KOMPAS.com – Hari itu, seperti biasanya, Totto-chan berdiri di depan jendela kelas. Penuh senyum, ia memandangi dua ekor burung layang-layang yang sedang sibuk merajut sarangnya di atas pohon. Padahal, pelajaran hari itu sudah dimulai.
Tanpa sadar, atau mungkin karena penasaran, Totto-chan berteriak, "Hei, apa yang sedang kalian lakukan?" Karena tak kunjung mendapat jawaban, ia pun mengulangi pertanyaannya berkali-kali.
Guru di sekolahnya menganggap tingkah laku Totto-chan aneh dan mengganggu kegiatan belajar. Pernah, ia memanggil pengamen jalanan yang kebetulan lewat dan mengundang mereka bermain musik.
Hal itu tentu menarik perhatian teman sekelasnya sehingga kelas pun jadi gaduh. Karena tingkah unik inilah, hanya dalam waktu satu minggu ia dikeluarkan dari sekolah.
Namun, di sekolah barunya, "Tomoe Gakuen", Totto-chan akhirnya menemukan rumah belajar yang ia sukai. Kepala sekolah Mr Kobayashi dan para guru mampu membangun lingkungan nyaman bagi anak-anak seperti Totto-chan mengembangkan bakat mereka.
Di tengah kebencian terhadap negara sekutu pada Perang Dunia ke-2, anak-anak ini justru diajari untuk menghormati dan menyayangi tanpa memandang asal-usul kebangsaan.
Sebenarnya, karakter Totto-chan dalam buku "Totto-Chan: The Little Girl at the Window" karya Tetsuko Kuroyanagi kerap ditemui dalam kehidupan nyata. Memang, pada dasarnya semua anak memiliki keunikan tersendiri. Namun begitu, dalam prosesnya, pembentukan karakter adalah tugas orang tua juga institusi sekolah.
Memanfaatkan "Golden Age"
Sekitar 80 persen otak anak berkembang pada usia 0-6 tahun, atau dikenal sebagai masa emas tumbuh kembang anak. Pada masa ini, menurut Psikolog Anak Desni Yuniarni, informasi seperti apapun akan diserap anak tanpa melihat baik atau buruknya. Informasi ini nantinya akan menjadi fondasi pembetukan karakter, kepribadian, dan kemampuan kognitif mereka.
Lebih jauh, penelitian seorang ahli perkembangan dan perilaku anak asal AS, Berry Brazelton, menununjukkan bahwa tahun pertama adalah masa krusial kehidupan anak. Masa ini, ujarnya, menentukan apakah ketika beranjak dewasa ia mampu menghadapi tantangan, memiliki semangat belajar tinggi, dan berhasil dalam pekerjaan.
Perlu diingat, keberhasilan karir seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh nilai rapor sekolah saja. Namun, hal ini juga ditentukan dari kemampuan soft skill, yaitu kemampuan berkomunikasi, kerja sama, menyelesaikan masalah, toleransi, dan sejenisnya.
Peran PAUD
Di sinilah PAUD (pendidikan usia dini), baik formal maupun informal, mengambil peran utama. PAUD adalah tempat pertama anak belajar bersosialisasi dengan baik. Mereka belajar cara berinteraksi dengan orang lain di luar lingkaran keluarga dan belajar menyesuaikan diri dalam lingkungan berbeda.
"Manfaat pendidikan yang diterima sejak usia dini, seperti pembiasaan baik yang dilakukan secara disiplin oleh pendidik PAUD, akan terbawa hingga dewasa," ucap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, Kamis (28/5/2015).
Ia melanjutkan, setiap anak seharusnya mendapatkan pendidikan minimal satu tahun sebelum masuk pendidikan dasar. "Dengan begitu, mereka dibekali dulu lewat pendidikan usia dini," kata Anies.