Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melibatkan Siswa TK sampai Usia Dewasa

Kompas.com - 07/05/2013, 02:55 WIB

Di gedung Samantha Krida, kampus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, 1-2 Mei lalu, lebih dari 1.300 orang larut dalam Greenovation, gerakan cinta lingkungan hidup yang diadakan mahasiswa UB dalam rangkaian Kompas Kampus- Tupperware 2013 Green Living n Youth Creativity.

Panitia mengadakan berbagai acara berisi informasi tentang gerakan membuat bumi lebih sehat lewat perilaku hemat energi dan mendaur ulang bahan seperti plastik dan kain perca.

Acara dibuka Prof Budi Setiyawan, staf ahli Pembantu Rektor UB. Di bagian depan gedung, sekitar 150 siswa taman kanak-kanak di Malang mewarnai kertas bergambar pohon dan rumah. Di ruangan berbeda, puluhan siswa SMA dan madrasah aliyah memotong, menggunting dan menempel bahan untuk majalah dinding 3 dimensi.

Di luar, di bawah rindangnya pepohonan, 14 tim peserta lomba memasak sehat sibuk menyiapkan makanan sehat berbahan dasar tahu. ”Kami membuat siomay tahu, sup kembang tahu, dan es tofu,” kata Nawang dari tim Rainbow Ranger. Ia bersama Rani dan Arista, ketiganya mahasiswa UB, sebelumnya berburu resep.

”Walau enggak menang, kami senang. Agar masakan menarik memang perlu kreativitas kita,” ujar Nawang, mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Beragam acara digelar antara lain lomba karikatur untuk siswa SD hingga mahasiswa serta pameran kegiatan yang mendukung kegiatan lingkungan.

”Kami memang mengajak semua usia, mulai dari siswa TK sampai orang dewasa, terlibat di sini,” kata Anik Imawati Nur Rohimah, wakil ketua panitia.

Sebelumnya, pada peringatan Hari Bumi, mereka mengadakan Education Planting di SDN Percobaan I Malang. Para siswa diajak menanam, merawat, dan menyebarkan hasil panennya. Pada kegiatan ini dibagikan bibit tanaman tomat serta melon dan mahasiswa secara rutin memantau perkembangannya.

Era digital

Yoan Narotama, Public Relations Tupperware, menggambarkan betapa bumi tercemar sampah, terutama plastik dan styrofoam, yang baru terurai setelah puluhan tahun.

Sementara itu, sutradara Riri Riza berbagi pengalaman membuat film sebelum teknologi film digital, yakni sebelum tahun 2011. ”Bahan film dari poliester tak hanya berat, tetapi juga tak bisa segera diurai. Film selama 10 menit butuh gulungan poliester 300 meter. Satu film beratnya bisa sampai 40 kg,” kata Riri.

Dengan teknologi digital, bahan dan biaya shooting bisa dipangkas karena menjadi lebih praktis. ”Teknologi digital memotong biaya produksi film hingga 80 persen,” kata sutradara film Laskar Pelangi ini.

Kiprah Riri membuat film di daerah seperti Belitung mendapat sorotan peserta diskusi. Salah seorang bertanya tentang kerusakan lingkungan di daerah itu karena banyak turis datang sehingga munculnya penginapan dan warung.

”Tak semua tempat pasca- shooting jadi terkenal seperti Belitung. Kalau kondisinya seperti itu, pemerintah daerah bisa mendidik warga untuk menjadikannya ecotourism,” kata Riri yang berharap warga setempat mendapat tambahan penghasilan sekaligus lingkungan terjaga. (TRI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau