Jangan Kaget Studi di Belanda, yang Tak Lazim Jadi Biasa!

Kompas.com - 10/03/2015, 23:27 WIB
Latief

Penulis

KOMPAS.com – Tak sedikit mahasiswa Indonesia memilih bukan kota-kota besar di Belanda sebagai tujuan studinya, seperti Den Haag, Amsterdam atau Rotterdam. Beberapa mahasiswa, karena pilihan program studi yang diincarnya, harus tinggal jauh dari kota-kota besar itu.

Alvin Abraham Sihombing, mahasiswa tingkat sarjana (S-1) di International Business Management Study), Fontys University of Applied Sciences, Venlo, misalnya. Dia mengaku, memilih kampus tersebut tentu dengan pertimbangan masak-masak, mengingat Venlo jauh dari kota besar.

Venlo berada di perbatasan antara Belanda dan Jerman. Dengan menumpang kereta dari Den Haag, Venlo dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam. Hanya ada dua mahasiswa Indonesia yang seangkatan dengan Alvin di kampus ini.

Namun, meskipun jauh, Alvin punya alasan kuat memilih Fontys sebagai tujuan studinya. Pertama, kampus tersebut punya program study abroad untuk mempertajam wawasan internasionalnya. Kedua, kampus tersebut menawarkan program internship dan student competition.

"Ayah saya sendiri memberikan semangat dengan pilihan saya. Katanya, kalau kuliah jauh-jauh masih bertemu dan berkumpul dengan orang Indonesia yang sehari-hari juga berbahasa Indonesia, sayang sekali. Harus sekalian go internasional, harus berani menerima tantangan,” ujar Alvin kepada KOMPAS.com, Senin (9/3/2015).

M Latief/KOMPAS.com Alvin Abraham Sihombing, mahasiswa tingkat sarjana (S-1) di International Business Management Study), Fontys University of Applied Sciences, Venlo, misalnya. Dia mengaku, memilih kampus tersebut tentu dengan pertimbangan masak-masak, mengingat Venlo jauh dari kota besar.
Dengan dukungan moril tersebut, jadilah Alvin berangkat ke Venlo. Pilihannya adalah hidup mandiri di kota itu.

"Kalau di Den Haag atau Amsterdam masih terbilang gampang cari bahan makanan untuk dimasak. Mau cari restoran murah pun mudah. Di sini lebih susah dan hanya sedikit toko yang menjualnya, terutama bumbu-bumbu,” tutur Alvin.

Namun, karena tujuannya memang untuk studi, dia melawan semua kesulitan tersebut. Di tahun pertama kuliah ini, ia mengaku bisa survive berkat tekad tersebut.

"Bosan juga sih sih setiap hari di kamar (housing) saya yang kecil ini, benar-benar kecil. Sampai sekarang masih suka bosan. Kalau mau cari suasana, biasanya akhir pekan dan liburan saya janjian dengan teman Indonesia di Arnheim, main futsal atau jalan-jalan," katanya.

Tak lazim

Hal serupa juga dialami oleh Anton Tarigan, mahasiswa S-2 di Maastricht School of Management, Kota Maastricht. Dengan kereta, kota ditempuh selama dua jam dari Den Haag.

"Skil memasak itu penting di sini. Di Jakarta dulu boro-boro masak,” kata Anton sembari tertawa.

Ia akui, hidup di Maastricht membuatnya sangat mandiri. Memasak, naik sepeda, mencuci piring, hingga urusan buang sampah pun tertib dan teratur dilakukan sebagai kesehariannya.

"Apapun dilakukan lewat internet, itu kebiasaan orang Belanda dan kami ikuti di sini. Dari urusan cuaca, jadwal kereta, sampai cari toko untuk berbelanja bahan kebutuhan itu semua dilakukan lewat internet,” tuturnya.

Cerita itu diamini oleh Nael Sumampow, dosen psikologi Universitas Indonesia (UI) yang tengah melanjutkan kuliah S-2 di Master Legal Psychology di Maastricht University. Menurut dia, semua yang “tak lazim” dia lakukan di Indonesia, kini dilakukan di Belanda.

"Hidup harus hemat, itu sudah pasti. Beruntungnya, secara ekonomi hidup di sini masih lebih murah dibandingkan di Den Haag atau Amsterdam,” ujarnya.

M Latief/KOMPAS.com Nael Sumampow, Anton Tarigan, Agung Indriyanto, serta Olivia adalah para mahasiswa Indonesia di Maastricht University, Maastricht, Belanda.
Adaptasi cepat

Bukan hanya dinamika hidup di keseharian yang membuat para mahasiswa Indonesia sempat mengalami shock. Kultur akademik di kampus pun membuat mereka kerap terkejut dan harus lekas-lekas membiasakan diri.

"Mandiri itu bukan soal makan, minum dan tidur, tapi juga budaya belajar. Di sini semua kita siapkan sendiri, terutama bahan pelajaran. Dosen lebih banyak diskusi, bukan satu arah,” tutur Alvin.

Hal serupa juga dialami oleh Anton. Membaca jurnal dan ujian dalam waktu hanya dua minggu adalah “makanan utama” di awal kuliah.

"Tiap jurusan memang berbeda. Kalau saya, tiap dua minggu itu ujian. Tiga bulan pertama benar-benar menderita, harus cepat beradaptasi," kata Anton.

Agung Indriyanto, mahasiswa S-2 di Advanced Master in Intellectual Property and Knowledge Management, Maastricht University, juga menuturkan hal serupa. Dia mengaku kaget di awal-awal masuk kuliah lantaran lebih banyak berdiskusi untuk mencari pemecahan sebuah masalah atau kasus.

"Kebanyakan diskusi untuk problem solving. Sebelum kuliah harus baca sendiri tentang kasusnya. Setelah selesai, baru masuk kelas. Tanpa persiapan seperti itu, kita tidak akan diperbolehkan masuk oleh dosen," kata Agung.

Sedikit tatap muka, lebih banyak berdiskusi.  Kira-kira begitulah kesimpulan yang didapatkan dari perbincangan dengan para mahasiswa Indonesia tersebut. Membaca jurnal dan riset adalah menu harian, seperti halnya skil memasak dan mencuci sebagai yang perlahan menjadi pekerjaan paling lazim mereka lakukan sebagai pelajar di sini.

"Kalau ditanya hobi, jangan bilang hobi kita adalah membaca buku, pasti ditertawakan orang-orang di sini. Baca buku di Belanda adalah hal wajib, bukan hobi," timpal Nael.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau