Sebagai penggagas UN, Pak JK tentu saja sangat menguasai filosofi dan konsepsi UN sehingga sampai pada kesimpulan bahwa karut-marut UN 2013 hanya masalah teknis belaka dan dapat dengan mudah diperbaiki. Saya ingin menanggapi tulisan tersebut dalam tiga hal.
Pertama, tentang tujuan UN yang diadakan untuk mengukur standar mutu pendidikan di Indonesia. Meskipun secara konsepsi dan logika sederhana UN dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan, baik dengan cara membandingkannya dengan masa lalu maupun negara lain, UN bukanlah satu-satunya ukuran.
Secara berkala, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengukur mutu pendidikan di suatu negara melalui Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur tiga kemampuan pokok, yaitu membaca, matematika, dan sains. Bagaimana posisi Indonesia?
Hasil PISA dalam empat tes terakhir (2000, 2003, 2004, dan 2009) secara konsisten menunjukkan, mutu pendidikan di Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD. Bahkan, hasil tes tahun 2009 menunjukkan, Indonesia berada di bawah Kamboja.
Pengukuran lain adalah
Rata-rata nilai untuk siswa Indonesia (dan rata-rata dunia) untuk membaca, matematika, dan sains berturut-turut adalah: 33 (55), 24 (41), dan 28 (42). Lagi-lagi Indonesia berada di bawah Kamboja dan Palestina. Apakah hasil ini tidak cukup sebagai tolok ukur pemerintah?
Kedua, disampaikan bahwa sejak dimulainya UN tahun 2002 hingga saat ini sudah terjadi peningkatan mutu, dilihat dari peningkatan batas kelulusan (passing grade) dari tahun ke tahun. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah apakah hasil UN tersebut sudah cukup tepercaya?