Pemerintah benar-benar harus cepat tanggap atas masifnya kemunculan bisnis model baru yang berkembang di masyarakat, terutama yang didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Karena selain transportasi online, masih banyak lagi aplikasi akan masuk ke Indonesia dengan kapitalisasi lebih besar.
Selain sempat memanasnya “polemik taksi online”, masyarakat Indonesia sudah bisa melihat sendiri betapa masifnya kedatangan bisnis aplikasi yang disruptive itu. Mereka datang secara beruntun, mulai Airbnb untuk online reservation pada sektor akomodasi, Amazon untuk toko online atau e-commerce, dan lain-lainnya yang seluruh investasinya dari pihak asing.
Tak bisa tidak, semua itu akan mendobrak model bisnis konvensional yang sudah mapan. Kehadiran mereka sangat berkontribusi pada munculnya ekosistem baru yang perlu diantisipasi dan difasilitasi, bukan dimusuhi.
Ini belum bicara soal isu 100 persen kepemilikan asing yang investasinya masuk di atas Rp 100 miliar. Semua ini perlu dipelajari, agar hal-hal yang nantinya akan membantu kita malah berbalik akan dikuasai asing. Jika benar begitu, kita hanya akan jadi penonton. Penonton asing yang tengah asyik berbisnis di Tanah Air sendiri.
Dukungan SDM
Melihat peluang dan potensi teknologi informasi dan komunikasi pada masa depan tidak semata merujuk pada kisah sukses Google, Facebook, atau beragam startup global. Kita hanya akan kehabisan waktu mengejar capaian mereka kalau step by step persiapannya tidak dirancang dengan baik.
Memang, itu bukan berarti Indonesia tidak bisa menghasilkan produk seperti contoh-contoh itu, terutama dari peluang perangkat lunak. Tapi, apakah sumber daya manusia (SDM) kita sudah siap?
Untuk sebuah produk startup yang bisa menjadi viral terpublikasi, dipakai dalam keseharian, dan menghasilkan pendapatan besar, tentu butuh dukungan SDM yang kuat di segala lini. Semua tidak serba instan. Ini tidak main-main!
Kenapa? Karena kita akan bicara dari sisi konseptor, pembuat program aplikasi, pembuat desain web, sampai operator-operator yang akan menjalankan aplikasi-aplikasi itu di masyarakat. Sudah kah kita siap?
Sejatinya, visi ekonomi digital yang dipaparkan oleh Presiden RI Joko Widodo sudah sangat baik. Hanya, visi itu tidak akan berjalan atau dalam arti jalan di tempat tanpa adanya sinergi dengan visi lain Presiden terkait penyiapan tenaga terampil melalui jalur pendidikan vokasi.
Sejak awal menjabat, sebetulnya Presiden sudah mendorong pendidikan vokasi untuk dikedepankan, termasuk menyatakan bakal lebih dibutuhkannya lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) ketimbang sekolah umum.
Dorongan itu sudah tepat. Tenaga-tenaga terampil di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu harus dipasok sebanyak-banyaknya. Cara paling cepat dan masif tentu lewat para siswa SMK.
SMK Siap Pakai
Presiden RI Joko Widodo pernah berpesan bahwa di dalam industri kreatif itu ada industri TIK. Presiden juga menekankan bahwa TIK akan menjadi tulang punggung untuk menciptakan pekerjaan massal dan masif secara cepat.
Tapi, perlu diingat, kita tidak boleh salah kaprah melihat peluang ini. Belum ada rumusan besar TIK di Indonesia yang sahih.
Angka itu setara Rp 1, 690 triliun dengan kurs Rp 13.000 per dollar AS. Angka yang benar-benar fantastis dan baru dari sisi e-commerce saja.
Pertanyaannya, dengan apa kita akan mencapai target itu? Lalu, bagaimana dengan target ekonomi digital itu sendiri? Hadirnya Palapa Ring masih 3 tahun lagi. Apakah kita harus menunggu tiga tahun tanpa berbuat apa-apa?
Boleh jadi, ucapan Bill Gates bisa dijadikan renungan. Gates pernah mengatakan, bahwa yang ia khawatirkan di masa depan bukanlah Oracle atau Apple, tapi perusahaan-perusahaan baru yang dikendalikan oleh anak-anak muda cerdas dan nekat. Mereka menggurita dengan ide-ide revolusioner.
Ya, perusahan-perusahaan anak-anak muda itu akan secara tiba-tiba muncul tanpa peringatan. Mereka akan tumbuh seperti jamur di Silicon Valley, yang siap mengempaskan siapa saja yang tidak siap dan kurang cepat mengantisipasi masa depan.
Dus, ucapan sang maestro Microsoft itu kini sudah terjadi, telah terbukti. Tapi, tentu saja, kita beruntung dan tidak perlu khawatir. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan RI, kita punya 4,4 juta siswa SMK yang merupakan ujung tombak generasi muda siap pakai.
Kenapa SMK? Karena memang kita membutuhkan tenaga-tenaga siap pakai sebanyak mungkin. Kita butuh jumlah developer secara massif yang bisa kerja cepat dengan cost tidak mahal.
Kurikulum SMK pun sudah banyak bersinergi ke sektor-sektor industri. Kerja kita ke depan tinggal membentuk mereka sebagai tenaga TIK siap pakai, yang bahkan melebihi kemampuan lulusan bertitel sarjana.
Setiap tahun, ada sekitar 1 juta siswa SMK lulus. Mereka tak cuma di kota, tapi hadir dari pelosok-pelosok desa di Nusantara. Merekalah yang akan menjadi operator; operator digital ekonomi Indonesia.
Siapkah kita memanfaatkan adik-adik SMK itu menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.