Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghadirkan 'Opera van Java' di Ruang Kelas

Kompas.com - 21/05/2013, 15:40 WIB

KOMPAS.com - Auliya Funi Nur Afifah tak menyangka bahwa dia akan menemui kesulitan untuk mengajarkan materi Bahasa Indonesia saat bertugas sebagai pengajar muda di SDN Inpres Ondo-ondolu, Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Namun, "keisengan" menghadirkan inspirasi.

"Keisengan" ini melahirkan kreativitas. Kreativitas positif yang didukung oleh relasi yang intim antara guru dan siswa serta kepekaan Auliya terhadap kebutuhan dan kesenangan murid-murid kecilnya.

Jadi, Auliya berpikir, apa salahnya "menghadirkan" Opera van Java di ruang kelas?


"Opera van Java ala Kelas Tiga"

Sebelumnya, saya menilai bahwa pelajaran paling sulit adalah Matematika dan IPA, tetapi semenjak bertugas menjadi guru kelas tiga SDN Inpres Ondo-ondolu SPC, saya tersadar bahwa pelajaran yang paling sulit adalah Bahasa Indonesia. Pelajaran ini penuh dengan detil hutang materi yang harus dikejar.

Saya berada dalam kondisi kebingungan: darimana harus memulainya? Semester dua. Sampailah saya pada standar kompetensi “menjawab dan atau mengajukan pertanyaan tentang isi teks agak panjang (150-200 kata) yang dibaca secara intensif”.

Hari itu saya hanya akan memenuhi indikator menjawab pertanyaan tentang isi teks yang dibacakan. Poin membaca intensif ditunda dulu, mengingat banyaknya siswa yang belum bisa membaca.

Saya membacakan dongeng yang berjudul “Tertolong Karena Kebiasaan Baik”. Saya mulai membaca prolog dongeng yang saya siapkan. Iseng saya mencoba meminta siswa menebak isi dialog dalam cerita. Tak mengecewakan ternyata.

Keisengan saya lanjutkan dengan meminta siswa maju dan memeragakan dialog yang ia tebak. Siswa maju dengan sedikit ragu. Malu-malu ia peragakan juga adegan yang saya bacakan dengan dialog yang ia karang sendiri. Begitu seterusnya hingga dongeng berakhir. Drama sederhana, asal jalan dan asal semua senang.

Setelah sesi menjawab pertanyaan berdasarkan isi teks yang dibacakan berakhir, saya menantang siswa kelas tiga untuk melakukan drama berdasarkan dongeng tadi pada saat jam pelajaran Seni Budaya dan Ketrampilan.

Seperti biasa, siswa-siswa yang super aktif ini menerima dengan sangat girang penuh antusias. Bahkan saya ragu mereka tahu arti drama itu sendiri. Tentunya mereka tahu bahwa intinya mereka akan pura-pura jadi ini itu dengan cerita tertentu.

Saya mulai menawarkan peran yang ada di dalam dongeng. Ada ibu hamil, suami ibu hamil, burung tekukur, raja bijaksana, jin, pengemis, dan dewi penolong. Semua berebut untuk mendapatkan peran. Tentu saja, tak ada yang mau memerankan ibu hamil dan suami ibu hamil. Mereka sudah membayangkan akan adanya ejekan karena peran suami istri tersebut. Di sisi lain, suami istri tersebut adalah tokoh utama di dalam cerita ini.

“Drama tidak akan dapat dilakukan kalau tak ada yang mau jadi ibu hamil. Hayo, siapa mau jadi ibu hamil?”

Dengan spontan Mida mengangkat tangan. Sip.

“Sekarang siapa mau jadi suami ibu hamil?”
Ruli bersedia tapi tak lama kemudian ia menjadi enggan. Rupanya ia masih ragu karena bayang-bayang ejekan yang akan terlontar dari siswa yang lain.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com