Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendongeng demi Kemandirian

Kompas.com - 09/03/2013, 03:35 WIB

IDA SETYORINI

Sekelompok anak mengantre hendak membeli tiket kereta api di loket. Mereka harus menyebutkan tujuannya dan membayar harga tiket. Mereka lalu mencari bangku yang bernomor sama dengan nomor pada tiket. Pemandangan itu tak terjadi di stasiun, tetapi di ruang kelas TK YPAC Jakarta, di Jalan Hang Lekiu III/19.

Bersama anak-anak yang umumnya mengalami cerebral palsy itu, tiga guru terus mengingatkan mereka untuk mengingat nomor tiket dan bangku yang sesuai. Mereka sedikit kesulitan mencari bangku sesuai tiket karena di kelas itu mereka biasa duduk di bangku masing-masing yang berbeda warnanya. Ada anak yang menolak duduk di bangku sesuai tiket karena ingin duduk di bangkunya sendiri.

Seorang guru lalu memainkan kibor dan mengajak mereka menyanyi. Ia berperan sebagai kondektur yang menagih, lalu membolongi tiket di tangan anak-anak.

Setiap hari kelas berisi 15 anak berusia 6-11 tahun itu penuh kegiatan. Mereka tak hanya duduk di kelas, tetapi juga ke luar kelas guna mengenal lingkungan sekolah. Mereka juga mendapat pelajaran membuat makanan sederhana dan jus buah.

Seperti hari itu, mereka belajar tentang alat transportasi, kali ini kereta api. Awalnya, siswa terkejut karena bangku kelas disusun seperti di gerbong. Sisi luar gerbong berupa kain panjang dengan tempelan dua tampah sebagai roda kereta. Bangku terdepan untuk masinis. Ada juga penjual tiket di loket.

Sosok kreatif di balik kegiatan itu adalah sang guru, Agoes Abdoel Rakhman (46). Pria lulusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, itu sejak awal memilih pendidikan luar biasa untuk berkarier.

”Dulu, ketika mau kuliah, saya memilih kedokteran, psikologi, dan pendidikan luar biasa. Saya gagal masuk dua pilihan pertama, tetapi saya bersyukur diterima di pilihan ketiga. Studi di pendidikan luar biasa memungkinkan saya mendapat semuanya, para pengajar kami adalah dokter dan psikolog,” kata Agoes.

Selepas kuliah tahun 1994, ia bergabung di YPAC Jakarta dan menangani murid setingkat SMP. Selama 3-4 tahun menjadi guru, Agoes mulai mencari metode pengajaran yang lebih efektif dan mudah diterima siswa. Sama seperti siswa pada umumnya, anak berkebutuhan khusus (ABK) pun mampu berkonsentrasi pada suatu hal jika mereka tertarik.

Jadi, Agoes mulai bercerita dan mendongeng dengan melibatkan siswa sebagai tokoh dalam menyampaikan materi pelajaran. Ia membuat alat-alat bantu sederhana untuk membuat bunyi-bunyian, moda transportasi, boneka kertas, hingga papan penanda. Ruang kelas penuh warna. Karya siswa dalam berbagai bentuk menghias dinding.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com