KOMPAS.com - "Berhenti mengecam kegelapan, nyalakan lilin". Tagline itu hadir dalam refleksi Trisa Melati ini saat menjadi seorang guru ke daerah terpencil melalui program Indonesia Mengajar.
Pemilik gelar Master of Arts dari Leiden University ini peduli pada pendidikan anak sejak cerpennya yang berjudul “Liburan Ardi” memenangkan juara 1 nasional Lomba Menulis Cerpen Anak MANCA tahun 2004 hingga kemudian membawanya ke SDN 10 Rambang, Sugihan, Rambang, Muara Enim, Sumatera Selatan.
Nyatanya, perjalanan Trisa bertemu dengan anak-anak kelas V tak hanya membuatnya untuk sekadar melakukan misi sosial yang diembannya, tetapi juga membawanya pada refleksi bahwa tujuan mulia hanya bisa dicapai dengan bekerja sama. Generasi sebelumnya "menanam", generasi setelahnya "menyiram", dan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, setiap upaya yang diperjuangkan bisa mendatangkan dampak positif bagi orang lain.
Semua orang memiliki fungsinya masing-masing. Jadi, berkaryalah dengan maksimal mulai dari diri Anda sendiri, apa pun peran Anda.
Yakinlah bahwa prestasi baik yang Anda capai akan menjadi nyala lilin bagi lingkungan sekitar. Dan bersama dengan rekan-rekan yang bekerja untuk tujuan mulia itu, terang akan mengalahkan kegelapan dalam pendidikan Indonesia.
Merah putih berkibar berlatarkan awan mendung yang menggelayuti langit. Sudah pukul 8 pagi, namun gelap seperti masih pukul 6. Di ujung lapangan rumput di ujung talang, sebuah bangunan kecil berdiri. Berbeda dengan titik lainnya yang sepi karena sebagian besar penghuninya sudah pergi nakok[1], bangunan berdinding warna kuning itu justru ramai dan gaduh oleh suara anak-anak. Seolah-olah seluruh aktivitas di talang Airguci hanya berpusat di situ. Itu adalah sekolahku tersayang.
Dan anak-anak bukan satu-satunya sumber keramaian tersebut. Dengan ruangan yang kecil, disekat seadanya dengan papan triplek, 5 rombongan belajar dengan total 45 anak dan 5 guru di dalamnya, tentulah ruangan berukuran 7x5 itu tidak bisa dikatakan sepi. Tenggorokanku kering dan agak perih karena dipaksa memekik nyaring. Murid-muridku mengerutkan kening mereka karena tak peduli seberapa keras aku berteriak, suaraku tetap bercampur dengan suara lainnya. Akhirnya aku berhenti dan menunggu kegaduhan mereda. Meskipun sulit, karena di sekat kelas 1 dan 2 sepertinya flow mengajar terus-terusan tinggi.
Hari ini aku menyadari sesuatu: makin sulit mempertahankan agar suaraku terdengar oleh murid kelasku di tengah bisingnya suara dari kelas-kelas sebelah. Kami, para guru seperti saling berperang mengatasi suara masing-masing. Suaraku tidak juga cukup kuat. Sejauh yang kuingat, tidak pernah sesulit ini sebelumnya.
Lalu, menyadari apa yang sebetulnya tengah terjadi, dalam hati aku bersyukur: “kebisingan” ini adalah indikator bahwa guru-guru lain mulai disiplin hadir untuk mengisi jam pelajarannya.
Sewaktu zaman Dimas, PM pendahuluku, mengajar di sini, bahkan secara administratif—yang tercatat—hanya ada 3 guru untuk 5 rombongan belajar, kurang 2 guru dari yang seharusnya. Dan dari 3 orang tersebut konon ada saja yang jarang masuk, dan sekalipun masuk pastilah di atas pukul 8. Otomatis, kondisinya adalah 5 rombongan belajar ini kekurangan guru dan Dimas harus mengisi kekosongan tersebut. Tidak jarang Dimas harus memegang kelima rombongan belajar itu sekaligus. Mungkin bagi sebagian PM, merupakan kebanggaan tersendiri jika bisa memegang banyak rombongan belajar sekaligus. Aku sendiri pun sewaktu masa training sempat “berharap” akan mendapatkan sekolah penempatan dengan kondisi “menantang” seperti itu.
Sekitar 2 bulan yang lalu, aku ingat orang tua piaraku berkata, “kamu seharusnya seperti Dimas, dia mengajar semua kelas sehingga semua murid kenal dengannya. Kalau kamu kan hanya mengajar kelas 5.”
Memang ucapan tersebut sempat membuatku sedih dan merasa minor, aku merasa diriku kurang kompeten. Tapi ketika aku menanyakan pada diriku sendiri: kira-kira mengapa aku tidak bisa seperti Dimas?
Aku menemukan jawabannya:
Karena kini semua guru hampir selalu hadir tepat waktu!