Masyarakat Tak Terbiasa Berpikir Rasional

Kompas.com - 31/05/2013, 11:10 WIB
M Zaid Wahyudi

Penulis

KOMPAS.com - Menghentikan kendaraan di tikungan, berkendara sambil menggunakan telepon seluler atau melawan arah, berbelok arah secara tiba-tiba, menyeberang jalan sembarangan adalah pemandangan lalu lintas Jakarta dan kota-kota besar lain sehari-hari. Demi mengejar kenyamanan sesaat, banyak orang mengabaikan keselamatan diri dan orang lain.

Jalanan adalah cermin budaya masyarakat. Di luar persoalan sistem lalu lintas yang belum tertata dan buruknya infrastruktur, keruwetan di jalan menunjukkan banyak orang tidak memikirkan akibat dari tindakannya. Putusan atas berbagai hal diambil berdasarkan emosi, bukan pikiran rasional.

Diabaikannya rasionalitas juga ditunjukkan oleh banyaknya orang tertipu investasi yang menawarkan keuntungan berlebihan, terpilihnya anggota legislatif atau kepala daerah karena penampilan fisik, hingga perilaku sejumlah tokoh publik yang berbicara tanpa mengindahkan etika di depan masyarakat umum.

Ketidakmampuan berpikir logis itu membuat masyarakat tidak bisa berargumentasi dan mengungkapkan pemikiran secara terstruktur. Kondisi itu juga menyebabkan banyak masyarakat sulit diajak berdiskusi, selalu menganggap dirinya paling benar dan tidak bisa menghargai pemikiran orang lain.

”Ini sangat membahayakan Indonesia yang menjadi juara dunia heterogenitas,” kata Ketua Panitia Bulan Budaya Bernalar yang juga dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Premana W Premadi di sela-sela acara Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics di Museum Geologi Bandung, Sabtu (18/5).

Bulan Budaya Bernalar adalah gerakan yang dipelopori dosen-dosen ITB yang prihatin dengan kemampuan menalar masyarakat. Tidak dimilikinya keterampilan berpikir logis itu terjadi pada semua kelompok masyarakat, tidak mengenal pendidikan, kemampuan ekonomi, ataupun jabatan. Rendahnya kemampuan menalar juga terjadi pada mahasiswa sebagai kelompok masyarakat terdidik.

Kondisi itu diyakini akan membuat bangsa Indonesia sulit maju. Padahal, Indonesia menargetkan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita 14.250 dollar AS-15.500 dollar AS pada 2025. Inovasi dipastikan akan rendah. Gesekan sosial dan konflik antarkelompok pun akan makin sering terjadi.

Berpikir logis

Ketua Satuan Penjaminan Mutu ITB yang juga Guru Besar Aeronautika dan Astronautika ITB Ichsan Setya Putra mengatakan, kemampuan berpikir logis merupakan bekal hidup utama manusia agar mampu memberdayakan segala kemampuan yang dimiliki serta menyelesaikan masalah yang dihadapi untuk maju.

”Sejarah membuktikan bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kemampuan berpikir logis,” ujarnya.

Mengutip buku Howard Gardner, Five Minds for the Future (2007), Ichsan menjelaskan kemampuan berpikir yang dibutuhkan di masa datang dalam dunia yang mengglobal adalah kemampuan berpikir untuk menghargai orang lain, menjunjung tinggi etika, fokus dalam satu bidang, menyintesis informasi, dan berpikir kreatif.

Kemampuan untuk menghargai orang lain dan menjunjung etika penting dalam membangun hubungan dengan sesama. Kemampuan ini membuat seseorang sadar dan menghargai perbedaan setiap manusia. Tanpa kemampuan ini, orang akan sulit bekerja sama, berkomunikasi, dan membangun kepercayaan terhadap orang lain.

Ketiga kemampuan lain berkaitan dengan proses kognisi. Kemampuan untuk fokus dalam satu bidang dilandasi keterbatasan manusia yang tidak bisa menguasai semua hal. Penguasaan satu ilmu tertentu diperlukan sebagai jalan untuk membangun pola pikir karena otak tidak bisa memahami sesuatu secara intuitif atau berdasar kemauan hati.

Sintesis informasi

Berbekal pengetahuan yang dimiliki, seseorang akan mampu menyintesis informasi yang dihadapi. Di era tsunami digital, kemampuan ini penting untuk menyaring informasi yang melimpah dan menjadikannya sebagai pengetahuan yang berguna. Kemampuan ini juga diperlukan untuk mengintegrasikan berbagai ide menjadi satu kesatuan utuh dan mengomunikasikannya kepada orang lain.

Dengan pola pikir dan kemampuan menyintesis informasi, seseorang dapat mendayagunakan pikiran untuk berpikir kreatif. Kreativitas yang dibangun berdasar gagasan bisa dimanfaatkan untuk membangun inovasi, menciptakan peluang, hingga membuat perubahan.

Pendiri Eureka, Math, and Science Learning Center yang juga dosen Program Studi Fisika ITB Alexander A Iskandar mengatakan, guru memegang peranan kunci untuk memperbaiki kemampuan bernalar masyarakat. Di saat informasi datang dari berbagai sumber seperti sekarang, guru tak lagi bisa dijadikan sebagai pemegang kebenaran tunggal.

Karena itu, pendidikan berkelanjutan mutlak diperlukan guru. Bukan hanya soal pedagogi, melainkan yang lebih penting adalah penguasaan guru atas materi yang diajarkan. Ini akan mengubah peran guru dari sumber utama pengajaran menjadi pendamping siswa.

Kreativitas siswa dalam menyelesaikan masalah perlu dihargai, termasuk dalam menjawab persoalan sains dan matematika. Ini akan terus menumbuhkan keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk berani berpikir di luar pemikiran yang ada.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau