Mendaki Gunung, Mendidik Karakter Anak....

Kompas.com - 02/01/2014, 17:31 WIB
Oleh: Nouf Zahrah Anastasia

KOMPAS.com - Bisa jadi, keputusan saya dan suami adalah kontroversial, yaitu mengajak anak kami sejak usia 2.5 tahun untuk naik gunung, bahkan di musim hujan sekalipun. Sebagian yang tidak mengenal kami secara dekat mencibir, bahkan tak jarang, mengatakan kami orang tua egois. Sementara itu, sebagian lainnya bilang salut dan mendukung.

Kami berdua tentu tahu risiko itu, yaitu pandangan miring membawa anak mendaki gunung di usia dini. Maka, lepas dari kontroversi setuju dan tidak setuju, saya tetap berupaya memaparkan alasan saya mengajak atau membawa anak saya mendaki gunung.

Semua orang tahu, mendaki gunung kerap kali diidentikan dengan kegiatan "heroik". Bahkan, ini dianggap olahraga yang menyerempet bahaya, dan tentu saja; kematian (Baca: Jangan Mau Mati Konyol di Gunung!).

Dok Nouf Zahrah Anastasia Secara sadar, tentu saja, melakukan persiapan perjalanan pendakian akan melatih seseorang terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh perhitungan di setiap langkahnya.
Memang, semua itu benar adanya, terutama jika dilakukan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan persiapan matang. Bukan apa-apa. Mendaki gunung adalah aktivitas yang jelas-jelas melibatkan kegiatan fisik berat di tengah alam yang sulit ditebak kondisinya.

Pendidikan karakter nomer wahid
"Now I see the secret of making the best person:
it is to grow in the open air,
and to eat and sleep with the earth."
(Walt Whitman)

Seperti kegiatan di alam bebas lainnya, sejatinya, mendaki gunung bagaikan sedang menjalani kehidupan. Aktivitas pendakian gunung memiliki banyak bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya.

Kata "karakter" di sini maksudnya bagaimana seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan positif itu tentunya dapat dipelajari dan perlu dibangun/dilatih. Melalui kegiatan mendaki gunung, seseorang dapat membangun karakter positif dirinya dengan alamiah. 

Dok Nouf Zahrah Anastasia Namun, disamping semua manfaat yang tertulis di atas, saya merasa, melalui kegiatan naik gunung, anak saya yang kini berusia 5,5 tahun tumbuh menjadi anak yang gembira dan percaya diri. Terbukti, di balik kata
Mendaki gunung bukan kegiatan impulsif karena kegiatan ini mengharuskan seseorang melakukan persiapan dengan baik. Maka, seseorang yang hendak melakukan aktivitas ini sebenarnya telah belajar banyak hal positif, bahkan sejak persiapan awal dilakukan. Persiapan itu diantaranya meliputi penentuan tujuan, merancang target perjalanan, mencari tahu support system yang ada (misalnya letak rumah sakit terdekat), mempelajari tips dan penanganan darurat ketika menghadapi kondisi darurat, atau membuat daftar peralatan dan perbekalan yang dibutuhkan untuk mendaki. (Baca: Pelajaran Penting dari Kematian Pendaki di Gunung Gede).

Secara sadar, tentu saja, melakukan persiapan perjalanan pendakian akan melatih seseorang terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh perhitungan di setiap langkahnya. Dua hal ini pasti dibutuhkan dalam menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas yang akan dilakukannya.

Dok Nouf Zahrah Anastasia Rasa cinta pada alam tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan wisata atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan bahwa,
Kedua, soal cinta terhadap alam dan lingkungannya. Rasa cinta pada alam tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan wisata atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan bahwa, "Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat".

Dalam perjalanan mendaki gunung, seseorang disuguhkan pada keindahan dan kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, semua panca indra terlibat untuk membuktikan alam begitu indah sehingga kita bertanggung jawab untuk selalu memeliharanya.

Ya, seseorang akan dilatih untuk menjadi seseorang yang penuh cinta pada lingkungannya, terasah untuk bertanggung jawab pada dunia, paling tidak pada lingkungan di sekitarnya. Tidak membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem yang ada menjadi pelajaran paling sederhana namun sangat penting yang bisa didapat melalui aktivitas naik gunung.

Dok Nouf Zahrah Anastasia Belum lagi udara dingin menggigit, sementara oksigen yang kian tipis membuat napas menjadi lebih berat dan tersengal. Untuk itulah, seseorang yang mendaki gunung diharuskan membawa perlengkapan maksimal dalam sebuah tas ransel. Artinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan pendakian dengan beban yang dipikulnya untuk mencapai tujuan; yaitu puncak gunung.
Sementara itu, pelajaran ketiga bisa diambil dari mendaki gunung adalah pelajaran tentang disiplin, tanggung jawab, tidah mudah putus asa, serta berani mengambil keputusan dengan tepat. Karena, ketika melakukan pendakian, seseorang dihadapkan pada banyak tantangan.

Tentu saja, medan perjalanan sudah pasti menanjak, tidak rata, dan pastinya menguras tenaga. Jalur pendakian kerap tidak begitu jelas, dan banyak kali ditemukan persimpangan. Sering kali jurang terbentang di kiri atau kanan jalan setapak, menghentikan rencana perjalanan.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau