Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Awas... Gempa Skala Liter!"

Kompas.com - 12/07/2013, 14:04 WIB
Oleh Dimas Wahyu T

KOMPAS.com — Pernah terima broadcast message tentang waspada gempa berskala "liter" beberapa waktu lalu? Setidaknya, salah satunya sampai ke anggota keluarga saya yang menerima pesan berantai itu dari sepupunya.

Sepupunya itu masih duduk di bangku SD, dan memang sedang senang-senangnya kirim ini-itu via BlackBerry barunya. Cepat-cepat, sambil terbahak, pesan itu pun dibalas, "Bukan liter, tapi Richter".

Lain hari, di jejaring sosial, kerap kali terlihat huruf "q", yang tak lain adalah pengganti kata "aku". Huruf "q" itu digunakan alih-alih mengambil dari potongan terikat "ku".

Misalnya, tertulis begini: "q seneng bnget ma lgu ini".

Jujur, mau geleng-geleng kala membacanya. Selain ajaib, bisa jadi kita harus main tebak-tebakan untuk memahami maknanya karena singkatannya kadang tidak sama. Bahkan, akan semakin bikin geleng kepala kalau kalimat model seperti itu muncul dalam jumlah banyak dan merupakan pesan yang harus disampaikan.

Tapi, apakah rasanya terlalu berlebihan kalau menyikapinya demikian? Bukannya gaya-gaya semacam itu kerap kali muncul, dan pada akhirnya tenggelam seiring menggelindingnya zaman plus trennya? Begitu, bukan?

Dunia maya lebih dalam

Terlepas dari pemakluman yang bisa diberikan, rasa khawatir tetap saja ada, terutama dari cara mereka—yang kalau boleh dibilang tenggelam dalam tren gaya bahasa ini—pada akhirnya punya posisi sebagai tolok ukur alias kelak dewasa.

Lain cerita lagi, sekitar sepuluh tahun lalu, seorang pengajar memberikan soal pada sebuah perkuliahan berupa tulisan skripsi yang tuntas diujikan dan lulus pada sebuah universitas teknik negeri ternama di Indonesia. Lupa, bagaimana wujud aslinya, tapi terasa bagaimana repotnya si mahasiswa itu hanya untuk menjabarkan hubungan fluida sebagai pelumas pada peredam kejut shock absorber yang kala itu ia tulis dengan kata "sokbleker".

Sokbleker atau sokbreker atau shockbreaker? Rasanya mirip juga ketika membaca tulisan di papan gerai ayam tepung dengan tulisan freciken atau ayam kentucky atau malah ayam chicken.

Soal "ciken-cikenan dan sokbleker", bahasanya memang tidak hanya Indonesia. Tetapi, pastinya, pengguna bahasa itu adalah orang-orang dewasa, yang dengan mudah dinilai mengesampingkan bahasa yang baik dan benar.

Yang baik dan benar? Maksudnya, yang disepakati dan terdata untuk digunakan sama-sama supaya sama-sama paham juga. Itu saja! Paham dan tidak paham juga bicara tentang cara menjabarkan ide-ide di dalam pikiran. Begitu, bukan?

Beruntungnya, anak-anak zaman sekarang sudah kenal dunia maya lebih dalam. Mereka juga lebih mudah mengakses jejaring sosial dari perangkat gadget apa pun. Blog pun mengakomodasi keinginan mereka sehingga jadi rajin menulis. Walau dengan bahasa "q seneng bnget", bahasa mereka cenderung cair, setidaknya dalam usaha menjabarkan sesuatu.

Soal si "q" yang tadi menulis "q seneng bnget ma lgu ini", di satu sisi ada keyakinan bahwa sebenarnya dia tahu cara menulis kata-kata yang sebenarnya, yakni "aku senang banget sama lagu ini". Namun, mungkin karena jadinya kaku kalau ditulis seperti aslinya, maka akan seru kalau dibikin main-main. Ya, jadilah seperti itu, dan ngetren pula!

Di sisi lain, bisa jadi, mereka memang kebablasan dan tidak tahu sehingga menjadi biasa untuk tidak tahu. Anak-anak ini mengabaikan bahasanya sendiri, yang sadar atau tidak adalah identitas bangsanya.

Gambarannya memang menjadi ironis, walau keironisan semakin menjadi biasa sekarang ini, seperti ketika membandingkan anak-anak dan penulis sokbleker juga ciken-cikenan tadi dengan warga asing yang datang ke sini, belajar bahasa di sini, bahasa Indonesia yang baik dan benar, supaya bisa bekerja di sini atau membangun usaha di sini bahkan memuluskan usaha besar di sini.

Sama-sama belajar

Terus terang, rasanya egois ketika orang-orang dewasa yang sadar bahasa lalu meminta anak-anak tadi menyamakan sudut padang dengan kita. Adilkah?

Di zaman yang apa-apanya serba-cepat ini, sesuatu yang baku menurut kita, yang diajarkan pada kita di masa lalu dan terus dipegang dan dijadikan tolok ukur hingga kini, tentu menjadi sesuatu nan menyulitkan dalam perkembangan mereka jika mereka juga harus memahaminya.

Tak heran, sering dikabarkan siswa pusing bukan kepayang saat ujian Bahasa Indonesia. Contohnya bisa dilihat di sini: "Pelajaran Bahasa Indonesia Memang Susah".

Mau berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu kita harus cinta dulu supaya tidak setengah-setengah. Nah, bagaimana caranya? Melarang anak menulis "q seneng bnget ma lgu ini"? Rasanya, asalkan dia tahu mana yang benar, kenapa harus repot melarangnya dan malah berujung debat panjang dan justru menjadikan kita orang dewasa yang otoriter.

Sebenarnya, cukup saja dengan memberi tahu mana yang benar. Atau kalau memang si anak suka menulis di blog, kenapa tidak sama-sama ngeblog juga.

Jangan lupa, perlu sabar-sabar juga dan mengutamakan agar ilmu yang mau disampaikan bisa dipahami, bukan perintah belajar, belajar, dan belajar melulu, yang malah membuat anak takut dengan belajar. Lagi pula, otak manusia kemungkinan masih berkembang dan selalu butuh waktu dalam menyerap sesuatu, seperti dilansir di Otak Manusia Berkembang sampai 40 Tahun.

Soal referensi bahasa, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan menyediakan situs KBBI online (http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/). Membaca surat kabar cetak dan online pun bisa menjadi bahan pembelajaran, walau mesti juga tetap kritis karena istilah-istilah tertentu kadang berbeda antara satu media massa dan media yang lainnya. Ini di luar kesalahan ketik tentunya.

Nah, bagaimana bahasa Indonesia menjadi lebih hidup dan disukai, terlebih lagi digunakan dengan baik? Ini tidak terlepas juga dari peran para praktisi dan ahlinya. Doa saya, mereka yang ahli bahasa tidak hanya berkutat di kampus. Mahasiswa-mahasiswanya pun boleh juga turun ke lapangan berbagi ilmu yang belum tentu bisa dengan mudah dibeli, apalagi oleh mereka yang berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Mudah-mudahan, ini bisa jadi panggilan. Sebuah panggilan, demi mengantisipasi "gempa skala liter" susulan....

(Penulis adalah penyelaras bahasa di Kompas.com)

“Bergabunglah dengan komunitas kelas dunia: www.binus.ac.id

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com