Sejatinya, perisiwa itu tak perlu terjadi, terutama disebabkan adanya dugaan bullying. Karena, memang, hal itu tak sesuai dengan tujuan organisasi kepecintaalaman didirikan. Jelas, tak ada hubungannya antara pendidikan cinta alam dengan kekerasan fisik (Baca: Satu Lagi Siswa SMA 3 Rombongan Pencinta Alam Meninggal).
Tapi, toh, proses pendidikan kepencintalaman baru saja "makan korban". Efeknya pun buruk. Dinas Pendidikan DKI menyatakan akan menutup kegiatan ekstrakurikuler pencinta alam di semua SMA di Jakarta. Kendati ditentang oleh pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga, bahwa, proses pendidikan kepencintaalaman perlu mendapat koreksi, perlu dievaluasi.
Ahok tidak setuju dengan rencana Dinas Pendidikan DKI menutup kegiatan ekstrakurikuler pencinta alam di semua SMA di Jakarta. Lalu, kalau Ahok bilang begitu, mau apa para pencinta alam di sekolah-sekolah itu? Ini tidak main-main, karena memang nyawa taruhannya!
Jiwa dan fisik sehat
"Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat".
Kalimat itu meluncur dari mulut seorang Soe Hok Gie, aktivis '66 yang juga tokoh pencinta alam pendiri Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Kalimat tersebut seperti kembali mengingatkan soal hakikat pencita alam yang baru saja "tercoreng" oleh peristiwa meninggalnya siswa SMA 3 Jakarta dalam pendidikan kepencintaalaman itu sendiri.
Kembali pada ucapan almarhum Soe Hok Gie, ia melanjutkan:"Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat".
Dalam perjalanan di alam bebas terkait kegiatan kencintaalaman, seseorang tentu disuguhkan pada keindahan dan kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, semua panca indranya terlibat untuk membuktikan alam begitu indah sehingga mereka akan bertanggung jawab untuk selalu memeliharanya.
Seperti kegiatan di alam bebas lainnya, sejatinya, mendaki gunung bagaikan sedang menjalani kehidupan. Aktivitas pendakian gunung memiliki banyak bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya.
"Kata karakter di sini maksudnya bagaimana seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan positif itu tentunya dapat dipelajari dan perlu dibangun atau dilatih. Melalui kegiatan mendaki gunung, seseorang dapat membangun karakter positif dirinya dengan alamiah," ujar Nouf Zahrah Anastasia, praktisi psikologi yang kini menjabat Head of Special Education Sekolah Cita Buana kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/7/2014).
Nouf mengatakan, semua orang tahu, bahwa mendaki gunung kerap kali diidentikan dengan kegiatan "heroik" seorang anak pencinta alam. Bahkan, kegiatan tersebut dianggap olahraga yang menyerempet-nyerempet bahaya, dan tentu saja; kematian. Tetapi, kematian bukan dalam proses pendidikannya, tahapan membekali dirinya. Bukan itu!
"Semua itu benar, terutama jika dilakukan tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan persiapan matang. Bukan apa-apa. Mendaki gunung adalah aktivitas yang jelas-jelas melibatkan kegiatan fisik berat di tengah alam yang sulit ditebak kondisinya," ujar Nouf.