Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Bekal Makan Siang di Sekolah dan Kisah YN yang Tragis

Kompas.com - 04/05/2016, 08:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Lewis Terman kemudian menyempurnakan metode yang dikembangkan Binet dan mempopulerkannya dengan sebutan IQ.

Hampir semua peradaban masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kemudian memandang IQ ini sebagai satu-satunya defini tentang kecerdasan dengan mengabaikan fakta bahwa manusia adalah pribadi yang utuh yang tidak hanya memiliki otak, tapi juga hati dan jiwa.

Di tangan Hittler, gagasan ini menjadi sesuatu yang mengerikan karena ia meyakini bahwa IQ merupakan faktor genetik yang diwariskan oleh orangtua. Orang-orang yang dianggap “inferior” lantas dilarang melakukan reproduksi.

Tahun 1933 ia memerintahkan sterilisasi paksa untuk membatasi reproduksi demi menjaga keunggulan ras bangsa Arya.

EQ

IQ bukannya tidak penting, tapi bukan satu-satunya hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan diri manusia, apalagi perkembangan anak-anak kita di sekolah.

Banyak studi mendapati, mereka yang memiliki IQ tinggi ternyata tidak memperoleh prestasi belajar yang maksimal. Sebaliknya, mereka yang memiliki IQ biasa saja namun prestasi belajarnya lebih baik. Kesuksesan seseorang ternyata membutuhkan keseimbangan antara IQ dan EQ.

Charles Murray dan Richard Hermtein dalam bukunya yang amat terkenal The Bell Curve mengungkap, IQ itu bersifat genetik. Kabar gembiranya, disampaikan Goleman, EQ tidak bersifat genetik. EQ dipengaruhi juga oleh faktor budaya.

Artinya, EQ bisa dipelajari dan dikembangkan. Sistem pendidikan kita selayaknya memberi ruang yang cukup untuk pengembangan ini. Sistem ranking kelas sungguh tidak lagi relevan karena bersifat reduksionistik dalam memandang pribadi seorang anak, mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain.

Kata Goleman, kecerdasan akademis memiliki sedikit saja kaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Orang yang paling cerdas bisa menjadi seorang koruptor ulung. Orang yang ber-IQ tinggi bisa jadi adalah seorang pilot yang tak cakap dalam mengendalikan kehidupan pribadinya.

Sistem pendidikan kita seyogianya tidak hanya menghasilkan orang pintar dalam perspektif IQ, tapi pribadi yang utuh dan dewasa. Seperti kata Aristoteles, seorang pribadi yang utuh dan dewasa adalah mereka yang dapat mengendalikan dirinya.

Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang tepat, dan dengan cara yang tepat, itu tidak mudah.

Bukankah jauh lebih bangga melihat anak-anak kita bisa memiliki banyak teman, memiliki empati pada teman dan sesamanya, pandai mengelola gejolak hatinya, dan bisa bekerjasama dengan teman-temannya ketimbang sekadar melihat mereka mendapat angka 100 di kertas ulangan matematikanya .

Di dunia kerja dan hidup sehari-hari, bisa bekerjasama dengan kolega jauh lebih penting ketimbang angka 100 di kertas ulangan yang kelak hanya jadi catatan usang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com