Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Bekal Makan Siang di Sekolah dan Kisah YN yang Tragis

Kompas.com - 04/05/2016, 08:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kepintaran-kepintaran jenis lain yang non-kognitif yang justru amat berguna dalam menjalani hidup seperti keterampilan sosial, empati, pengendalian diri, semangat, ketekunan, juga semangat untuk memotivasi diri, mengatasi frustrasi, mengontrol dorongan diri, juga kemampuan kerjasama, tidak mendapat ruang yang memadai.

Kepintaran yang terakhir ini membutuhkan kemampuan diri untuk mengelola aspek-aspek afektif atau emosi yang kadang bergejolak sesuai dengan situasi hidup seorang individu. Daniel Goleman menyebut kepintaran jenis ini sebagai kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ).

Kasus YN dan pembunuhan dosen

Kita terperenyak melihat melihat kelamnya kabar yang menghiasi linimasa kita di awal pekan ini, persis di hari pendidikan nasional. Kabar dari bengkulu, YN siswa berprestasi yang baru berusia 14 tahun diperkosa dan dibunuh dengan keji oleh 14 pemuda. Di Medan, seorang mahasiswa membunuh dosennya, diduga karena persoalan nilai kuliah. 

Berita-berita itu menyuguhkan pada kita soal lepasnya kendali diri melawan amarah juga nafsu. Ada dorongan dalam diri yang gagal terbendung dan terkelola dengan baik.

Sosiolog Kriminal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto, seperti dikutip Kompas menyebut, kasus ini memperlihatkan rendahnya kecerdasan emosi seseorang meski telah menempuh serangkaian pendidikan.

Ia melihat, ada fenomena penurunan EQ karena tidak semua satuan pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi menyeimbangkan antara kurikulum yang bersifat hard skill dan soft skill.

“Selama ini, kurikulum dan mata kuliah hanya menekankan aspek kognitif, tetapi melupakan aspek afektif,” kata dia.

Apakah IQ penentu sukses?

Pertanyaannya begini, apakah nilai-nilai cemerlang di atas lembaran rapor dan ijazah merupakan jaminan bahwa seseorang akan meraih sukses dalam hidupnya?

Menurut Goleman, berdasarkan penelitiannya seputar EQ , setinggi-tingginya IQ hanya menyumbang 20 persen kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen adalah faktor-faktor lain, di antaranya EQ.

Karen Arnold, seorang profesor pendidikan di Boston University menelusuri jejak 81 juara kelas dan juara kedua dari angkatan tahun 1981 di sekolah-sekolah menengah Ilionis, Amerika Serikat. Di perguruan tinggi, ke-81 anak itu terus berprestasi dengan mengukir nilai-nilai yang luar biasa.

Ia bersama timnya mengikuti jejak 81 anak itu dan mendapati, sepuluh tahun setelah lulus sekolah menengah, hanya satu di antara empat orang yang meraih tingkat paling tinggi dalam profesi mereka di antara teman sebaya. Mereka yang nilainya rata-rata malah meraih sukses karena mampu mengelola dirinya dan keterampilan hidup.

“Seorang juara pertama dimengerti sebagai berprestasi sangat bagus dalam ukuran angka-angka. Tapi, predikat juara tidak memberi gambaran apapun tentang bagaimana mereka bereaksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup,” kata Arnold seperti dikutip Goleman dalam bukunya Emotional Intelligent.

Tes kecerdasan terstandar yang pertamakali dicetuskan oleh Alfred Binet pada 1905 pertama-tama tidak dimaksudkan sebagai sebuah ukuran kecerdasan seorang manusia. Binet waktu itu hanya ingin melakukan pemetaan terhadap murid-muridnya yang memerlukan bantuan khusus dalam pelajaran. Binet tidak memandang mereka yang membutuhkan bantuan khusus dapat serta merta disebut bodoh.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com