Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Bagaimana Bangkit dari Kegagalan?

Kompas.com - 03/05/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Semua orang pernah gagal, tanpa kecuali. Orang-orang yang menikmati sukses besar, pernah mengalami kegagalan besar. Orang-orang yang sekarang sedang sukses, di masa depan mungkin akan gagal lagi.

Sejak kecil saya bermimpi untuk sekolah ke luar negeri. Banyak persiapan yang saya lakukan untuk hal itu. Lalu datang sebuah kesempatan pada saya.

Ada program beasiswa untuk sekolah ke luar negeri yang diselenggarakan oleh Menristek BJ Habibie, yang waktu itu disebut Overseas Fellowship Program (OFP). Saya melamar, kemudian dipanggil tes. Tapi saya gagal pada tes tahap pertama.

Dalam usia yang masih sangat belia, bagi saya itu sebuah kegagalan besar. Cukup lama saya menangisi kegagalan itu.

Bagaimana cara bangkit lagi? Pertama sadarilah bahwa kita tidak punya pilihan selain bangkit. Hidup harus dilanjutkan. Kecuali kita ingin berhenti hidup, maka kita harus bangkit. Selalulah ingat tentang itu. Life must go on. Masih tersedia banyak jalan lain yang bisa kita tempuh.

Gagal di OFP saya punya jalan lain, yaitu masuk UGM. Saya waktu itu lulus tes Sipenmaru, jadi saya jalani saja upaya membangun masa depan dengan kuliah di UGM.

Kedua, ingatlah bahwa yang perlu kita lakukan adalah mulai lagi. Restart. Kita dulu mulai dari nol, maka kita mulai lagi dari nol. Bahkan mungkin tidak dari nol, karena banyak persiapan kita yang masih bisa dipakai ulang. Kadang kita hanya perlu mulai dari 80 atau 90. Kita hanya perlu mencoba sekali lagi.

Dalam hal saya dulu saya hanya perlu mencoba sekali lagi, mencari kesempatan untuk mengikuti seleksi beasiswa. Jadi peliharalah harapan, dan hiduplah seperti biasa. Kesempatan selanjutnya akan datang.

Ketiga, nikmati apa yang secara nyata ada di depan kita. Gagal boleh jadi berarti kemerosotan. Kita hanya menikmati sedikit dari yang pernah kita nikmati dulu. Orang yang gagal berbisnis, atau kena PHK akan kehilangan hal-hal yang dulu pernah ia nikmati.

Saya pernah kena pecat dari perusahaan saat baru lulus. Waktu itu biasa dapat gaji sejuta lebih per bulan, tiba-tiba penghasilan nol. Dalam bentuk lain, meski bukan sebuah kegagalan, saat pulang dari Jepang tahun 2007 saya juga hanya menikmati gaji senilai 1/4 dari yang biasa saya nikmati di Jepang sebelumnya.

Dengan prinsip bahwa hidup harus dilanjutkan, maka saya bertahan menikmati apa yang ada. Saat kena pecat, sambil menunggu tes masuk untuk jadi dosen, saya bekerja di toko kakak saya, sekedar untuk menumpang hidup, tidak makan gratis. Untuk uang saku saya bekerja dengan mengajar les privat.

Ketika memutuskan untuk pulang ke Indonesia, saya cari pekerjaan yang penghasilannya cukup untuk sekedar membiayai hidup keluarga saya. Waktu itu saya sudah punya anak 2. Saya nikmati saja pekerjaan itu, yang penting hidup kami tidak kekurangan.

Tidak hanya dalam soal materi, kemerosotan juga bisa kita rasakan dalam hal non materi. Di Jepang saya adalah sensei. Saya bekerja di lembaga intelektual, biasa dihormati orang-orang sekitar.

Tiba-tiba saya harus meninggalkan semua itu. Ijazah dan gelar doktor saya jadi seperti tidak berguna. Saya harus mengerjakan pekerjaan administrasi yang nyaris tak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan saya.

Tegasnya, ijazah doktor saya masukkan ke laci. Tapi sekali lagi, saya jalani saja itu semua tanpa mengeluh. Minimal saya punya nafkah yang cukup untuk anak istri saya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com