Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Bekal Makan Siang di Sekolah dan Kisah YN yang Tragis

Kompas.com - 04/05/2016, 08:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang tepat, dan dengan cara yang tepat, itu tidak mudah.

-Aristoteles

 

Dalam sebuah kesempatan, teman saya bercerita dengan penuh antusias tentang penelitian yang dia lakukan di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Salah satu obyek penelitiannya adalah soal bekal makan siang yang biasa dibawa banyak siswa di sekolah itu.

“Sepertinya sepele, soal makan siang,” kata teman saya bersemangat. “Tapi, di balik bekal makan siang, ada sesuatu yang enggak sepele.”

Umumnya, anak-anak remaja males banget bawa bekal makan siang. Cemen. Di usia itu pun, saya rasanya malu jika bawa ompreng bekal makan siang. Kayak anak TK aja.

Teman saya bercerita, di sekolah itu memang tidak semua siswa membawa bekal makan siang. Sekolah pun tidak mewajibkan. Tradisi membawa bekal makan siang belum lama berlangsung dan terjadi spontan atas inisiatif anak-anak.

“Sekolah berhasil memicu inisiatif siswa untuk membuat gerakan ini tumbuh dari bawah,” tutur teman saya itu.

Saat istirahat makan siang, mereka yang membawa bekal duduk berkelompok dalam ikatan yang cair. Setiap lauk yang dibawa ditaruh di tengah lingkaran untuk dimakan bersama. Jadinya, lauk makan siang mereka beragam.

“Makan siang jadi momen bagi siswa untuk belajar berbagi, bersahabat, berempati, juga bekerjasama. Yang enggak bawa bekal makan siang bisa gabung, trus besok kepingin bawa bekal makan siang,” teman saya menjelaskan.

“Dalam peristiwa makan siang,” kata dia lagi, “ada pelajaran soal hidup, sesuatu yang enggak elo dapet waktu elo belajar soal kimia dan trigonometri...haha.”

Teman saya betul. Sampai sekarang saya tidak paham apa relevansinya belajar kimia dan trigonometri zaman sekolah dulu dengan hidup dan dunia kerja yang saya geluti sekarang.

Soal makan siang, tak sengaja saya mendapatkan sebuah video yang amat mengesankan buat saya di linimasa media sosial yang dibagikan seorang teman.

Video itu berkisah tentang 45 menit makan siang yang disebut sama pentingnya dengan mata pelajaran matematika. Selama proses 45 menit makan siang, para siswa belajar tentang kerjasama, melayani, sopan santun, dan menghargai orang lain. Lihatlah video di bawah ini.

Saya bukan ahli atau pemerhati pendidikan. Ini sekadar catatan kecil saya memandang hidup. Bagi saya, dunia pendidikan kita adalah dunia yang sangat kognitif. Ukuran kesuksesan belajar ditentukan dalam konversi angka-angka dalam standar intelligent quotient (IQ).

Kita menghabiskan setidaknya 12 tahun masa belajar hingga SMA di sekolah yang memaknai kata pintar sebatas angka. Kata pintar dibatasi maknanya pada aspek kognitif itu. Mereka yang dapat nilai 100 disebut anak pintar. Mereka yang nilainya 40 bodoh.

Kepintaran-kepintaran jenis lain yang non-kognitif yang justru amat berguna dalam menjalani hidup seperti keterampilan sosial, empati, pengendalian diri, semangat, ketekunan, juga semangat untuk memotivasi diri, mengatasi frustrasi, mengontrol dorongan diri, juga kemampuan kerjasama, tidak mendapat ruang yang memadai.

Kepintaran yang terakhir ini membutuhkan kemampuan diri untuk mengelola aspek-aspek afektif atau emosi yang kadang bergejolak sesuai dengan situasi hidup seorang individu. Daniel Goleman menyebut kepintaran jenis ini sebagai kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ).

Kasus YN dan pembunuhan dosen

Kita terperenyak melihat melihat kelamnya kabar yang menghiasi linimasa kita di awal pekan ini, persis di hari pendidikan nasional. Kabar dari bengkulu, YN siswa berprestasi yang baru berusia 14 tahun diperkosa dan dibunuh dengan keji oleh 14 pemuda. Di Medan, seorang mahasiswa membunuh dosennya, diduga karena persoalan nilai kuliah. 

Berita-berita itu menyuguhkan pada kita soal lepasnya kendali diri melawan amarah juga nafsu. Ada dorongan dalam diri yang gagal terbendung dan terkelola dengan baik.

Sosiolog Kriminal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto, seperti dikutip Kompas menyebut, kasus ini memperlihatkan rendahnya kecerdasan emosi seseorang meski telah menempuh serangkaian pendidikan.

Ia melihat, ada fenomena penurunan EQ karena tidak semua satuan pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi menyeimbangkan antara kurikulum yang bersifat hard skill dan soft skill.

“Selama ini, kurikulum dan mata kuliah hanya menekankan aspek kognitif, tetapi melupakan aspek afektif,” kata dia.

Apakah IQ penentu sukses?

Pertanyaannya begini, apakah nilai-nilai cemerlang di atas lembaran rapor dan ijazah merupakan jaminan bahwa seseorang akan meraih sukses dalam hidupnya?

Menurut Goleman, berdasarkan penelitiannya seputar EQ , setinggi-tingginya IQ hanya menyumbang 20 persen kesuksesan hidup seseorang. Yang 80 persen adalah faktor-faktor lain, di antaranya EQ.

Karen Arnold, seorang profesor pendidikan di Boston University menelusuri jejak 81 juara kelas dan juara kedua dari angkatan tahun 1981 di sekolah-sekolah menengah Ilionis, Amerika Serikat. Di perguruan tinggi, ke-81 anak itu terus berprestasi dengan mengukir nilai-nilai yang luar biasa.

Ia bersama timnya mengikuti jejak 81 anak itu dan mendapati, sepuluh tahun setelah lulus sekolah menengah, hanya satu di antara empat orang yang meraih tingkat paling tinggi dalam profesi mereka di antara teman sebaya. Mereka yang nilainya rata-rata malah meraih sukses karena mampu mengelola dirinya dan keterampilan hidup.

“Seorang juara pertama dimengerti sebagai berprestasi sangat bagus dalam ukuran angka-angka. Tapi, predikat juara tidak memberi gambaran apapun tentang bagaimana mereka bereaksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup,” kata Arnold seperti dikutip Goleman dalam bukunya Emotional Intelligent.

Tes kecerdasan terstandar yang pertamakali dicetuskan oleh Alfred Binet pada 1905 pertama-tama tidak dimaksudkan sebagai sebuah ukuran kecerdasan seorang manusia. Binet waktu itu hanya ingin melakukan pemetaan terhadap murid-muridnya yang memerlukan bantuan khusus dalam pelajaran. Binet tidak memandang mereka yang membutuhkan bantuan khusus dapat serta merta disebut bodoh.

Lewis Terman kemudian menyempurnakan metode yang dikembangkan Binet dan mempopulerkannya dengan sebutan IQ.

Hampir semua peradaban masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kemudian memandang IQ ini sebagai satu-satunya defini tentang kecerdasan dengan mengabaikan fakta bahwa manusia adalah pribadi yang utuh yang tidak hanya memiliki otak, tapi juga hati dan jiwa.

Di tangan Hittler, gagasan ini menjadi sesuatu yang mengerikan karena ia meyakini bahwa IQ merupakan faktor genetik yang diwariskan oleh orangtua. Orang-orang yang dianggap “inferior” lantas dilarang melakukan reproduksi.

Tahun 1933 ia memerintahkan sterilisasi paksa untuk membatasi reproduksi demi menjaga keunggulan ras bangsa Arya.

THINKSTOCK -
EQ

IQ bukannya tidak penting, tapi bukan satu-satunya hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan diri manusia, apalagi perkembangan anak-anak kita di sekolah.

Banyak studi mendapati, mereka yang memiliki IQ tinggi ternyata tidak memperoleh prestasi belajar yang maksimal. Sebaliknya, mereka yang memiliki IQ biasa saja namun prestasi belajarnya lebih baik. Kesuksesan seseorang ternyata membutuhkan keseimbangan antara IQ dan EQ.

Charles Murray dan Richard Hermtein dalam bukunya yang amat terkenal The Bell Curve mengungkap, IQ itu bersifat genetik. Kabar gembiranya, disampaikan Goleman, EQ tidak bersifat genetik. EQ dipengaruhi juga oleh faktor budaya.

Artinya, EQ bisa dipelajari dan dikembangkan. Sistem pendidikan kita selayaknya memberi ruang yang cukup untuk pengembangan ini. Sistem ranking kelas sungguh tidak lagi relevan karena bersifat reduksionistik dalam memandang pribadi seorang anak, mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain.

Kata Goleman, kecerdasan akademis memiliki sedikit saja kaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Orang yang paling cerdas bisa menjadi seorang koruptor ulung. Orang yang ber-IQ tinggi bisa jadi adalah seorang pilot yang tak cakap dalam mengendalikan kehidupan pribadinya.

Sistem pendidikan kita seyogianya tidak hanya menghasilkan orang pintar dalam perspektif IQ, tapi pribadi yang utuh dan dewasa. Seperti kata Aristoteles, seorang pribadi yang utuh dan dewasa adalah mereka yang dapat mengendalikan dirinya.

Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang tepat, dan dengan cara yang tepat, itu tidak mudah.

Bukankah jauh lebih bangga melihat anak-anak kita bisa memiliki banyak teman, memiliki empati pada teman dan sesamanya, pandai mengelola gejolak hatinya, dan bisa bekerjasama dengan teman-temannya ketimbang sekadar melihat mereka mendapat angka 100 di kertas ulangan matematikanya .

Di dunia kerja dan hidup sehari-hari, bisa bekerjasama dengan kolega jauh lebih penting ketimbang angka 100 di kertas ulangan yang kelak hanya jadi catatan usang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com