Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menangguk Ilmu di Bekas "Gudang Uang" Solo

Kompas.com - 23/10/2014, 13:50 WIB


KOMPAS.com - Bangunan bercat krem itu tampak berdiri gagah di kawasan Jalan Ronggowarsito, Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah. Pada Senin (20/10/2014) siang yang terbilang terik itu, tak banyak orang bekerja di dalam bangunan berlantai tiga tersebut.

Warga di sekitar jalan tersebut, mengenal gedung dengan banyak kombinasi jendela kaca lengkung dan persegi panjang tersebut sebagai bekas Gedung Perwakilan Bank Indonesia (BI). Di seberang gedung itu, sejak 2012 silam memang tegak berdiri gedung baru Perwakilan BI. Ada prasasti yang ditandatangani Gubernur BI, kala itu, Darmin Nasution. Tanggal termaktub di prasasti itu adalah 5 Oktober.

Kini, antara kedua gedung tersebut sudah terbangun tangga penghubung. Lantaran tangga itulah, kesan kontras terlihat tegas. Gedung yang satu berarsitektur neoklasik abad 19. Sementara di sisinya, gedung berarsitektur terkini alias abad 21 yang masih menyisakan pohon beringin tua.

Sejatinya, kedua gedung itu sama-sama terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Solo. Keduanya pun sama-sama berhadapan dengan Benteng Vasternberg.

Tak cuma itu, kedua gedung itu sama-sama satu larik jalan dengan Kantor Walikota Solo. Keduanya juga dekat dengan persimpangan Jalan Slamet Riyadi-Jalan Jenderal Sudirman- Jalan Mayor Sunaryo.

Khalayak bisa mencirikan persimpangan itu. Pasalnya, ada patung besar Brigjen Slamet Riyadi di tengah persimpangan itu. "Kami memang tengah menyiapkan gedung itu sebagai heritage atau peninggalan budaya," begitu Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo bertutur di sela-sela peresmian gedung tersebut sekaligus peluncuran buku berjudul "Sejarah Dan Heritage Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo" serta pemberian bantuan Program Sosial Bank Indonesia (PSBI).

Josephus Primus Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kiri), Kepala Perwakilan BI Solo Ismet Inono (tengah), dan Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo (kanan) saat peresmian konservasi gedung warisan budaya BI Solo pada Senin (20/10/2014). Awalnya, gedung tersebut bernama De Javasche Bank Agentschaap Soerakarta.

Museum

Rupanya, saat peresmian, pekerjaan menuntaskan bagian dalam gedung seluas 1.189,7 meter persegi itu belum rampung. Tampak di lantai dasar atau basement sebuah ruangan berpintu besi tengah dalam perawatan. Ruang itu masih kelihatan seperti fungsinya sejak pendirian gedung sebagai tempat menyimpan atau gudang uang. Ruangan itu juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan arsip.

Sementara itu, di lantai dua, masih terdapat sisa-sisa sekat ruang kerja. Ada ruang kerja untuk deputi pimpinan. Ada juga ruang kerja untuk kas dan pengedaran. "Rencananya, triwulan kedua 2015 gedung sudah bisa berfungsi sebagai museum," kata Perry Warjiyo yang dalam kesempatan peresmian itu bersama dengan  Kepala Perwakilan BI Solo Ismet Inono dan Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo.

Namun begitu, papar Perry, pengerjaan interior akan rampung pada triwulan pertama tahun depan. "Nanti masuk ke museum gratis," kata Perry.

Sementara, Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo mengatakan,"Saya sangat setuju sekali andaikan BI menjadikan gedung ini sebagai museum. Hal itu bisa menambah kekayaan museum di Kota Solo. Di Solo, sudah ada Museum Keris dan Museum Radya Pustaka."

Selain di Solo, BI memang sudah menjadikan gedung-gedung tua miliknya sebagai konservasi peninggalan budaya. Tercatat, selain di Solo, ada 11 gedung lawas BI yang sudah menjadi peninggalan budaya. Gedung-gedung itu tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Manado, Banda Aceh, Padang, Kediri, dan Surabaya. "Di Solo, rencananya, akan ada cerita lokal yang mengisi museum," kata Ismet Inono.
 
Untuk mengenal lebih dekat calon museum itu, ada beberapa catatan menarik berasal dari buku setebal i-vii serta 130 halaman tersebut di atas. Adalah pihak Grup Riset Kebanksentralan Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia yang menerbitkan buku tersebut pada September 2014. Kepala Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral Iskandar Simorangkir sempat memaparkan bahwa buku tersebut terdiri dari tujuh bab plus Daftar Pustaka.

BI awalnya bernama De Javasche Bank yang didirikan pada 24 Januari 1828 di Batavia, Hindia Belanda, saat itu. Bank ini adalah bank swasta. Dasar pendirian bank yang berfungsi sebagai bank sirkulasi itu adalah surat perintah Raja Willem I pada 29 Desember 1826. Saat pendirian, modal bank sebesar 4 juta gulden yang terbagi ke dalam 8.000 saham. Bank ini juga punya kewenangan mencetak uang kertas.

Singkat kata, perkembangan perekonomian di Hindia Belanda membuat De Javasche Bank membuka cabangnya yang keenam di Soerakarta, pada 25 November 1867. Nama cabang itu adalah De Javasche Bank Agentschaap Soerakarta.

Cabang di Soerakarta terbilang paling unik. Pasalnya, cuma cabang ini yang berada di kawasan pedalaman alias jauh dari kota-kota pantai. Di Soerakarta, pada masa itu, perekonomian berkembang lantaran pembukaan lahan-lahan tebu berikut pembangunan pabrik gula yakni Colomadu dan Tasikmadu.

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga memperluas akses transportasi kereta api ke kota-kota seperti Semarang dan Yogyakarta. Dengan akses itu, Soerakarta makin berkembang meski letaknya di pedalaman Pulau Jawa.

Gedung De Javasche Bank Agentschaap Soerakarta awalnya menempati sebuah losmen. Pada 1 Januari 1868, De Javasche Bank menyewa sebuah rumah untuk dijadikan kantor perwakilan itu selama dua tahun. Akhirnya, usai masa kontrak, De Javasche Bank membeli permanen rumah tersebut.

Catatan juga menunjukkan, pihak De Javasche Bank mengubah total bangunan pada 10 November 1908 menjadi gedung perkantoran. Pembangunan selesai pada 1 Agustus 1910. Pemerintah Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nasionalisasi pada 15 Desember 1951 menasionalisasi De Javasche Bank. Kemudian, pada 1 Juli 1953 De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia, sebuah lembaga Bank Sentral Indonesia.
       
Menurut rencana, selanjutnya, museum BI di Solo juga akan menampilkan koleksi-koleksi mata uang yang pernah diterbitkan De Javasche Bank. Catatan sejarah menunjukkan Pemerintah Hindia Belanda pada 1933 berupaya mengambil hati rakyat Pulau Jawa. Cara yang dilakukan adalah dengan menerbitkan mata uang kertas gulden Seri Wayang. Ada delapan pecahan seri itu yakni 5, 10, 25, 50, 100, 200, 500, dan 1.000 gulden. Uniknya, gambar wayang pada uang-uang tersebut adalah gambar tokoh wayang orang terkenal di Solo dan Yogyakarta.

Kelak, museum tersebut juga mencatatkan tiga aspek peninggalan budaya bagi BI. Pertama, museum tersebut menjadi bukti perjalanan BI sebagai bank sentral. Kedua, museum adalah jejak sejarah bagaimana bank sentral seperti BI berfungsi dan berperan. Ketiga, museum itu menjadi bagian sejarah perjuangan bangsa dan negara.

Berangkat dari situlah, museum BI di Solo dan di kota-kota lainnya menjadi tempat menangguk banyak ilmu tentang bank sentral di Indonesia. Anda tertarik berkunjung bukan?

Josephus Primus Pintu besi ruang penyimpanan uang di dalam gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Solo pada Senin (20/10/2014). Pihak BI tengah membenahi tampilan luar dan dalam gedung yang tadinya bernama De Javasche Bank Agentschaap Soerakarta untuk menjadi museum peninggalan budaya. Bank di Solo ini adalah cabang keenam De Javasche Bank yang berpusat di Batavia, kala itu. Kantor perwakilan tersebut resmi dibuka pada 25 November 1867.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com