Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa Pun Bersemangat Menerjang Barito

Kompas.com - 28/04/2013, 04:30 WIB

Murid-murid Sekolah Menengah Pertama Persatuan Guru Republik Indonesia Pendreh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, adalah pelajar yang sangat bersemangat menempuh ujian nasional. Mereka rela mencarter kelotok (sampan) untuk mengikuti ujian meski sebagian dari mereka kini hidup sebatang kara atau masih dirundung duka.

Baru sekitar pukul 05.30, sejumlah siswa berkumpul di dermaga kecil di Desa Pendreh, Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara, pekan lalu. Wajah mereka berseri-seri. ”Cindy sudah datang belum?” tanya Kepala Sekolah Menengah Pertama Persatuan Guru Republik Indonesia (SMP PGRI) Pendreh Inirisius, mengabsen muridnya.

”Belum Pak,” jawab beberapa siswa. Mereka dengan sabar menunggu kedatangan kawannya. Di kejauhan, beberapa siswi terlihat berlari-lari kecil. Pendreh merupakan daerah pedalaman, jauh dari pusat kota besar, letaknya sekitar 400 kilometer dari Palangkaraya, Ibu Kota Kalteng.

Sekitar pukul 06.00, satu per satu siswa turun menuju kelotok. Hanya beberapa batang balok dengan undakan curam menjadi titian menuju kelotok. Jika tak berhati-hati, tak ayal sungai akan menyambut murid yang terjerembab. Kelotok itu mereka sewa selama 18 hari untuk menyusuri Sungai Barito.

Selama empat hari, kelotok dipakai untuk mengangkut siswa yang akan mengikuti ujian nasional (UN) di SMP Negeri 4 Muara Teweh di Desa Lemo II, Kecamatan Teweh Tengah, Barito Utara. Sebelumnya, mereka mengikuti ujian praktik dan ujian akhir sekolah di SMPN itu. Setiap siswa dipungut iuran sebesar Rp 350.000.

Sambil menunggu, beberapa siswa bersenda gurau. Namun, keceriaan itu tidak berlangsung lama. Saling tunggu menjadi risiko yang harus dihadapi. Hingga sekitar pukul 06.30, dua guru belum juga tiba. Raut-raut muka siswa peserta UN pun cemas.

”Aduh lamanya. Ada dua guru belum datang. Pasti kami terlambat sampai di tempat ujian,” ujar Krismonika Eka (14). Ia gelisah. Ternyata, kedua guru itu sudah berangkat lebih dahulu.

Tak bisa berenang

Seusai tali penambat kelotok dilepaskan, sekitar pukul 06.45, sampan itu mulai menempuh perjalanan mendebarkan. Wajah cemas tetap membayangi siswa SMP PGRI Pendreh, saat harus menyusuri sungai. ”Kami takut. Gelombang sungai yang besar sewaktu-waktu bisa membuat kapal oleng, bahkan terbalik,” ungkap Sifa Amelia (15), pelajar.

Benar saja. Sebuah tongkang melintas tak jauh dari kelotok. Tak lama kemudian perahu lain yang juga besar lewat dengan kecepatan tinggi. Tak ayal, kelotok berguncang keras. Beberapa siswi menjerit. Sifa menuturkan, banyak temannya yang tak bisa berenang.

Di langit mendung menggelayut. Rasa cemas siswa bertambah. Mereka khawatir hujan turun. Tubuh basah kuyup harus ditanggung. Pada hari pertama UN, Senin lalu, Sifa dan Ali Hidayat (16), siswa lainnya, terpeleset saat meloncat dari kelotok ke dermaga. Dengan pakaian basah, mereka menyambut UN.

”Saat jalanan baru diguyur hujan, kubangan dan lumpur menghadang. Jika sudah begitu, percuma saja memakai sepatu bersih,” imbuh Ali.

Setelah sekitar 30 menit menyusuri sungai, peserta UN tiba di tempat tujuan. Namun, mereka harus berjalan lagi sekitar satu kilometer, termasuk menyusuri jalan setapak melewati hutan. Nyaris saja mereka terlambat. Mereka tiba sekitar pukul 07.20, atau hanya 10 menit sebelum ujian dimulai.

Kepala Desa Pendreh Ating Jerman mengatakan, ia sudah lama meminta agar SMPN bisa didirikan di desanya. Pilihan lain adalah menjadikan SMP PGRI Pendreh sebagai sekolah negeri. ”Kami khawatir jika perahu yang mereka tumpangi itu terbalik. Jika ada SMP negeri, UN bisa digelar di Pendreh,” jelasnya lagi.

Sebatang kara

Ating mengaku sudah bosan menyampaikan permintaan agar siswa itu tak mencarter kelotok. Apalagi banyak dari mereka termasuk keluarga kurang mampu. Bahkan, Sefriadi (17), misalnya, adalah anak sebatang kara. Ibunya sudah wafat dan ayahnya pergi karena menikah lagi.

Sefriadi menanggung biaya hidupnya dengan bekerja sebagai buruh penyadap karet. Ia tinggal di rumah kakaknya. Pendapatan Sefriadi tak lebih dari Rp 300.000 per bulan. Ia tidak bisa bekerja jika musim hujan karena pohon karet menghasilkan sedikit getah.

Ongkos mencarter kelotok bagi Sefriadi terasa amat berat. Namun, ia bersikukuh mengikuti UN. Ia mengangsur iuran sewa kelotok selama tiga bulan. ”Berat sekali biaya itu buat saya. Namun, saya harus mengikuti ujian,” tegasnya.

Ongkos sewa kelotok itu tak sebanding dengan uang sekolah di SMP PGRI Pendreh, yang hanya Rp 10.000 per bulan. Namun, harga solar di Barito Utara yang mencapai Rp 12.000 per liter memang membuat siswa tak memiliki pilihan lain.

Beberapa siswa juga tetap bersemangat mengikuti UN, menentang maut membelah Sungai Barito meski mereka baru saja dilanda musibah. Eka Sinta (14), Kapriani (15), dan Suprianto (17) harus pindah ke rumah nenek atau keluarga sebab rumah mereka habis terbakar. Namun, mereka tak menjadikan peristiwa itu sebagai gangguan untuk menghadapi ujian.

”Rumah saya habis terbakar pada Maret lalu. Saya sedang mandi, tiba-tiba melihat asap mengepul dari stop kontak listrik sekitar pukul 17.00,” tutur Sinta. Kebakaran itu tak bisa dipadamkan kemudian menjalar ke rumah Kapriani dan Suprianto. Mereka mengaku tetap berkonsentrasi untuk belajar menghadapi ujian.

”Tidak ada hambatan. Belajar tetap lancar. Tidak terlalu terganggu dengan kebakaran itu,” imbuh Kapriani.

Tidak hanya siswa SMP PGRI Pendreh, lima peserta UN dari SMP PGRI Paring Lahung di Desa Paring Lahung, Kecamatan Montalat, Barito Utara, juga harus pergi ke SMPN 4 Muara Teweh. Mereka diinapkan di salah satu rumah guru dengan membawa uang secukupnya untuk makan.

Kepala SMP PGRI Paring Lahung, Ido, menuturkan, siswanya bermalam karena lama perjalanan dengan menggunakan kelotok ke tempat ujian mencapai tiga jam. ”Jalan darat belum tembus sampai ke Paring Lahung. Jadi, setiap murid harus menyiapkan uang Rp 150.000 untuk mengikuti UN,” tuturnya.

Di daerah pedalaman, seperti Barito Utara, UN menjelma menjadi gotong royong warga yang nyata. Guru SMPN 4 Muara Teweh pun membantu membelikan bahan pangan dan memasaknya untuk murid dan guru SMP PGRI Paring Lahung. (dwi bayu radius)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com