Dari Kisah Miris hingga yang Inspiratif

Kompas.com - 02/05/2014, 21:03 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Memperingati Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5/2014), sederet isu miring membelit praksis pendidikan di Jakarta dan sekitarnya, dari karut-marut ujian nasional, biaya sekolah yang katanya gratis tetapi masih ada pungutan, hingga kuliah mahal tetapi lulusan belum siap kerja. Namun, terdapat juga kisah inspiratif, yakni membuka akses bagi warga miskin.

Permasalahan dunia pendidikan sedikit banyak berkorelasi ”sebab-akibat” dengan masalah perkotaan. Kasus terakhir yang paling miris adalah kekerasan seksual terhadap murid TK di Jakarta International School (JIS). Ada apa gerangan?

”Dunia pendidikan kita tidak punya konsep. Ibaratnya, negara ini mau dibawa ke satu titik tertentu, tetapi dunia pendidikan kita justru mengarah ke titik yang lain,” kata pendiri sekaligus pemilik Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) Muhammad Syahrial Yusuf (51), Rabu.

Saat berbincang di kantornya di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu siang itu, Syahrial jelas begitu gundah dan geram akan nasib pendidikan di Indonesia. Namun, Syahrial tidak mau berlarut dalam keputusasaan. Sarjana ekonomi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, dan peraih gelar Master of Business Administration, University of Amsterdam, Belanda, ini menyadari satu hal yang tidak banyak dilihat orang lain.

Syahrial melihat lulusan sarjana di negeri ini sebagian besar tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja. Pada 1989, ia merintis berdirinya LP3I yang sebenarnya sebuah lembaga kursus. Lembaga pendidikan luar sekolah ini bertujuan memberi bekal keterampilan, yaitu penguasaan bahasa Inggris, komputer, akuntansi, dan perpajakan. Kompetensi yang mumpuni di bidang itu belum tentu diperoleh di sekolah, sementara dunia kerja amat membutuhkannya.

Setelah 25 tahun berkiprah, LP3I kini memiliki 51 cabang di seluruh Indonesia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 20.000 orang. Biaya kuliah relatif ringan untuk masyarakat kelas menengah, yaitu hanya Rp 16 juta sampai lulus.

Lembaga yang berkantor pusta di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, ini telah bekerja sama dengan banyak perusahaan. Lulusannya 98 persen terserap di dunia kerja.

”Di awal kami merintis LP3I, demi meraih kepercayaan perusahaan mitra, kami para dosen mengantar anak didik kami ke perusahaan untuk ikut tes. Pernah lho, staf saya yang dosen dikira sopir,” kata Syahrial sembari tertawa berderai.

Sudah dua tahun terakhir, LP3I membuka jurusan baru, yaitu khusus mengajarkan dan mendidik mahasiswa menjadi wirausaha. Alasannya, banyak peluang bisnis yang bisa dikembangkan tetapi orang-orang berjiwa entrepreneur masih sedikit. Padahal, untuk kota-kota besar seperti Jakarta, seharusnya wirausaha bisa menjadi andalan untuk berkarier di tengah persaingan ketat di dunia kerja.

Terkait persoalan masyarakat urban yang pelik, seperti pengangguran, tawuran, hingga tenaga kerja informal dengan upah amat minim, lagi-lagi Syahrial melihat hal ini terjadi karena instansi yang mengurusi pendidikan tidak memiliki target yang jelas didukung strategi untuk meraihnya.

Tengok saja di belakang kompleks LP3I di Kramat Raya yang bersinggungan dengan daerah langganan tawuran, yaitu kawasan Johar Baru dan sekitarnya. Di sana, anak-anak usia sekolah luntang-lantung tidak jelas. Padahal, sudah ada program pendidikan gratis hingga 9 tahun. Ada pula Kartu Jakarta Pintar untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak. Sejatinya, dengan sumber daya pemerintah hingga tingkat RT/RW, kasus-kasus anak tak sekolah bisa dicegah.
Kekerasan

Bagaimana pandangan kalangan guru terhadap kekerasan yang melanda anak-remaja? Pandangan Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), kiranya menggugah pikiran kita.

Di mata aktivis guru ini, kekerasan anak-remaja sekarang merupakan cerminan kondisi pendidikan di sekolah. Retno menilai kekerasan masih terpelihara secara struktural dan sistemik dari jajaran birokrasi hingga di kalangan pendidikan.

Tawuran siswa antarsekolah di Jakarta yang tak pernah surut, kekerasan seksual terhadap murid TK di JIS, hingga penganiayaan oleh senior terhadap yunior adalah hasil budaya kekerasan yang tumbuh subur di dalam sekolah. Anak-anak menjadi pelaku sekaligus korban dari sistem pendidikan yang abai terhadap bahaya kekerasan.

Retno menunjuk contoh sederhana, tawuran siswa di antara dua SMA bertetangga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, yang terjadi bertahun-tahun tak lepas dari peran pendidik dan birokrasi di kedua sekolah itu. Mereka enggan memutus mata rantai kekerasan di dua sekolah itu. Dugaan guru-guru di sekolah itu turut terlibat, kata Retno, sangat kuat. Guru-guru senior atas nama baik sekolah ingin melindungi para siswa pelaku kekerasan.

”Guru-guru seperti ini memang tak melakukan kekerasan. Tapi, mereka melindungi siswa pelaku kekerasan. Itu artinya mereka tetap setuju kekerasan,” papar Retno yang juga menjabat Kepala SMA Negeri 76.

Tak kalah peliknya adalah tradisi kekerasan antara senior dan yunior. Dari sejumlah laporan yang diterima FSGI, tak sedikit sekolah yang masih abai terhadap pola kekerasan yang dilakukan siswa senior terhadap yunior. Contohnya, ada tangga khusus bagi siswa kelas III sehingga mereka tak perlu berjejalan. Contoh lain, penguasaan kantin dan area parkir sepeda motor oleh siswa kelas III.

Secara struktural, dari jajaran birokrasi hingga guru, juga terjadi kekerasan. Kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah agar seluruh siswanya lulus UN. Akibatnya, guru menekan guru kelas III. Selanjutnya, guru itu pun menekan para siswa agar lulus UN.

Mengikuti pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan, kata Retno, guru dan siswa memiliki posisi yang sejajar. Hanya fungsinya yang berbeda. Dalam posisi yang setara, akan tumbuh budaya diskusi. Permasalahan diselesaikan dengan komunikasi, bukan dengan tindakan fisik, kekerasan.

Dalam relasi yang setara, sekolah sebagai institusi pendidikan, tempat komunitas pendidik dan siswa, menjadi tempat pembangunan karakter. Anak-anak dari latar belakang keluarga yang beragam, suku dan agama berbeda-beda, tumbuh dengan karakter yang sehat, anti-kekerasan, dan menghargai sesama.

Sekolah semestinya menjadi ”taman” yang memungkinkan anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan tangguh. Pemikiran itulah yang mendasari tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, 92 tahun silam mendirikan lembaga pendidikan dengan nama Taman Siswa.

Akses bagi warga miskin

Mengenyam pendidikan tinggi bagi sejumlah warga Ibu Kota dan sekitarnya bisa jadi hanya angan-angan. Mahalnya biaya pendidikan menjadi faktor utama mimpi itu tak kesampaian.

Namun, bagi Darsono (59), uang tidak seharusnya menjadi penghalang bagi seseorang untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Berbekal motivasi itulah, pria asal Bantul, DIY, ini mendirikan dan mengelola Universitas Pamulang (Unpam).

Unpam, oleh warga setempat, sering dipelesetkan sebagai ”Universitas Paling Murah”. Wajar saja. Biaya kuliah di kampus ini memang sangat murah. Waktu mendaftar, seorang mahasiswa tidak ditarik uang gedung puluhan juta seperti halnya kampus-kampus lain.

Uang kuliahnya sangat terjangkau bagi lapisan ekonomi menengah ke bawah, hanya Rp 200.000 per bulan! Tak heran, kampus ini dibanjiri puluhan ribu warga tidak mampu.

Di kampus itu, banyak mahasiswa yang bekerja, seperti pemulung, office boy, tukang jualan keliling, tukang parkir, tukang batu, kuli bangunan, dan pekerja rumah tangga. ”Salah satu alumnus kami yang dulu pemulung kini jadi dosen di sini,” kata Darsono.

Motivasi mengelola universitas dengan biaya paling murah itu jadi semacam pelampiasan bagi Darsono yang nyaris tak bisa sekolah waktu kecil. Ia menyadari, untuk bisa mengubah nasib warga, bergerak vertikal dalam strata sosial, pendidikan adalah salah satu caranya.

”Ini semacam balas dendam karena waktu itu saya untuk sekolah sulit,” katanya didampingi Rektor Unpam Dayat Hidayat.

Menurut Darsono, sewaktu masih di hidup kampung halaman, keinginannya untuk sekolah tidak didukung orangtuanya yang kurang mampu. ”Kalau orangtua tidak diikuti, kan, sering marah. Tapi saya memahami, karena budayanya, dan pola pikir orangtua waktu itu hanya sampai di situ. Tetapi saya nekat sekolah sehingga orangtua bilang saya harus pergi dari rumah,” katanya.

Darsono pun keluar dari rumah orangtuanya yang ditinggali bersama delapan saudaranya yang lain. ”Saya bulatkan tekad. Kebetulan di kampung banyak yang ikut transmigrasi, jadi banyak rumah kosong sehingga saya tinggal di salah satu rumah kosong itu,” kisah ayah dua anak asal Kampung Nglaren, Potorono, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, ini.

Untuk membiayai hidup dan sekolahnya, ia membikin batu bata merah. Setamat IKIP 1982, Darsono merantau ke Jakarta.

Di Ibu Kota ia ditampung oleh seorang pedagang daun pisang di Pasar Mampang. Ia bisa tinggal gratis di rumah orang itu dengan tugas mengajar anak-anaknya agar bisa sekolah.

Sambil mengajar, ia berkeliling Jakarta mencari kerja serabutan, berdagang elektronik bekas, dan lain-lain. Ia kemudian melamar ke Pusat Penataran Guru. Namun, untuk mengimbangi gajinya, ia bekerja sambilan sebagai tukang kredit elektronik bekas.

Kisah berlanjut. Darsono lalu mendirikan SMEA di sebuah kawasan yang terletak di sekitar Bundaran Pamulang. Inilah cikal bakal berdirinya Unpam. Begitu membuka pendaftaran pada 2004, jumlah mahasiswa bertambah dari hanya 120 orang menjadi 700 orang. Unpam terus berkembang dan mempunyai bangunan sendiri yang terletak di sebelah SMK Sasmita Jaya. Kampus itu kini terlihat menjadi bangunan tertinggi dan salah satu yang termegah di Pamulang, menampung ribuan mahasiswa.

Tahun 2013, Unpam menerima 13.000 mahasiswa dari 20.000 pendaftar. Meski murah, ia memastikan kampus itu tidak mengabaikan mutu. Kampus diasuh 930 dosen. ”Untuk meningkatkan kapasitas, kami sekolahkan mereka. Misalnya ada 18 dosen S-3 di Trisakti, ada juga di kampus lain,” katanya.

Melalui Unpam, Darsono menyediakan akses pendidikan yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Ia percaya: pendidikan adalah ”jembatan emas” memperbaiki hidup. (RAY/PIN/MAM/NEL/MDN/NAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau