Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/09/2015, 21:43 WIB
M Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Bantuan masyarakat masih sangat dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan pendidikan penyandang disabilitas intelektual atau tuna grahita. Dengan pendidikan yang layak mereka mampu menjadi insan mandiri dan dapat berkontribusi dalam bermasyarakat dan bernegara.

Demikian diungkapkan Retno Astoeti Aryanto S, Ketua Dewan Pembina Yayasan Asih Budi, saat menerima bantuan Program Lippo Peduli yang membangun ruang workshop dan empat ruang kelas di Sekolah Luar Biasa Asih Budi, Jakarta Timur. Pembangunan sarana sebesar Rp 2 miliar itu dilakukan pada periode Pebruari 2015 sampai Juni 2015 lalu dan siap digunakan untuk tahun akademik 2015-2016.

"Perluasan gedung ini kami harap bisa meningkatkan program pemberdayaan pemberian pendidikan dan latihan untuk membekali para tuna grahita di sini. Mereka adalah komunitas yang termarginalkan," ujar Retno kepada KOMPAS.com, Jumat (4/8/2015). 

Retno mengatakan, pendidikan yang dilakukan secara berkelompok itu untuk bekal mereka saat terjun ke masyarakat. Tidak hanya dari jenjang TK sampai SMK, tapi juga pembekalan agar siap pakai di masyarakat.

Saat ini jumlah penyandang disabilitas intelektual versi Stanford Binne sebanyak dua persen ringan (mild), 0.5 persen sedang (moderate) dan 0.25 persenberat (profound) dari penduduk dunia. Perkiraan jumlah tersebut di Indonesia adalah 2.75 persen dari 280 juta, yaitu sekitar 7,7 juta.

"Realita yang dihadapi para penyandang disabilitas intelektual tinggi adalah pelayanan minim, akibatnya mereka menjadi komunitas termarginalkan," kata Retno.

Adapun workshop dan ruang kelas baru itu akan digunakan untuk unit latihan kerja (Ulaka) lanjutan dari SMK yang saat ini berjumlah 44 orang. Program Ulaka dan workshop di temat tersebut akan mempersiapkan para siswa bekerja secara kelompok. 

"Di sini mereka akan memproduksi sesuatu untuk menghidupi kebutuhan mereka, misalnya menjilid buku, menjahit, tata boga, cetak sablon. Selain itu mereka harus bisa merapikan kamar dan tempat tinggal sehingga mereka belajar mengenai house keeping," jelas Retno.

Selain kegiatan di atas, mereka juga belajar Pramuka, olah raga misalnya basket dan musik tradisional yaitu gamelan. Bahkan beberapa perwakilan dari mereka telah mengikuti Special Olympic World Summer Games (SOWSG) di Los Angeles dan memberikan prestasi yang membanggakan.

Saat ini, keseluruhan jumlah siswa mencapai 120 orang, meliputi 33 siswa SD, 20 siswa SMP, 23 siswa SMK, 34 siswa Ulaka, serta 10 siswa peserta workshop. 

"Karena penyandang disabilitas intelektual ini sangat sensitif, kehadiran mereka di sekolah belum tentu dapat dipastikan datang setiap hari, kadang-kadang ada yang seminggu sekali atau sebulan sekali," kata Retno.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com