"Harus menjadi pencapaian tahun ini," batin Galuh.
Benar saja. Pada Desember 2013, berita bahagia datang dari StuNed. Keinginan untuk menimba ilmu Online Journalism di RNTC, Hilversum, Belanda, selama enam minggu itu akhirnya tercapai.
Sebagai seorang jurnalis untuk majalah gaya hidup selama lebih dari tujuh tahun, Galuh mengaku sengaja memilih program tersebut karena memang karakteristik jurnalistik media online berbeda dengan cetak. Semua yang dia ketahui soal online journalism hanya sebatas pembelajaran seorang diri lewat trial and error.
Jadi, Galuh bertutur, wajar rasanya ketika mendarat pada pukul 9 pagi di Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam pada 10 Mei 2014, dirinya seolah tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum pada semua orang yang dijumpainya.
Reaksi mereka? Tersenyum balik kepada dirinya sambil berkata, "Goedemorgen (selamat pagi)".
Galuh mengatakan, kesan pertamanya adalah masyarakat Belanda begitu ramah.
Hilversum dikenal dengan sebutan Media City. Ini merupakan kota kecil yang terletak sekitar 20 menit, baik dari Amsterdam maupun Utrecht, dengan menggunakan kereta. RNTC sendiri merupakan institusi pelatihan jurnalistik dan bagian dari RNW (Radio Nederland Wereldomroep).
Galuh mengatakan, meskipun hanya sembilan orang, namun partisipan untuk Online Journalism 2014 sangat beragam, yaitu Indonesia, Zimbabwe, Pakistan, India, Nigeria dan Uganda. Belum pernah dirinya berada dalam sebuah kelompok kecil yang begitu kaya akan perbedaan.
"Saya akui, kami semua yang berada di dalam kelas ini memang berbeda, baik dari segi budaya, kultur, latar belakang hingga pekerjaan dan pengalaman. Namun, perbedaan tersebut akhirnya menyatukan kami, karena metode pembelajaran di Belanda yang juga berbeda," ujar Galuh.
Galuh mengisi hari-hari itu dengan diskusi dan diskusi, presentasi, debat panjang, serta tugas praktik dari teori yang sempat dijabarkan. Semua dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Menurut dia, berbeda pendapat, baik dengan teman maupun pengajar, di sini memang tempatnya.
"Silakan menyatakan argumen, namun tetap hargai pendapat orang lain," ujarnya.
Galuh bilang, jika kurang paham dengan salah satu materi yang diajarkan, keterbukaan yang dijunjung tinggi membuat pengajar dan teman-teman saling membantu.
Tak hanya itu. Karena waktunya banyak dihabiskan di balik monitor komputer, kerap kali Galuh dan teman-temannya menghabiskan waktu di halaman belakang RNTC untuk sekadar main voli dan melepas tegangnya otot.
"Cara-cara seperti ini, yang menurut saya sukses menstimulasi otak, merasa 100 % terlibat, dan melatih untuk berpikir kritis namun tepat sasaran," kata Galuh.
Mesti beradaptasi
Galuh mengakui, berada di negara lain yang bukan negara sendiri, tentu ada beberapa hal yang mesti disesuaikan. Hal pertama adalah cuaca. Musim peralihan dari semi ke panas bikin cuaca cenderung sulit ditebak. Ada kalanya hujan dengan suhu 11 derajat celcius, namun keesokan harinya matahari bersinar cerah dengan suhu 23 derajat celcius. Pantas saja, kata Galuh, aplikasi yang pasti dibuka tiap hari adalah prakiraan cuaca.
"Hal kedua yang penuh tantangan adalah soal makanan, khususnya bagi saya penggemar fanatik hidangan lokal Indonesia. Ini terasa di hari-hari awal saya menyantap cold food untuk makan siang dan minimnya rasa pedas saat mengecap. Tapi, lidah Asia saya dengat bahagia menyambut Dutch herring, smoked salmon, dan croquette," ujarnya.
Ketiga, dan ini yang membuatnya terkagum-kagum, adalah betapa teraturnya hidup Belanda. Sebagai pejalan kaki, siapa pun anggota masyarakat adalah raja atau ratu. Begitu seseorang hampir tiba di zebra cross, maka mobil, bahkan truk sekalipun, akan berhenti untuk memberi Anda jalan.
Bicara soal moda transportasi, lanjut Galuh, jangan coba-coba terlambat, bahkan untuk satu menit pun. Dia mengakui, meski masyarakatnya terkesan individualis, orang-orang Belanda mau meluangkan waktunya sejenak untuk kita.
"Tersenyum, saling memberi salam dan bertegur sapa sudah jadi makanan sehari-hari. Energi positif yang terkadang sulit didapat, khususnya saya yang lahir dan besar di ibukota," ujarnya.
Galuh menuturkan, jadwal short course yang padat tidak mengurungkan niatnya menjelajahi Belanda saat akhir pekan tiba. Untuk menemaninya menjelajah, kawan karibnya adalah situs transportasi Belanda, 9292.nl. Galuh sengaja menjadwalkan perjalanan di satu kota untuk satu hari. Dengan begitu, ia bisa lebih merasakan derap dan degup kota yang dikunjunginya.
Selain Amsterdam dan Utrecht, Galuh mengaku menyambangi juga kawasan Haarlem, Muiderslot di Muiden, Amersfoort, Den Haag, Delft. Dari Roosendaal di selatan hingga Pulau Schiermonnikoog di bagian utara Belanda. Menurutnya, sistem transportasi Belanda yang teratur dan mudah dimengerti memudahkan dirinya untuk mengeksplorasi tiap sudut.
"Padahal, berdasarkan pengalaman, saya ini sangat buruk soal arah. Namun durasi saya tersesat juga tidak lama, karena masyarakat Belanda dengan senang hati membantu soal arah," tutur Galuh.
Galuh mengatakan, memori Saturday market di Delft, memandangi kota Amersfoort dari puncak gereja Onze Lieve Vrouwetoren hingga bersepeda di taman Nasional Schiermonnikoog, tidak bisa ditukar oleh apapun. Enaknya lagi, lanjut Galuh, dia berada di Belanda saat musim semi/panas sehingga matahari selalu setia menemani hingga sekitar pukul 21:00.
"Iya. Awalnya memang perlu beradaptasi. Namun saya anggap ini keuntungan, karena saya punya lebih banyak waktu untuk jalan-jalan layaknya siang hari," katanya.
Tentang semua memori tersebut, Galuh teringat ucapan filsuf Augustine of Hippo; "The world is a book, and those who don't travel only read one page."
Bagi Galuh, beasiswa StuNed telah menjadi salah satu bab paling berharga dari halaman buku kehidupannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.