Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Rumah, Kumpul-kumpul Menjaring Teman

Kompas.com - 17/03/2015, 15:19 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Bagi anak-anak sekolah rumah, saatnya bermain dan bercengkerama dengan kawan bukan ketika bel istirahat berdering, seperti di sekolah umumnya. Sebagai gantinya, anak-anak sekolah rumah bertandang untuk berinteraksi, berteman, atau berkegiatan ekstrakurikuler di halaman berumput hijau di samping rumah.

Pada suatu pagi, di halaman berumput hijau sebuah rumah di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, tujuh anak laki-laki dan perempuan berumur mulai dari 6 tahun hingga 14 tahun berdiri berjajar. Tegap. Mata mereka memicing menatap papan-papan target yang berjarak 5 meter di depan, sementara tangan mereka meregang, merentangkan tali busur panah.

Ketika aba-aba diteriakkan oleh pelatih dari Al-Fath Archery Club, serentak anak-anak panah melesat. Ada yang menancap di target, ada pula yang terbang melewati target dan mendarat di tanah yang ditutupi rerumputan. Setelah itu, setiap anak mengambil anak panah yang diletakkan di sebelah kaki mereka dan bersiap lagi membidik.

Kegiatan memanah itu dilakukan anak-anak yang bersekolah di rumah (homeschooling). Satu kali dalam sepekan, mereka berkumpul di rumah itu untuk beraktivitas bersama, seperti memanah dan pramuka.

"Orangtua anak-anak ini bergabung di dalam Klub Oase, jaringan para orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka di rumah," kata Mira Julia, sang pemilik rumah sekaligus salah satu pendiri Klub Oase, di Jakarta, Rabu (11/3/2015). Ketiga anak Mira, yakni Yudhis (14), Tata (10), dan Duta (6), juga ikut aktivitas panahan pagi itu.

Hari itu, rumah Mira dan suaminya, Sumardiono yang akrab dipanggil Aar, dipenuhi 30 anak. Kegiatan mereka bermacam-macam. Mereka yang selesai giliran memanah masuk ke rumah dan duduk di lantai.

Di salah satu pojok rumah, empat anak bermain Dungeons and Dragons, sebuah permainan petualangan dari Amerika Serikat.

Seorang anak membaca instruksi permainan dari sebuah sabak elektronik, sementara teman-temannya menulis rumus di atas selembar kertas. Permainan itu tidak hanya melibatkan Matematika, tetapi juga penalaran berpikir dan kemampuan bernegosiasi. Di ruang tengah, anak-anak balita bermain menyusun papan teka-teki, balok-balok huruf, dan ada pula yang membaca buku cerita bersama orangtua mereka.

Berjejaring

Para orangtua yang mendidik sendiri anak-anak mereka membentuk jaringan, salah satunya ialah Klub Oase. Klub itu beranggotakan 25 keluarga yang berdomisili di Jakarta, Bekasi, hingga Cilegon, Jawa Barat.

Mereka berkumpul sekali dalam sepekan agar anak-anak bertemu untuk belajar dan bermain. Adakalanya, orangtua dengan kelebihan tertentu ikut membimbing anak-anak. Kegiatan pramuka, misalnya, dibina oleh Aar dan orangtua lainnya, Mohammad Siddiq, seorang dosen Bahasa Indonesia di Universitas Ibnu Khaldun yang sekaligus pembina pramuka.

Kesan individualis, pendiam, dan tak pandai bersosialisasi yang selama ini melekat pada anak sekolah rumah berupaya mereka hilangkan. Selagi anak-anak beraktivitas di pekarangan samping rumah Mira dan Aar, para orangtua berbagi cerita dan pengalaman dalam mendidik anak-anak mereka. Tentu tidak untuk menggurui orangtua lain agar mencoba metode yang mereka pakai, tetapi sekadar memberi informasi dan menceritakan keluh kesah.

"Anak saya, Kiran, baru berumur 5 tahun. Kira-kira, apakah saya harus menyuruh dia belajar atau bermain-main dulu? Kalaupun belajar, kurikulumnya harus seperti apa?" tanya Rahdian, seorang guru les bahasa Indonesia untuk ekspatriat.

Kegalauan Rahdian dijawab para orangtua lain. Semuanya bercerita tentang awal-awal mendidik anak mereka. Pada masa awal itu, mereka masih kebingungan. Bahkan, membaca buku dan makalah ilmiah tentang pendidikan di rumah kadang malah membuat mereka semakin bingung karena ada begitu banyak teori dan metode.

"Makanya, setiap pengalaman orangtua dan anak dibagi dengan sesama praktisi sekolah rumah supaya kita semua bisa saling belajar," ujar Aar.

Tak mudah

Ketiga anak Mira dan Aar, yaitu Yudhis, Tata, dan Duta, bersekolah di rumah sedari usia taman kanak-kanak. "Setelah memperhatikan sistem pendidikan nasional dengan kepribadian anak-anak saya, tampaknya mereka lebih cocok bersekolah di rumah," ujar Aar yang pernah bekerja sebagai guru SMA.

Menurut Aar, di sekolah konvensional, sulit bagi anak untuk berkembang sesuai bakat dan minat karena ada aturan-aturan sekolah yang mewajibkan anak bertingkah serupa dengan yang lain.

"Keputusan untuk sekolah di rumah itu diambil setelah berembuk dengan anak-anak. Kebetulan mereka setuju dan akhirnya kami merencanakan kurikulum pembelajaran bersama-sama," jelasnya.

Mira menjelaskan, tidak ada satu pakem baku mengenai cara mendidik anak di sekolah rumah. Kuncinya ialah waktu dan kesepakatan antara orangtua dan anak. Orangtua dan anak mengatur waktu pembelajaran sesuai dengan jadwal kerja ayah dan ibu.

"Kalau pengaturan waktunya baik, orangtua yang keduanya berkarier tetap bisa efektif mendidik anak. Kalau pengaturan waktu sembarangan, meskipun kedua orangtua berada di rumah, pembelajaran tidak optimal," paparnya.

Setiap target pembelajaran ditentukan keluarga masing-masing. Jika targetnya memasukkan anak ke universitas, kurikulum Kejar Paket A, B, dan C dimasukkan ke dalam materi pembelajaran. Namun, metode pengajaran disesuaikan dengan karakteristik anak, waktu, dan kemampuan orangtua.

"Melakukan sekolah rumah itu sulit sekali. Orangtua harus benar-benar siap. Baik dari segi mental, waktu, pengetahuan, dan ruang. Jadi, melakukannya tidak boleh main-main karena orangtua dituntut terus menambah ilmu dan mengawasi anak," kata Aar yang sudah menerbitkan tiga buku tentang sekolah rumah, yaitu Apa itu Homeschooling?, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, dan Warna-warni Homeschooling.

Aktivitas kelompok

Berbagai les sesuai minat juga menjadi pilihan anak-anak sekolah rumah untuk melengkapi pendidikan yang diberikan orangtua dan menjalin pertemanan. Bagi Noble Diano Rizky Tansri (16), misalnya, aktivitas kelompok menjadi sangat penting. Agar dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya, Noble memilih ikut sekolah sepak bola Two Touch Football Academy. Dua kali dalam seminggu Noble rutin hadir di lapangan bola.

"Supaya saya bisa mengembangkan minat sambil bersosialisasi," ujar Noble.

Noble dan teman-teman kompleksnya sering pula menghabiskan akhir pekan bersama di rumahnya dengan gitar akustik kesayangannya. Ada tiga gitar akustik yang ia miliki, satu di antaranya ialah gitar akustik elektrik yang selalu ia gunakan ketika les musik. "Kalau masih bosan, kami main gim aja di rumah, he-he-he."

Tak ada jadwal dalam proses belajar Noble selama ini. Dia mengaku belajar dengan waktu tak menentu.

"Kadang pagi dan bisa juga malam. Kadang di ruang belajar, di ruang tamu, bahkan di garasi mobil," ujar Noble.

Dengan waktu belajar begitu fleksibel, Noble merasa bebas mengekspresikan bakatnya. Selain sepak bola, dia pun gemar bermain gitar dan drum. Dari kegiatan-kegiatan itu, Noble mendapat teman. Kumpul-kumpul teman sebaya tersebut juga dia jadikan momen berbagi pengalaman.

Namun, Noble tak hanya sibuk menjalani hobi dan minatnya. Saat ini, dia sedang mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian nasional. Ada tujuh mata pelajaran yang harus dikuasainya, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, dan Bahasa Inggris.

Noble berencana untuk berkuliah. "Sekalian nyari teman baru saat kuliah nanti," ujarnya. (DNE/B02)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com