Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TKI yang Menjadi Pengajar Bahasa Korea

Kompas.com - 06/03/2013, 11:13 WIB
Cornelius Helmy Herlambang

Penulis

KOMPAS.com - Tahun 2009, Haris Pratama Ibrahim mendapat penghargaan dari Pemerintah Korea Selatan sebagai TKI Teladan Bidang Sosial dan Kemasyarakatan. Hal itu berawal saat dia bersama tukang las, pencetak logam, dan pengolah limbah menjadi duta bangsa Indonesia dalam festival rakyat yang digelar di Ansan, salah satu kota di Korea Selatan.

Pada 2008, Wali Kota Ansan menawari tenaga kerja Indonesia di kota itu untuk ikut memeriahkan festival rakyat menjelang musim gugur. Mereka tampil bersama 19 duta negara lain.

Jadilah di bawah koordinasi Haris, para tenaga kerja Indonesia (TKI) memperkenalkan keragaman Indonesia. Ada pameran delapan baju daerah dan prosesi pernikahan adat Jawa. Mereka juga ambil bagian dalam pertandingan olahraga. Televisi Korea Selatan (Korsel), Arirang TV, meliput festival itu.

”Tak hanya mewakili Indonesia, keikutsertaan ini juga bentuk hormat kami kepada warga Korea,” kata Haris, warga Kampung Pagerageung Kidul, Desa Pagerageung, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, ini.

Pemerintah Kota Ansan menganggap wakil Indonesia paling kreatif. ”Ada Bali di Korea”, kata Haris menirukan ucapan pengunjung.

Terpisah 5.400 kilometer, warga di Pagerageung ikut menikmati festival lewat Arirang TV yang dipancarkan satelit. Meski tak memahami bahasa Korea, mereka mengenal pemeran utamanya.

”Rupanya itu menjadi film dokumenter, judulnya About Haris. Semua kegiatan saya dari bangun pagi, bekerja, sampai mempersiapkan festival rakyat ada gambarnya. Meski TKI, kami bisa mengharumkan nama Indonesia,” ujarnya.

Haris bercerita, awal keberadaannya di Korsel pada 1999 semata alasan ekonomi. Berbekal semangat, pengalaman menjadi tukang las, dan bisa menuliskan namanya dalam bahasa Korea, ia pergi ke Korsel.

Haris bekerja di pabrik perakit komponen truk di kota Cheon Ju. Ia mencuri perhatian atasannya sejak hari pertama sebab mampu mengelas 50 komponen dudukan kepala truk per dua jam. Sementara pekerja Korsel umumnya membuat 50 komponen per delapan jam.

”Saya dipuji, tetapi diberi pekerjaan tiga kali lipat lebih banyak. Saya tak mengeluh karena sejak awal ingin bekerja dengan baik,” katanya.

Meski kemampuan teknisnya diacungi jempol, ia tak luput dari kesalahan. Haris kerap kena marah atasan karena hal sepele. Apalagi ia tak bisa berbahasa Korea. ”Setahun pertama saya sering dimarahi bos karena belum mahir bahasa Korea. Saat dia minta dibawakan meteran, saya malah bawa ember.”

Tabungan ludes

Pengalaman itu membuat dia bertekad menguasai bahasa Korea. Apalagi saat Haris tahu bahwa untuk mengajukan penambahan izin kerja, dia harus bisa berbahasa Korea. Saat itu ia hanya punya izin kerja untuk dua tahun.

Tanpa guru, ia mencoba berbagai metode belajar bahasa Korea. Menggunakan kapur, ia menuliskan dalam bahasa Latin setiap kata baru di batang besi las. Ia lalu bertanya pada pekerja setempat arti kata itu. Setiba di rumah ia berusaha mengingatnya, lalu melihat penulisannya di kamus.

”Saya sempat dianggap merusak karena bahan las saya tulisi kapur. Namun, waktu saya jelaskan sedang belajar bahasa Korea, atasan saya malah memuji,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com