Kompas.com - 12/09/2015, 09:43 WIB
Magdalena Windiana Siahaan

Penulis

KOMPAS.com - Pagi itu, ada pemandangan berbeda dalam acara wisuda Univeritas Negeri Semarang (UNNES). Sebuah becak masuk parkiran kampus, sejajar di antara padatnya mobil pengantar para wisudawan dan wisudawati. Mengenakan kebaya dan kain lengkap dengan toga wisudanya, Raeni turun dari becak itu.

Seperti dikutip dari situs resmi Unnes, wisudawati dari Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) itu berangkat ke lokasi wisuda diantar oleh ayahnya, Mugiyono, yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang becak. Siapa mengira, meski hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan, Raeni justru berhasil meraih mimpinya menjadi sarjana. Bahkan, ia berhasil menjadi wisudawan terbaik dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,96.

Penghasilan Mugiyono yang kerap tak menentu pun tidak mematahkan semangat Raeni untuk meniti masa depan. Berkat bantuan beasiswa Bidik Misi dari DIKTI, Raeni berhasil menyelesaikan studinya. Konsistensi prestasi ia tunjukkan dengan nilai rata-rata indeks prestasi skala empat.

Lain Semarang, lain juga di Yogyakarta. Bantuan beasiswa pendidikan bagi kalangan yang kurang mampu turut dirasakan manfaatnya oleh Chief Executive Officer Astra Credit Companies (ACC), Jodjana Jody. Pada 1987, dia lulus dari SMA 1 Jambi. Penghasilan orang tua dari toko kelontong kecil membuat Jody berpikir ulang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Jody sadar betul, ia tak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi swasta mengingat biaya tes saja Rp 1 juta. Namun, semangatnya tak berhenti sampai di situ. Jody mulai membuat daftar perguruan tinggi yang dirasa tidak akan mematok biaya terlalu tinggi. Ia memutuskan memilih Universitas Gajah Mada di Yogyakarta sebagai incarannya.

Jody lalu mengikuti tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) yang kini berganti nama menjadi Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ia akhirnya diterima di Universitas Gajah Mada, Fakultas Ekonomi Manajemen.

Enam bulan pertama masa kuliah, Jody harus bertahan dengan uang saku dari orang tuanya sebesar Rp 300 ribu. Ia kembali harus memutar otak untuk bertahan hidup.

Saat itu, Jody mencoba mencari uang saku tambahan dengan mengajar. Dia merasa penghasilannya tak akan selamanya dapat memenuhi biaya pendidikan. Ia mulai berpikir untuk mencari beasiswa.

Sampai suatu hari, menginjak semester lima, Jody melihat pengumuman beasiswa Yayasan Toyota dan Astra (YTA) di papan kampus UGM. Berdasarkan pengumuman, syarat penerima beasiswa harus sudah menempuh pendidikan selama dua tahun serta minimal IPK 3,50.

"Awalnya saya sedikit tidak percaya diri, karena kompetitor pasti banyak. Namun, di sisi lain saya juga merasa sedikit lega. Dari segi nilai, IPK telah memenuhi syarat. Saya pun mulai mempersiapkan berkas-berkas persyaratan dan apply beasiswa tersebut melalui kampus. Enam bulan proses seleksi, akhirnya saya berhasil mendapatkan beasiswa dari YTA," kata Jody, saat ditemui di kantor Astra Credit Companies.

Jody terbilang tepat waktu dalam menyelesaikan pendidikannya. Beasiswa dari Yayasan Toyota dan Astra menghantarkannya menjadi seorang sarjana dalam kurun waktu empat tahun saja.

Beasiswa jadi "tiket" meraih cita-cita

Bagi kalangan tertentu, mengecap pendidikan tinggi masih hanya sebatas mimpi. Namun, jika punya semangat pantang menyerah, ternyata banyak anak muda yang sukses meraihnya di tengah-tengah keterbatasan. Sosok Raeni dan Jody seolah membuktikan bahwa tidak ada halangan bagi anak dari keluarga kurang mampu untuk bisa berkuliah dan berprestasi.

THINKSTOCKPHOTOS Beasiswa adalah salah satu harapan bagi mereka yang berprestasi namun tak punya biaya cukup untuk melanjutkan ke universitas

Studi Hassler pada 2007 menemukan bahwa masyarakat yang memiliki kemudahan akses pada pendidikan memiliki kesempatan dalam social upward mobility (meningkatkan status sosial) yang lebih baik secara ekonomi. Hal ini terasa tepat bila dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini.

Beasiswa seolah menjadi harapan bagi generasi unggul yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dengan demikian, pandangan bahwa bangku pendidikan hanya bisa dinikmati anak-anak dari kalangan menengah ke atas akan semakin sirna.

Sejauh ini, manfaat beasiswa memang dirasa dapat mengubah kehidupan seseorang menjadi jauh lebih baik. Namun, perlu ada kepekaan juga dari semua kalangan, baik masyarakat, industri, maupun pemerintah. Gerakan bahu-membahu menggali potensi anak-anak kurang mampu sebaiknya bisa digenjot kembali agar bibit-bibit unggul bangsa bisa tersalurkan potensinya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau