Nasi jagung itu tersaji di wadah dari anyaman bambu beralas daun pisang. Makanan rakyat itu disantap bersama urap, ayam panggung, dan ikan asin. Itulah hidangan makan siang bagi para peserta Temanggung Heritage Trail yang diadakan oleh Jogja Heritage Society pada pertengahan November lalu. Nasi jagung itu menjadi ”pusaka” tersendiri bagi peserta jelajah.
Jelajah Pusaka Temanggung bukan acara piknik, tapi aktivitas pengenalan pusaka (heritage). Jogja Heritage Society (JHS) telah belasan kali melakukan penjelajahan serupa ke berbagai situs zaman Mataram Hindu sampai jejak zaman kolonial. Jika ada sisi rekreatifnya maka itu adalah ”bonus” yang menyenangkan.
”Heritage trail itu hanya salah satu cara menyadari pentingnya pusaka. Agar orang mengikuti dengan ringan, menyenangkan, tetapi sebenarnya mereka belajar,” kata Titi Handayani, salah seorang pengurus JHS.
Berangkat dari Yogyakarta pukul 07.00 dengan bus, sekitar 30-an peserta Temanggung Heritage langsung menuju Temanggung. Suasana kekeluargaan, penuh canda, menaungi sepanjang perjalanan. Peserta saling memperkenalkan diri, terutama bagi peserta yang baru bergabung dengan kegiatan JHS. Dalam suasana akrab dan gembira itulah peserta Jelajah Pusaka belajar kearifan sejarah.
Rombongan mengunjungi rumah bekas peninggalan Bupati Soemodilogo. Wafat pada 1825, Soemodilogo adalah Bupati Menoreh pertama. Kemudian peserta ”berziarah” ke jembatan sungai Progo di mana puluhan pejuang kemerdekaan dibantai oleh militer Belanda. Perjalanan berlanjut ke Situs Liyangan, peninggalan zaman Mataram Hindu abad 9 di Dusun Liyangan, Desa Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung. JHS juga mengunjungi Kelenteng Hok Tek Tong, atau Dharma Nugraha di Parakan. Serta Stasiun kereta api yang dibangun tahun 1907 dan tidak beroperasi lagi sejak 1973.
Pembelajaran publik
Jelajah Pusaka merupakan bagian dari aktivitas JHS yang didirikan tahun 1998 oleh sejumlah pemerhati pusaka antara lain Parmono Atmadji (alm), Laretna T Adisakti, dan sejumlah pemerhati pusaka di kota Yogya. Belakangan ikut juga bergiat antara lain Titi Handayani, Anggi Minarni, Adi Wibowo, dan lainnya.
Dari peristiwa itu, Sita dan kawan-kawan membentuk JHS yang dimaksud untuk menyebarluaskan pemahaman mengenai pentingnya menjaga warisan budaya, alam, dan saujana. Di antara deretan kegiatannya, JHS antara lain melakukan studi, penelitian, dan pendokumentasian tentang pusaka, serta pendidikan.
Pada awalnya JHS adalah sebuah gerakan penyadaran akan pentingnya pelestarian pusaka. Untuk tujuan tersebut JHS membuat diskusi atau acara lain. ”Setelah gempa di Yogyakarta (2006) kita bikin action ke pelestarian,” kata Titi Handayani.
Jelajah Pusaka merupakan bagian dari sub kegiatan pendidikan JHS. ”Pendidikan publik menjadi sangat penting untuk membangun kesadaran akan pentingnya heritage, pusaka,” kata Anggi Minarni, pengurus JHS.
Dalam rangka memberi penyadaran publik itu JHS pernah ”blusukan” ke ndalem atau rumah-rumah pangeran atau abdi dalem di kawasan Njeron Benteng atau lingkungan dalam Keraton Yogyakarta. Mereka juga menjelajah tempat-tempat penting di sekitar Gunung Kidul, seperti Gunung Purba Ngalanggeran, Situs Sokoliman, sampai Goa Rencang. Di luar wilayah Yogyakarta, JHS pernah menelusuri jejak-jejak pusaka di Magelang, Purworejo, Surabaya-Madura, dan terakhir ke situs-situs bersejarah di sekitar Temanggung.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari perjalanan bersama Jogja Heritage Society. Yulianti, seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemda DIY, mulai mengikuti kegiatan JHS yang melakukan penjelajahan di sekitar kawasan Nol Kilometer Yogyakarta. Dengan berjalan kaki, peserta menelusuri Benteng Vredeburg, Bank Indonesia, sampai Museum Sonobudoyo. Sebagai warga Yogya, bangunan tersebut tak lebih dari gedung lama, bangunan tua. Setelah mengikuti JHS, ia melihat obyek yang sama dengan perspektif kesejarahan. ”Modern boleh, tapi
heritage harus dijaga,” kata Yuli.
Eddy Arinto secara formal menjadi anggota JHS sejak 3 tahun lalu. Sebagai arsitek dan pengajar, Eddy yang selalu mengikuti kegiatan JHS bersama sang istri itu, banyak belajar tentang kearifan arsitektur masa lalu. ”Dalam mendesain suatu kawasan kita tak hanya memikirkan aspek fisik, tapi juga aspek kemasyarakatan,” kata Eddy.
Demi memberi pemahaman akan pentingnya pusaka dan sejarah, JHS tak henti-hentinya memberi penyadaran publik, termasuk kepada para pemangku kepentingan, para politisi anggota Dewan. Setiap kali ada wajah-wajah di baru panggung politik, kata Sita, JHS akan siap berbicara, ”Pusaka adalah ...”
Titik-titik itu bisa dilanjutkan dengan tulisan novelis John Steinbeck, dalam novel Grapes of Wrath. ”How will we know it’s us without our past?” Inti omongan Steinbeck itu hampir sama dengan pesan Bung Karno, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah....” (Frans Sartono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.