Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Generasi Y, Penerbit, dan "Ngopi-ngopi" Bareng

Kompas.com - 15/04/2016, 11:07 WIB

"If one does not know to which port one is sailing, no wind is favourable.”

––Seneca

KOMPAS.com - Dunia penerbitan buku Indonesia terus bergeliat, apalagi setelah sukses menjadi tamu kehormatan di perhelatan Frankfurt Book Fair 2015. Cukup banyak penerbit di Indonesia yang berbenah diri melakukan terobosan dan penetrasi untuk tetap “terlihat” di tengah ributnya timeline media sosial.

Penerbit-penerbit yang lamban dan tak cekatan hampir pasti akan “selesai” alias hanyut dan tenggelam. Sebaliknya, penerbit yang terus menuntut dirinya untuk tetap sigap dan tangkas, akan menjadi yang terdepan.

Menariknya, dengan dukungan teknologi digital yang tampak semakin “bisa-segalanya”, peta pertarungan yang terjadi saat ini tidak hanya antara “penerbit vs. penerbit”, tetapi juga “penerbit vs. penulis mandiri (self-publishing).

Peta pertarungan yang sedang dan akan terus terjadi dapat divisualisasikan seperti ini: di satu kutub berdiri penerbit tradisional, sementara di kutub lain berpijak penerbit mandiri.

Keduanya tampak berhadap-hadapan, sebab yang terakhir menjadi semacam “alternatif” bagi yang pertama.

Tak terbantahkan bahwa penulis mandiri di zaman ini memiliki kekuatan teknologis (technological power) yang super-canggih.

Penulis-penulis generasi Y ini (lahir antara 1980–1999) memiliki beragam opsi untuk menerbitkan naskahnya menjadi sebuah buku, bahkan dapat langsung terbit dalam dua format sekaligus: cetak dan digital––proses yang mungkin agak membingungkan bagi generasi sebelumnya.

Lebih mencengangkan lagi, untuk menghasilkan satu buku, generasi Y hanya butuh modal paket data internet dan ponsel pintar 5 inci, tanpa perlu riset mendalam ke beberapa perpustakaan besar.

Tak hanya itu, sebelum dan sesudah bukunya terbit, para penulis kekinian itu bisa langsung komen-komenan dengan pembacanya via media sosial. Inilah yang membuat penulis di penggalan sejarah ini semakin independen dalam banyak hal.

Fenomena self-publishing sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Sudah sejak awal berkembangnya dunia pemikiran, cukup banyak pemikir dan orang bijak yang merancang dan menerbitkan karya tulis mereka sendiri. Apa yang baru dalam self-publishing di era ini adalah teknologi pendukungnya yang semakin “can-do-anything”.

Berhadapan dengan situasi tersebut, penerbit yang telah berdiri mapan dengan sistem dan model bisnisnya harus segera membelalakkan matanya terhadap fenomena penulis-penulis yang secara sadar memilih jalan penerbitan mandiri.

Net Generation

Melihat sejenak ke belakang, sudah cukup terbenam di pikiran banyak orang bahwa cara paling mudah untuk menerbitkan buku adalah dengan menyerahkan naskah pada penerbit.

Penerbit lantas melakukan seleksi apakah naskah-naskah tersebut layak diterbitkan. Jika naskah dianggap layak, penerbit akan mengurus seluruh prosesnya, mulai dari penyuntingan, desain tata letak, desain sampul, percetakan, distribusi hingga akhirnya terpajang di toko buku.

Dengan pola itu, segala sesuatunya ditentukan oleh penerbit dengan standar-standar tertentu, mulai dari spesifikasi kertas, sampul, hingga oplah cetak.

Apa iya masih zaman seperti itu?

Di era ketika otoritas telah sedemikian tersebar, bisa jadi pertimbangan dan standar penerbit tersebut dapat dipertanyakan. Sebab, dalam beberapa kasus, bisa saja penerbit luput melihat celah yang dilihat jelas oleh penulis-penulis generasi Y.

Mungkinkah ada titik tengah antara keduanya?

Di sinilah letak diskusinya. Bagaimana penerbit bisa tetap eksis di tengah-tengah generasi Y yang semakin narsis. Penerbit buku, mau tidak mau, suka tidak suka, harus siap membuka ruang komunikasi seluas-luasnya dengan para penulis generasi Y.

Bisa jadi, prosesnya bukan lagi penulis mengirimkan naskah dan penerbit menentukan kelayakannya. Old school banget itu.

Bisa jadi, prosesnya adalah editor (dari penerbit) dan calon penulis ngopi-ngopi bareng, bicara apa saja, dari soal politik sampai kuliner, dari gaya hidup sampai kesehatan, dan pada momen tertentu muncullah ide untuk membuat buku bersama.

Ide itu lantas bisa dimatangkan menjadi gaya penulisan, jenis ilustrasi, ukuran buku, desain tata letak, jenis kertas, promosi sosial media, peluncuran, sampai trik dan metode penjualan.

Bisa jadi, dengan ngopi-ngopi itu, ada berbagai ide yang dapat dieksekusi. Itu artinya, penerbit dan Net Generation tak perlu saling menang-menangan. Keduanya masih dapat terus berkolaborasi.

Tak perlulah penerbit mengagung-agungkan standardisasinya, tetapi juga tak bijaklah jika Net Generation memuja-muja alternatif self-publishing.

Ini penting: menutup mata terhadap pengalaman, kualitas, serta jaringan penerbit adalah kepandiran. Namun, menolak mentah-mentah alternatif self-publishing juga adalah kebebalan.

Mengutip buku Don Tapscoot, Grown Up Digital, terbitan Gramedia Pustaka Utama, “Saat ini jamak dijumpai orang berusia 11–30 tahun yang melakukan lima hal secara bersamaan: mengirim pesan, mengunduh musik, menggungah video, menonton film di ponsel, dan melakukan aktivitas sosial media.”

Pertanyaannya, di manakah posisi penerbit di antara generasi “grown up digital”? Jawabannya mungkin dapat ditemukan saat ngopi-ngopi bareng. (Andi Tarigan, editor di Gramedia Pustaka Utama)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com