Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Mengajarkan Kenikmatan Belajar

Kompas.com - 28/02/2016, 07:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
Sebagai orang tua saya kadang khawatir soal masa depan anak saya. Akan jadi apa mereka kelak? Orang tua manapun tentu ingin anaknya tumbuh tanpa kekurangan, dan sukses dalam menjalani hidup mereka.

Tapi tak jarang kita temui orang tua yang “gagal”. Orang tua sukses menjalani hidup mereka sendiri, tapi gagal mengantarkan anak menjadi orang yang sukses.

Istilah sukses itu sendiri memang punya banyak sisi. Terkadang sulit membuat ukuran-ukuran mengenainya. Kerumitan inilah salah satu pangkal kegagalan orang tua.

Mereka mendefinisikan sukses secara sempit, umumnya berpusat pada kesuksesan mereka sendiri. Kemudian memaksakan agar anak-anak mereka mengikuti jalan yang sama.

Tak jarang anak yang punya keinginan sendiri ditekan sedemikian rupa. Ada yang “berhasil”, dalam arti mengikuti jejak orang tua, namun mereka sendiri tidak bahagia.

Tapi tak sedikit yang akhirnya tidak jadi apa-apa. Tidak jadi seperti orang tua mereka, pun tidak jadi diri mereka sendiri.

Saya (merasa) menyadari hal itu. Saya tidak ingin anak-anak mengikuti jejak saya. Mereka harus tumbuh dan berkembang sesuai minat dan bakat mereka.

Posisi saya adalah membantu mereka membangun minat, dan mengembangkan bakat, dan mencari jalan menuju sukses. Jalan itu sendiri harus mereka jalani dengan menikmatinya.

Tapi jujur saja, hal itu sepertinya tak mudah dilakukan. Dunia di luar sana begitu luas, sementara yang sudah pernah kita sentuh masih sangat sempit cakupannya.

Bagaimanapun juga ketika anak menapak menuju dunia yang sama sekali tidak kita kenal, kita akan merasa khawatir.

Kebanyakan orang tua sepertinya merasa nyaman kalau anak menapaki jalan yang sudah mereka kenal. Sukur-sukur melalui jalan yang sudah pernah mereka lewati sendiri.

Kadang saya khawatir, bagaimana kalau prestasi belajar anak-anak saya pas-pasan? Bagaimana kalau prestasinya tidak menonjol? Lalu tidak dapat tempat di universitas yang bagus. Atau bahkan tidak mau kuliah sama sekali.

Bagaimana kalau mereka tidak berminat untuk jadi orang sukses? Bagaimana kalau mereka tidak berminat jadi apa-apa? Saya yakin setiap orang tua, atau kebanyakan orang tua punya kekhawatiran itu.

Lalu bagaimana? Orang tua saya bukanlah orang berpendidikan. Ayah kelas dua Sekolah Rakyat, Emak tak pernah sekolah sama sekali. Mereka juga bukan orang sukses dalam ukuran orang-orang pada umumnya. Mereka “hanya” petani kelapa.

Tapi dengan semua “kekurangan” itu mereka sukses mendidik anak-anak. Mereka adalah orang-orang yang menjadi orang tua secara alami.

Saya berkeyakinan bahwa saya dengan pendidikan dan pengalaman selama ini, punya modal yang lebih baik. Maka saya yakin seharusnya saya juga bisa lebih baik.

Hal penting yang saya rasakan ketika saya merenungkan kembali jalan yang ditempuh oleh Ayah dan Emak dalam mendidik saya adalah bahwa mereka tidak menetapkan tujuan apapun kepada saya. Tidak ada target, kamu harus jadi ini atau itu.

Mereka hanya mengajarkan cara hidup. Bahwa hidup harus diperjuangkan. Hidup harus tahu diri, di posisi mana kita berdiri dan bagaimana kita harus bersikap.

Boleh jadi karena mereka memang tidak tahu banyak soal dunia di luar urusan bertani kelapa, sehingga mereka tidak bisa menetapkan target.

Tapi apapun alasannya, bagi saya situasi itu adalah berkah. Cara seperti itulah yang sedang dan akan saya terapkan kepada anak-anak saya.

Di luar soal itu, satu hal ingin saya tekankan dalam mendidik anak, yaitu bahwa hidup adalah proses belajar. Hidup adalah belajar, sejak dari dalam ayunan hingga ke liang lahat.

TRIBUN MEDAN / RISKI CAHYADI Para murid mengikuti proses belajar dipandu seorang guru di sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Jalan Yusuf Zaitun Dusun XVIII Percut, Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, Senin (6/4/2015).
Belajar tak mengenal kata tamat atau khatam. Karenanya menjadi penting untuk mencari tahu bagaimana cara menikmati proses belajar itu.

Adalah fakta bahwa belajar sering kali menjadi siksaan bagi anak-anak. Sejak usia dini anak-anak sering dipaksa menelan apa yang tak ingin mereka telan.

Berbagai jenis hafalan, mulai dari rumus matematika, struktur, istilah, nama tempat, nama orang, tanggal, dan banyak lagi. Juga kumpulan ayat dan doa.

Anak-anak tidak diajarkan untuk tahu dan paham. Mereka dipaksa untuk ingat. Sebuah proses yang dalam pengalaman saya sangat menyiksa.

Saya kira kita semua pernah mengalami bahwa kita akan sangat nyaman belajar sesuatu yang kita suka. Bila kita ingin tahu, lalu kita mencari tahu. Saat kita jadi tahu, sungguh nikmat rasanya.

Idealnya begitulah seharusnya jalan yang ditempuk anak-anak kita dalam belajar. Sayangnya tidak selalu demikian kejadiannya. Atau bahkan sangat jarang yang terjadi seperti itu. Kebanyakan adalah seperti yang saya sebut di atas.

Beberapa pelajaran sangat menyiksa bagi anak-anak. Bagi saya dulu IPS, PMP, pelajaran-pelajaran hafalan, sangat menyiksa. Bagi anak yang lain matematika dan IPA sungguh menyiksa. Perhatikanlah bahwa anak-anak kita pun begitu. Lalu bagaimana?

Saya mencoba hadir di sisi anak-anak saya saat mereka kesulitan. Sarah misalnya, sangat kesulitan dalam pelajaran IPS, PKn, dan sejenisnya. Maka saya dampingi dia.

Ketika membahas geografi, misalnya, saya ajak dia membuka peta, baik yang ada di buku atlas maupun dari Google. Saya ajak dia berkelana melalui peta dan foto-foto, melihat sendiri tempat-tempat yang diceritakan dalam buku pelajaran.

Demikian pula dengan sejarah. Saya kumpulkan bahan-bahan yang kemudian saya ramu, agar sejarah itu bisa dilihat secara lebih utuh, sebagai sebuah cerita. Bukan sekedar kumpulan nama orang, tempat, dan tanggal.

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI Siswa SDN Tanjungrejo 5 Kota Malang, Jawa Timur, mengunjungi Candi Badut di Karangwidoro, Kabupaten Malang untuk belajar mengenai peninggalan sejarah di Jawa Timur, Rabu (10/6/2015). Kegiatan wisata sejarah ini efektif untuk mengajak generasi muda lebih mengenal dan bersentuhan langsung dengan situ dan artefak sejarah bangsa Indonesia dari masa lalu.
Seluruh pelajaran saya perlakukan seperti itu. Untuk sisi ekonomi misalnya, saya sering ajak anak-anak saya ke pasar, pabrik, dan lain-lain.

Saya jadikan pengalaman mereka itu sebagai titik berangkat dalam menjelaskan isi buku pelajaran. Demikian pula dalam pelajaran IPA, saya ajak mereka melakukan berbagai percobaan.

Harapan saya, belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi anak-anak. Mereka tidak tumbuh dengan siksaan pelajaran. Dengan demikian mereka akan menikmati prosesnya, dan nantinya mereka akan mencari dan menemukan sendiri jalan yang hendak mereka pelajari.

Dugaan saya, anak-anak yang memilih “berhenti”, tidak ingin jadi apa-apa adalah anak-anak yang tidak tahan lagi dengan siksaan keharusan belajar. Jangan sampai anak-anak kita menjadi seperti itu.

Persoalannya, banyak orang tua yang berhenti pada kata,”Saya tidak bisa.” Alasannya, saya tidak menguasai materi pelajaran anak-anak.

“Kamu sih enak, kamu doktor, jadi kamu bisa mengajari,” begitu dalih beberapa teman.

Ini dalih saja. Saya doktor di bidang sains, tapi tentu saja saya tidak paham semua. Saya tidak paham ilmu ekonomi. Bahkan dalam topik-topik sains pun saya masih harus banyak belajar, karena bidang sains saja sudah sangat luas.

Jadi, kita harus belajar. Belajar sampai paham, sampai kita bisa menerangkan kepada anak-anak dengan cara yang mudah mereka pahami.

Banyak orang lupa bahwa membesarkan anak itu memang harus belajar. Banyak hal yang harus kita pelajari, seperti bagaimana perkembangan fisik dan psikis mereka, bagaimana berkomunikasi, soal gizi dan kesehatan, dan seterusnya.

Kalau orang-orang berpikir mengasuh anak itu sesuatu yang alami dan tidak memerlukan ilmu tertentu, mereka salah besar. Jadi, sebagai orang tua kita harus belajar.

Tapi apakah kita harus menguasai semua? Tidak. Anak-anak saya ikut latihan karate dan renang, belajar ke orang lain. Juga ikut les gitar. Itu wilayah yang saya memang tidak bisa.

Poin saya, tidak salah mengirim anak kita les untuk belajar sesuatu. Tapi jangan cuci tangan dari pendidikan anak hanya karena kita sanggup membayar guru les. Formatnya begini,

  1. Pada bidang yang kita kuasai, kitalah guru utama. Misalnya, Anda ahli keuangan, maka jadilah guru utama pada pelajaran-pelajaran terkait. Beri kesempatan anak menyerap sebanyak mungkin ilmu Anda.
  2. Pada bidang di luar keahlian Anda, belajarlah. Kuasailah, sampai Anda mampu menjelaskannya secara sederhana dan menarik bagi anak-anak.
  3. Pada bidang yang Anda sama sekali tidak bisa, mintalah bantuan pada orang lain, misalnya melalui les.

Selamat mencoba.

Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com