menyoroti penambahan waktu belajar yang justru akan melahirkan anak-anak menjadi a-sosial. Karena itu, tambah jam belajar dengan mendesain kegiatan belajar siswa di luar jam belajar dalam berbagai bentuk assignment/penugasan tentang kesamaan, keadilan dan kesetaraan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.