KOMPAS.com – Tinggal menghitung hari, tahun 2015 segera berlalu. Saat pergantian tahun, perayaan heboh biasanya diadakan di berbagai tempat. Pesta kembang api disiapkan, jamuan santap bersama orang tercinta juga masuk agenda.
Namun, ada yang berbeda di perayaan tahun baru kali ini. Tak hanya menyambut kedatangan tahun 2016, masyarakat Indonesia pun harus mengucapkan selamat datang pada datangnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia akan diuji secara terbuka bersama sekitar 633 juta penduduk ASEAN lain.
Kabar buruknya, rapor sektor SDM berdasarkan survei yang diadakan Bisnis Indonesia pada 2014 masih di angka merah. Sekitar 60 persen dari 200 koresponden yang merupakan pelaku bisnis setingkat direksi, direktur, dan komisaris di Indonesia menyatakan bahwa SDM dalam negeri tidak kompetitif. (Kompas.com, Rabu (15/10/2014)
Tapi, jangan berkecil hati. Kabar baiknya, industri Indonesia berpeluang menghasilkan SDM berkualitas asal kita terus melakukan perbaikan berkesinambungan atau dalam bahasa Jepang dikenal sebagai "kaizen".
Salah satu strategi yang menggunakan filosofi ini adalah Quality Control Circle atau Gugus Kendali Mutu (GKM). GKM adalah suatu sistem dalam manajemen usaha yang bertujuan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan mutu produksi agar daya saing produk meningkat. Sitem ini fleksibel diaplikasikan dalam sektor industri apapun.
Solusi "kilat"
Permasalannya, hingga kini masih ada kesenjangan antara standar kebutuhan SDM industri dan kapabilitas para jebolan sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Alhasil, ketika terserap industri, perusahaan masih harus melakukan serangkaian pelatihan demi meningkatkan kompetensi mereka.
"Selama ini pengembangan SDM menjadi rumit dan sulit karena ada gap antara apa yang diajarkan dan dialami," jelas Bob Azam, Direktur Administrasi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) saat ditemui Kompas.com di kantornya, Jumat (18/12/2015).
Menurutnya, GKM merupakan salah satu strategi cepat untuk mengembangkan SDM jika perusahaan ingin menggenjot kualitas hasil produk. Kenapa begitu?
Di dalam perusahaan, GKM biasa dilakukan dalam kelompok kecil, terdiri dari 3-8 karyawan berasal dari unit sama. Fokusnya adalah mengasah karyawan untuk proaktif mengidentifikasi, mengurai, lalu mencari solusi dari permasalahan yang kerap dihadapi dalam keseharian kerja mereka.
"Selesai mendapat induksi (pelatihan awal), karyawan baru akan langsung bekerja dan terlibat dalam GKM. Di sini dia mencontoh senior-seniornya. Bagaimana proses (GKM), mulai dari menemukan tema (permasalahan) untuk diperbaiki, kemudian dari tema itu dia cari apa akar permasalahannya," ucap Bob.
Bob menilai, solusi tersebut lebih efektif ketimbang harus melakukan pelatihan karyawan secara individu ataupun kelompok di ruangan kelas dalam waktu tertentu.
"Bayangkan, karyawan baru Toyota (tiap tahun) ada 3000. kita harus siapkan berapa (kelas)? Berapa bulan kita harus menyiapkan itu? Tapi dengan GKM, (pengembangan SDM) bisa dilakukan serentak. Senior menularkan ilmunya kepada yang junior," tuturnya.
Fleksibel
Tak hanya TMMIN, GKM juga bisa diadopsi perusahaan lain yang jumlah karyawannya lebih sedikit. Salah satu contohnya adalah PT Menara Terus Makmur. Perusahaan yang berdiri sejak 1986 ini telah lama menyokong kebutuhan komponen mobil dan sepeda motor industri otomotif Indonesia, termasuk TMMIN.
"Pengaruh luar, seperti pajak dan harga bahan baku, ada di luar kendali kita. (Karena itu) yang bisa kita lakukan adalah bagaimana memperbaiki kondisi di dalam perusahaan yang memang ada di bawah kendali kita," kata Siswijono, Presiden Direktur PT Menara Terus Makmur.
Kemudian, dia pun menantang para karyawan melakukan perbaikan di area kerja mereka. Namun, menanamkan pola pikir kaizen, lanjut Siswijono, tidak mudah. Butuh waktu sekitar satu tahun untuk mensosialisasikannya ke semua jajaran manajemen.
"Pertama-tama kita harus membuat perbaikan yang nilai tambahnya bisa dirasakan dulu oleh karyawan. Setelah merasakan manfaat perbaikannya, baru ada keinginan dari mereka untuk melakukan perbaikan lain," ucapnya.
Bahkan, Siswijono merancang iklim kompetitif dengan mengadakan kompetisi GKM untuk memotivasi karyawan mengeluarkan ide dan inovasi. Apresiasi pun diberikan bagi mereka yang idenya paling cemerlang.
"Tanpa motivasi, agak berat menanamkan Kizen sebagai mindset," ujar Siswijono.
Percaya diri
Dilihat berdasarkan potensi yang ada saat ini, sebenarnya SDM Indonesia tidak kalah bersaing di kancah internasional. Bob mengakui hal hal setelah melihat sendiri kemampuan tim didiknya saat mengikuti kompetisi GKM bertaraf internasional.
"(Selain kompetisi nasional) Kita kirim juga (tim GKM) ke konvensi Toyota Regional se-ASEAN dan Toyota Global di Jepang. Kelihatan memang kualitas orang kita (Indonesia) lebih baik daripada negara-negara lain seperti Australia, India, atau Malaysia," kata Bob.
"Kalau menurut feedback dari petinggi-petinggi Toyota (di Jepang), kita ini one step ahead," tambahnya.
Agar mampu unggul dalam persaingan global, pola pikir kompetitif perlu ditanamkan sejak dini. Rasa tidak mudah puas juga wajib dipupuk agar perbaikan berkesinambungan terus terjadi. Dengan begitu, Indonesia tak akan tenggelam, sederas apapun tantangan arus persaingan global. Selamat datang era MEA!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.