Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Komunitas, Sefleksibel di Rumah

Kompas.com - 18/03/2015, 15:16 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Kini, sekolah rumah tak lantas sepenuhnya harus di dalam rumah. Sebagian pembelajaran anak dapat "dititipkan" di kelas-kelas komunitas sekolah rumah. Alhasil, bermunculan wadah pendidikan yang sekilas ada miripnya dengan sekolah formal, tetapi dengan fleksibilitas layaknya belajar di rumah.

Gedung dua lantai di sudut gang di Perumahan Graha Indah II, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, begitu ramai. Di salah satu ruangan, tiga kelompok anak yang terdiri dari 2 hingga 4 anak usia belasan tahun memandang serius layar laptop. Dari komputer itulah terdengar suara yang menjelaskan tulisan di layar.

Seorang wanita berusia 40-an mengawasi mereka dengan berjalan ke setiap kelompok dan berdiskusi. Waktu itu, sekitar pukul 12.30, mereka tetap fokus walaupun setengah jam lagi waktu belajar habis.

Mereka mendiskusikan materi yang tertera di layar sebelum kemudian berkemas membereskan kelas. Para peserta tingkat enam itu akan mengikuti ujian Paket C pada April 2015.

Di lantai atas, anak-anak tingkat dua sedang belajar materi Ilmu Pengetahuan Sosial tentang batas wilayah dan arah mata angin. Sang pengajar mengajak anak-anak menyanyikan bersama-sama lagu yang menyebutkan arah mata angin.

Mereka adalah anak-anak didik Komunitas Sekolah Rumah Pelangi. Anak yang tergabung dalam Pelangi berjumlah 200 orang. Namun, yang datang setiap hari untuk belajar hanya sekitar 80 orang. Selebihnya, memilih belajar dalam jaringan (online). Mereka bisa belajar dengan guru elektronik di komputer masing-masing serta mengirimkan tugas dalam bentuk resume dan video kepada guru. Mereka yang ikut pembelajaran di kelas datang setiap Senin-Jumat pukul 07.00-13.00.

Orume Silvy Nyama (16) mengikuti Sekolah Rumah Pelangi sejak taman kanak-kanak. Gadis keturunan Kamerun ini lahir di Indonesia dan sekarang hidup bersama ketiga kakaknya. Ayah Silvy bekerja di Makassar sebagai pelatih sepak bola dan ibunya dirawat karena sakit sejak Silvy balita.

"Saya sekolah di Pelangi karena sekolahnya dekat dari rumah," ujar gadis bertinggi 160 sentimeter dan berkulit gelap itu di Tangerang Selatan, Jumat (13/3). Silvy menyukai pelajaran Matematika dan Kimia serta berencana melanjutkan pendidikan di jurusan pertambangan atau perminyakan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setelah lulus. Di Pelangi, Silvy duduk di tingkat enam.

Menurut Kepala Sekolah Pelangi Erlina, Silvy termasuk anak yang pintar dan pandai bergaul. "Anak seperti Silvy akan rawan perundungan di sekolah formal. Perbedaan warna kulit sering menjadi olok-olok," ujar Erlina.

Berbeda dengan Silvy, Moris Peuru (14) baru lima bulan bergabung di Pelangi. Moris masuk ke tingkat empat dan juga bersiap untuk mengikuti ujian Paket B pada Mei 2015. Sebelumnya, ia bersekolah di SMP Negeri 9 Tangerang Selatan dan aktif di klub basket.

Namun, tujuh tahun lalu keluarganya tertimpa masalah besar dan Moris pun harus membantu keluarganya sehingga pelajarannya di sekolah tertinggal. Akhirnya, ia memutuskan memilih Pelangi karena dekat dengan rumahnya.

Di sekolah rumah, pelajaran yang diikutinya tidak sepadat pelajaran di sekolah formal. Dia juga tetap bisa aktif bermain basket karena ia bertekad untuk masuk ke klub basket nasional Indonesia setelah lulus sekolah.

"Kalau di sekolah yang dulu, ada 11 mata pelajaran. Di sini hanya enam mata pelajaran jadi lebih fokus," ujar Moris.

Peserta Komunitas Sekolah Rumah Pelangi program daring berasal dari berbagai daerah di dalam atau di luar negeri, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Yogyakarta, Malaysia, Jepang, Oman, dan Hongaria. Anak-anak dari luar negeri ini biasanya anak Indonesia yang kesulitan menyesuaikan diri sehingga memilih sekolah rumah di Indonesia. Pelajar yang datang juga bervariasi, mulai dari artis, atlet, tetangga, hingga anak dari panti asuhan.

Erlina mengatakan, anak yang belajar di Pelangi membayar biaya pendidikan bervariasi sekitar Rp 100.000 hingga Rp 700.000 per bulan. Saat ini, terdapat 10 pengajar.

"Jika ada materi yang tidak dimengerti, anak bisa bertanya kepada orangtua atau memanggil tutor," kata Erlina. Untuk mendatangkan tutor, orangtua harus menyiapkan Rp 250.000 untuk mengajar selama 2 jam.

Mirip sekolah formal

Sebuah rumah lain, tepatnya di Jalan Tebet Timur, Jakarta, juga disulap menjadi tempat anak-anak belajar. Ruangan di rumah itu didesain menjadi ruang kelas. Salah satu ruangan kelas diisi enam orang yang salah satunya menjadi guru.

Meski tidak berseragam, kelima anak tersebut sedang bersekolah. Mereka merupakan peserta didik di Homeschooling Primagama (HSPG).

"Di sini enggak semua mata pelajaran harus dipelajari. Jadi, tidak pusing," kata Obelia, peserta didik HSPG. Sekolah rumah itu hanya memiliki 38 peserta didik. Karena kesibukannya sebagai atlet renang DKI Jakarta, Obelia memilih sekolah rumah.

Manajer HSPG Area Jabodetabek Arif Handono mengatakan, HSPG menyediakan waktu belajar tiga kali seminggu, yang jadwalnya dipilih oleh peserta didik itu sendiri. Tempat belajar disesuaikan keinginan mereka untuk memilih kelas individu, belajar di rumah, atau kelas komunitas, yakni belajar di kelas layaknya sekolah formal. Biaya pendidikan Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. "Sekolah rumah itu menjadi alternatif untuk tetap mendapatkan pendidikan," ujarnya.

Di komunitas sekolah rumah Vickery Christian Academy (VCA), para peserta didik tetap bersekolah di kelas dan berseragam layaknya sekolah formal. Namun, anak didik hanya datang ke sekolah tiga kali seminggu, selebihnya orangtua harus membantu anak dalam belajar.

Principal VCA Helen Ongko mengatakan, orangtua harus berperan 50 persen dalam pendidikan. Sebelum anak menjadi peserta didik di VCA, orangtua harus menandatangani surat pernyataan untuk mendampingi pembelajaran anak di rumah dan tak memberikan bimbingan belajar terkait mata pelajaran.

"Ini cara kami untuk 'memaksa' orangtua mendampingi anaknya," katanya. Bahkan, 90 persen dari 40 guru di sekolah rumah itu juga orangtua.

VCA menggunakan Kurikulum Alpha Omega Academy, suatu komunitas sekolah rumah di Amerika Serikat. Ketika lulus, peserta didik mendapat ijazah VCA dan nasional dengan syarat mengikuti ujian nasional Paket A, B, atau C. Biaya pendidikan Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta.

Mata pelajaran di sekolah rumah itu pun didesain berbeda daripada sekolah umumnya. Sejak usia dini, anak sudah mendapatkan pelajaran logika, debat, dan pidato. Simak saja aksi salah satu murid.

Seperti Jordan yang sudah mahir berpidato di hadapan belasan temannya.

"Selamat siang, saya akan bercerita tentang hujan asam," ujar Jordan (12). (B05/B06)

Keterangan: artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Rabu (18/3/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com