Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berharap Loyang Jadi Emas

Kompas.com - 26/03/2013, 08:46 WIB

Oleh Yudhistira ANM Massardi

KOMPAS.com - Di sekolah gratis yang kami kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, kurikulum diberikan secara individual, bukan massal, dan tidak disakral-sakralkan.

Seperti di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik saat ini, para guru membuat kurikulum berdasarkan kebutuhan tiap siswa. Untuk itu, mereka harus memahami tahap perkembangan (piaget), kecerdasan jamak (gardner), cara kerja otak (medina) dan gen (ridley/murakami), serta domain kurikuler.

Pembelajaran diselenggarakan dengan Metode Sentra dari AS yang diadopsi oleh Wismiarti Tamin di Sekolah Al-Falah, Jakarta Timur, tahun 1996. Kurikulum mengalir fleksibel, berpusat kepada siswa, dikemas secara tematik-integratif-eksploratif, dan membangun rasa bahagia. Tujuannya: membangun insan kamil yang cinta belajar.

Program gagal

Tulisan Mendikbud Mohammad Nuh, ”Kurikulum 2013” (Kompas, 7/3), dengan semangat ”pokoknya Kurikulum 2013 harus jalan”, selain defensif, juga terlalu normatif dan simplistis karena mengabaikan proses pelaksanaan di lapangan.

Mendikbud juga menegaskan, Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar ”...kajian KBK 2004 dan KTSP 2006” yang merupakan program gagal, tetapi tetap dijadikan landasan menjawab ”tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045”.

Kurikulum 2013 adalah proyek yang anggarannya membengkak dari rencana awal, menjadi Rp 2,49 triliun. Konon, untuk biaya pelatihan 1,1 juta guru Rp 1,09 triliun dan pengadaan 72,8 juta eksemplar buku Rp 1,3 triliun. Siapa bisa menjamin itu tidak dikorupsi, misalnya, untuk dana politik 2014?

Kenyataannya, di sekolah-sekolah tertentu pelaksanaan dirancang dengan pendampingan berjenjang yang persiapan teknis dan sumber daya manusianya begitu rumit sehingga saat ini belum ada langkah nyatanya.

Proses sosialisasi pun belum dilaksanakan secara nasional sehingga para guru masih melongo tak paham. Padahal, tahun ajaran baru tinggal beberapa bulan lagi.

Dengan kata lain, jika proyek yang mahal dan gaduh itu gagal, harap dimaklumi saja.

Tantangan masa depan

Tantangan abad ke-21 dan generasi 2045 (menandai 100 tahun Proklamasi Kemerdekaan) adalah membangun manusia bebas yang berkeahlian sesuai minat dan kemampuan individual (era intelegensia). Jadi, proses pendidikan seharusnya tidak lagi totaliter seperti awal abad ke-19 (memenuhi kehendak politik para diktator), robotik (memenuhi kehendak para industrialis), dan kolonialistik/kleristik (memenuhi kehendak para penjajah dan melahirkan mental pegawai).

Pendidikan menuju masa depan adalah pendidikan yang membebaskan, membuka pintu bagi anak didik agar bisa mewujudkan cita-cita sesuai minat dan bakat masing-masing. Mereka akan menjadi pribadi mandiri yang siap saling berkolaborasi.

Kata kuncinya adalah kurikulum harus bisa menjawab secara konkret-operasional problematik yang disebutkan Mendikbud dalam tulisannya, ”...para peserta didik SD belum terlatih berpikir abstrak”. Siapa yang harus membangun kemampuan berpikir abstrak anak-anak SD itu?

Benar, untuk itu, ”peran bahasa menjadi dominan”. Namun, memangnya penguasaan, pemakaian, dan pola pengajaran bahasa Indonesia di republik ini sudah baik dan benar, khususnya kalangan pendidik dan pemimpin?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com