Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Mentor Siaga" yang Mendewasakan

Kompas.com - 10/08/2015, 18:40 WIB

KOMPAS - Bagi sebagian orang, memasuki dunia perguruan tinggi selepas sekolah lanjutan tingkat atas tidaklah mudah. Apalagi, jika mereka memutuskan kuliah di luar negeri yang jauh dari keluarga dan berada di tengah budaya asing. Untuk membantu mahasiswa baru beradaptasi di lingkungan baru, kampus di Australia menyediakan mentor yang siaga 24 jam.

Para mentor alias pendamping itu lazimnya adalah mahasiswa senior dari berbagai bidang studi. Mereka bertugas memastikan adik-adik kelasnya, mahasiswa baru, kerasan dan nyaman belajar sejak hari pertama menginjakkan kaki di kampus. Para mentor yang mendampingi adik kelas itu bisa dihubungi kapan saja dan bisa menjadi teman, kakak, dan tempat bertanya atau curhat apa saja. Mulai dari kesulitan belajar atau mengerjakan tugas kuliah sampai urusan menghibur saat ada adik-adik kelas yang kangen keluarga di Tanah Air.

"Mentor itu teman pertama mahasiswa baru di kampus. Kalau ada tugas yang mau ditanyakan ke dosen tapi malu, mentor bisa bantu. Anak baru biasanya malu karena sulit berkomunikasi. Bisa bagi-bagi kesulitanlah karena kami dulu juga mengalami kesulitan yang sama," kata Mark Caile, mahasiswa Bisnis dan Hukum, yang memimpin program relawan mentor di Deakin University, Melbourne, Australia, saat ditemui awal Juli 2015.

Program pendampingan ini dimulai lima tahun lalu karena mahasiswa baru, khususnya mahasiswa internasional, kesulitan beradaptasi dan kangen rumah. Para mahasiswa baru sering diajak mentor untuk menjaring teman sebanyak-banyaknya dengan mengikuti beragam kegiatan. Setiap satu mentor mendampingi 4-5 adik kelas. Mereka diseleksi ketat. Pasangan mentor dan adik kelas pun dicari yang cocok. Kalau ada yang tidak cocok, bisa dicarikan pengganti.

Di lobi depan fakultas bisnis kampus Mark tersebut terpampang tulisan besar-besar penanda lokasi program mentor: Drop-In Student. Lokasinya mudah diakses mahasiswa jika sewaktu-waktu mereka butuh bantuan.

"Saya kemarin ikut daftar jadi mentor dan harus ikut banyak tes. Butuh mentor banyak karena bukan hanya mahasiswa internasional yang sering kesulitan melainkan juga anak Australia. Soalnya mereka biasanya setelah lulus SMA bekerja dulu baru lanjut kuliah 1-2 tahun kemudian," kata Adis, mahasiswa tahun ketiga bidang Psikologi di Deakin University.

Mentor pendamping yang siaga 24 jam ini hanya sebagian kecil dari fasilitas yang disediakan untuk membantu mahasiswa agar mulus kuliah dan sukses meraih impian masa depannya. Sebanyak 11 unsur pimpinan SMA dan konselor pendidikan SMA dari Indonesia mengunjungi tujuh kampus di Sydney dan Melbourne, Australia, 27 Juni-4 Juli 2015, dan semuanya menyediakan fasilitas mentor ini.

Ketujuh kampus itu adalah University of Technology Sydney (UTS), University of New South Wales (UNSW), Macquarie University, Le Cordon Bleu, Swinburne University of Technology, Monash University, dan Deakin University.

UTS, misalnya, menyediakan psikolog dan dosen siap siaga yang bisa mendampingi mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah, terutama menulis makalah atau karya tulis. Bahkan, jika ada mahasiswa yang tidak masuk kelas, pasti akan ada pesan singkat yang masuk telepon selulernya untuk sekadar menanyakan mengapa absen dari kelas.

"Ini supaya mahasiswa tidak hilang arah. Ini intervensi awal. Namun, jika ada masalah pada mahasiswa, kami tidak akan menghubungi orangtua tanpa izin mahasiswa bersangkutan karena ini masalah pribadi," kata Vivek Sokhal, Regional Team Leader UTS International.

Siap kuliah

Agar tidak gagal dalam kuliah sehingga merugi dari segi biaya pendidikan yang cukup besar, sejak awal calon mahasiswa dari Indonesia dipersiapkan dengan matang. Sebelum menentukan tempat dan bidang studi kuliah, peserta didik mencari informasi jurusan yang ada dan sesuai dengan minat bakat. Ini bisa diketahui melalui sekolah.

Namun, informasi dari sekolah di Tanah Air terbatas. Beberapa sekolah menjalin kerja sama dengan pihak lain. Kepala SMA Negeri 1 Denpasar, Bali, I Nyoman Purnajaya sering meminta bantuan dari lembaga konsultasi pendidikan luar negeri SUN Education Group. "Informasi juga diperoleh dari alumni. Biasanya anak-anak juga tertarik mengenai pasar kerja setiap bidang studi," ujarnya.

Bagi Kepala Divisi Siswa SMA Kristen Immanuel Pontianak, Kalimantan Barat, Gunawan, peran lembaga konsultasi penting saat pendaftaran. Namun, pemilihan tempat kuliah dan bidang studi pilihan tetap ditentukan peserta didik setelah mendapat informasi melalui pameran pendidikan. Sekolah hanya memberi gambaran proses belajar dan lingkungan kampus-kampus yang pernah dikunjungi.

"Orangtua akan berkonsultasi dengan sekolah tentang kelebihan dan kekurangan anaknya supaya bisa tahu bidang studi yang cocok dengan karakter anaknya. Setelah tahu mau sekolah apa, faktor lain yang dipertimbangkan adalah lingkungan belajar, seperti kondisi kota dan akomodasinya," kata Gunawan.

Program transisi

Niat sudah, tempat kuliah dan bidang studi pilihan juga sudah. Kini tinggal melihat nilai yang dimiliki anak. Jika nilainya belum memenuhi standar minimal masuk ke perguruan tinggi, ada program transisi yang ditawarkan. Proses belajarnya seperti kuliah sebenarnya. Seperti di UNSW), ada kerja kelompok, berpikir kritis, presentasi, dan konsultasi. Anak-anak diajari untuk bekerja sama dalam kelompok karena itulah yang dibutuhkan dunia kerja.

Kurikulum di program transisi, kata Kepala Sekolah UNSW Foundation Studies Paul Sutton, disusun dengan mengikuti saran UNSW agar sumber daya manusia yang "dipasok" betul-betul siap berkuliah di UNSW. Ada yang masih harus belajar banyak, tetapi ada juga yang sudah tinggal "digosok" sedikit di urusan memahami teks bacaan.

"Anak-anak bisa memahami teks bacaan berbahasa Inggris dengan belajar 12 pekan di kelas. Ini yang akan mereka hadapi ketika kuliah," ujarnya.

Menurut Novi Kurniawati, Product Manager SUN Education Group Australia, Selandia Baru, dan Indonesia, anak yang mau masuk tahun pertama di perguruan tinggi harus memiliki nilai rata-rata 8,5 (nilai ujian nasional dan nilai rapor). Biasanya nilai ini sulit diperoleh, terutama sekolah-sekolah dengan kurikulum nasional. Sebagian besar perguruan tinggi menawarkan program foundation, transisi selama minimal empat bulan.

"Kalau mau masuk kampus-kampus favorit dalam 'grup 8', disarankan masuk foundation terlebih dahulu," katanya.

Jika hendak kuliah di luar negeri, kemampuan bahasa Inggris harus disiapkan sejak kelas I atau II sekolah lanjutan tingkat atas. Kemampuan akademiknya juga harus bagus karena kemampuan bahasa Inggris masih bisa diperbaiki dengan kursus di negara tujuan. "Konsultasi untuk persiapan kuliah di luar negeri bisa sampai dua tahun karena banyak yang harus dipertimbangkan," kata Novi. (Luki Aulia)

_______________________

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 12 dengan judul ""Mentor Siaga" yang Mendewasakan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com