KOMPAS.com -
Bicara memperluas akses, perguruan tinggi (PT) telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi seluruh lapisan masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. Namun, tentu saja, mereka yang ingin masuk PT harus memenuhi kualifikasi dan persyaratan tertentu.Terkait hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) membantu mereka yang tidak mampu dengan memberi beasiswa Bidikmisi. Pada 2012 lalu, Kemdikbud menargetkan 40.000 mahasiswa menerima beasiswa ini. Tahun ini, Kemdikbud menargetkan 50.000 mahasiswa bisa meraih Bidikmisi.
Tentu saja, pemberian akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk masuk perguruan tinggi tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas perguruan tinggi itu sendiri. Karena itulah, segala hal terkait perguruan tinggi, mulai melakukan perencanaan sampai semua kegiatan akademiknya, terus ditingkatkan. Contohnya, dari sisi governance terus diperkuat sesuai dengan UU No 12 tahun 2012. Kemudian, UU tersebut dilengkapi dengan berbagai macam peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Namun demikian, dalam pemberian akses dan peningkatan mutu perguruan tinggi, Kemdikbud senantiasa memperhatikan perkembangan tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penyediaan perguruan tinggi, Kemdikbud juga mempertimbangkan relevansinya sehingga perguruan tinggi dapat mencetak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di satu sisi, perguruan tinggi memang harus tanpa henti mengembangkan ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini melakukan berbagai program akademik. Sementara di sisi lain, perguruan tinggi mengembangkan program-program studi yang dibutuhkan langsung oleh masyarakat, misalnya pendidikan vokasi. Apabila hanya ditempuh 1-2 tahun disebut Akademi Komunitas (AK), dan jika ditempuh selama 3 tahun disebut akademi, dan seterusnya.
Pada saat ini, Kemdikbud mulai membuat pilot project AK untuk program 1 tahun. Para lulusan SMA diberi pendidikan vokasi khusus, seperti peternakan, data IT, pemetaan, pertanian, peternakan, perkebunan dll, sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya atau kebutuhan secara umum. AK adalah pendidikan formal. Peserta didik yang berkualifikasi dapat melanjutkan D-2, D-3, atau pindah ke politeknik.
Secara ideal, sesuai UU, di setiap kabupaten/kota harus ada 1 AK, baik yang berbasis negeri maupun swasta, seperti di Jababeka, Cikarang, Jawa Barat. Pada 2012 lalu sudah berdiri 46 AK, menurut rencana akan ditambah lagi 126 AK pada 2013.
Untuk mendirikan AK negeri, Kemdikbud bekerja sama dengan pemerintah daerah. Berhubung bekerja sama dengan pemerintah daerah, pendidikan vokasi yang dipilih disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat sehingga potensi lokal dapat tergali optimal oleh putra-putri daerah. Sementara pengajar di AK adalah orang-orang yang menguasai bidangnya. Sesuai kerangka kualifikasi nasional, yang boleh mengajar harus bergelar sarjana strata dua (S-2) seperti magister atau sederajat.
Namun demikian, kalangan profesional yang memiliki keahlian setara dengan S-2 juga dapat mengajar di AK, terutama apabila kompetensinya diberi level dari 1-9. Level 9 merupakan yang tertinggi. Doktor ada pada level 9, sementara magister di lebel 8.
Kendati begitu, leveling di kalangan profesional tidak semudah di kalangan akademisi. Namun, yang penting, bagi profesional adalah level 8 bisa mengajar, tidak harus magister. Ada juga instruktur cukup S-1, tapi harus berpengalaman di bidangnya hingga setidaknya pada level 8. Untuk ide leveling, kedepannya akan dilakukan Dikti atau ada institusi tersendiri akan melakukannya.
AK ini sangat penting karena akan menyatukan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan masyarakat sekitarnya. Misalnya, seseorang bertugas melakukan pengukuran petak di perkebunan, keahlian untuk ukur tanah bisa dididik setahun atau dua tahun. Untuk itu, AK didirikan di perkebunan itu sehingga menyatukan pusat pertumbuhan ekonomi dengan masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, tidak ada lagi kesenjangan antara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan sekitarnya. Nantinya, masyarakat juga bisa langsung menikmati keberadaan pabrik, perkebunan, pusat perikanan, dan lain sebagainya.
Mengenai program keempat Ditjen Dikti, yaitu meningkatkan daya saing, Kemdikbud telah melakukan beberapa strategi untuk mencapainya. Salah satunya adalah membantu 30 persen biaya riset yang dilakukan perguruan tinggi negeri (PTN).
Kemdikbud menilai, riset membuat mereka semakin kreatif dan inovatif. Tentu saja, hal itu akan menjadikan daya saing lulusan PTN semakin meningkat. Adapun pendanaan riset yang berasal dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dari dana BUPTN disalurkan kepada Kopertis untuk PTS.
Sementara itu, program penting lainnya terkait dengan daya saing, yaitu meningkatkan kemampuan SDM, terutama dosen. Mereka disekolahkan S-2 dan S-3, baik di dalam maupun di luar negeri.
Setiap tahun, Kemdikbud menginginkan sebanyak 1.000 dosen mengikuti program doktoral di luar negeri dan 3.000 dosen di dalam negeri. Syarat penerima beasiswa program doktoral ini adalah sudah menjadi dosen atau calon dosen, dan sudah diterima di PT yang bagus.
Program SM3T
Di luar program unggulan tersebut, ada pula program yang tak kalah penting, yaitu SM3T (Sarjana Mengajar di daerah 3T: Terdepan, Terluar, Tertinggal). Sarjana lulusan program studi kependidikan, sebelum menempuh PPG (Program Profesi Guru), diberi kesempatan mengikuti 1 tahun program SM3T untuk mengajar di daerah 3T. Selesai mengikuti program SM3T, mereka diutamakan untuk bisa mengikuti PPG.
Ternyata, prestasi peserta SM-3T cukup bagus. Berdasarkan evaluasi, program SM3T boleh dikatakan berhasil.
Selain kualitas pesertanya semakin bagus, peminat program ini juga meningkat. Ditjen Dikti banyak menerima surat dari wilayah yang meminta tambahan kuota guru dari SM3T. Padahal, semula program ini dikhawatirkan akan ditolak oleh daerah. Ternyata, yang mendaftar sebagai guru tiga kali lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Untuk menjangkau anak usia sekolah di daerah tersebut, Ditjen Dikti menyelenggarakan program Pendidikan Guru 3T (PG3T), yaitu anak-anak dari 3T diberi beasiswa di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Setelah lulus, mereka kembali lagi ke daerahnya untuk menjadi guru profesional.
Ada lagi program Ditjen Dikti yang dapat memeratakan akses pendidikan tinggi, yaitu program afirmasi. Misalnya untuk anak-anak Papua. Berdasarkan fakta, pada umumnya mereka kalah bersaing dengan anak-anak dari daerah lain dalam memperebutkan kursi di PTN. Melihat fakta terebut, Ditjen Dikti melakukan seleksi khusus bagi anak-anak Papua. Jadi, mereka hanya berkompetisi sesama teman-temanya sedaerah. Bagi yang lulus tes, diberi beasiswa di PTN pilihannya di seluruh Indonesia.
Program serupa juga diberlakukan di daerah-daerah perbatasan , misalnya daerah yang bersinggungan langsung dengan Malaysia , yaitu ada sekitar 5 kabupaten. Mereka juga diberi beasiswa. Setelah lulus, mereka diharapkan bersedia bekerja di kabupatennya masing-masing. Yang penting semua anak difasilitasi agar memiliki kesempatan mengenyam pendidik yang sama.
Tidak kalah penting adalah program penegerian PTS menjadi PTN. Program ini bertujuan memeratakan pendidikan tinggi di seluruh Indonesia sesuai dengan proporsinya. Misalnya di daerah 3T, pemerintah harus bisa hadir dalam bentuk politeknik atau universitas. Langkah yang dilakukan di sana adalah mengubah status PTS (yang didukung pemda setempat) menjadi PTN. Kriterianya, daerah 3T dan daerah yang memiliki Angka Partisipasi Kasar (APK) rendah. (ARIFAH)
Penulis adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.