Faktanya... Pelajar Indonesia Keteter dalam "Academic Writing"!

Kompas.com - 22/02/2016, 05:29 WIB
Oleh Indy Hardono

KOMPAS.com - Masih segar dalam ingatan sewaktu orang tua memberi kado istimewa di hari ulang tahun: belanja buku cerita sepuasnya di salah satu toko buku ternama! Euforia yang sampai kini tak terlupakan! Anda pernah mengalaminya?

Buku memang punya daya magis tersendiri. Bukan saja dapat membentuk cara berpikir (kognitif), tapi juga bisa membentuk kepekaan, imajinasi dan rasa (afektif).

Lebih dari itu, membaca secara bawah sadar (subconscious) juga ikut merancang struktur cara berpikir. Paling tidak, kita tahu bahwa dalam setiap hal selalu ada opening, main content, dan ending.

Orang yang gemar membaca biasanya juga lebih fokus dalam berpikir. Orang yang suka membaca biasanya akan lebih luwes dalam bertutur secara tertulis. Ia juga memiliki "stok" kosa kata yang tak terbatas pada saat menulis.

Budaya baca

Sayangnya, budaya membaca di Indonesia masih kurang. Itu kalau tak mau dikatakan memprihatinkan.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca.

Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan (Kompas: Membaca Sebagai Jendela untuk Melihat Dunia).

Budaya tutur

Konon, budaya kita lebih didominasi oleh budaya tutur (verbal) dan mendengar. Coba tanyakan kepada para para remaja dan 'ABG', berapa banyak dari uang saku mereka yang mereka sisihkan untuk membeli buku?

Boleh jadi, kita pasti sudah tahu jawabannya. Membeli pulsa untuk telepon selular lebih diprioritaskan dalam pengeluaran mereka.

Perhatikan juga perilaku orang-orang yang sedang menunggu bis di halte sampai para kaum eksekutif di business lounge sambil  menunggu penerbangan. Kebanyakan lebih senang ngobrol dengan teman atau serius memainkan perangkat elektroniknya.

Tak heran, statistik menunjukkan kalau orang Indonesia tetap "juara" untuk urusan bertutur, bahkan di era digital seperti sekarang ini. Jakarta menempati peringkat pertama untuk jumlah Tweet per hari mengalahkan kota-kota besar seperti Tokyo dan New York. Adapun peringkat keenamnya adalah Bandung. Nah?

Sebaliknya, di negara-negara yang menjadikan budaya membaca lebih mendapat tempat terlihat sangat berbeda. Seperti di Belanda misalnya, ada gerbong kereta api yang disebut "gerbong tenang". Di sinilah setiap orang di dalamnya tidak diperkenankan untuk berbicara keras, atau berbincang karena gerbong itu memang dikhususkan untuk orang yang mau mengerjakan tugas atau membaca.

Halaman Berikutnya
Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau