Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Setiorini
Pengemar Buku dan Travelling

Penggemar buku dan travelling, berpengalaman sebagai jurnalis selama tujuh tahun dan menekuni penerbitan buku selama enam tahun sesudahnya. Penulis buku ‘My Travel Notes’ ini sekarang menjadi penulis lepas dan dosen manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana.

Mengapa Saya Tiga Kali Datang ke Bazar Buku "Big Bad Wolf"?

Kompas.com - 09/05/2016, 13:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Bazar buku murah "Big Bad Wolf" ini konon sudah berhasil menarik lebih dari 100 ribu pengunjung. Sampai 7 Mei 2016, saya sudah datang tiga kali. Sepertinya saya tidak sendiri, berita terbaru mengatakan bahwa karena animo masyarakat yang luar biasa terhadap Big Bad Wolf, maka bazar buku itu akan diperpanjang hingga Senin (9/5/2016) malam.

Jika dihitung dari Rabu (4/5/2016) malam, berarti lebih dari 100 jam bazar buku tersebut dibuka tanpa tutup. Wow!

Dengan jumlah buku berbahasa Indonesia yang cukup minim, tadinya saya kira bazar ini tidak akan penuh seperti yang terjadi sekarang. Apakah minat baca masyarakat sudah membaik? Jika ya, apakah hanya untuk bacaan berbahasa Inggris? Bagaimana dengan bacaan berbahasa Indonesia, apakah juga akan diminati seperti ini?

Saya teringat akan pesta buku atau pameran buku yang selalu saya datangi. Hingga 4 tahun terakhir, saya masih rutin mendatangi pameran buku. Waktu itu saja saya merasa tidak sebanyak ini orang yang mengunjungi pameran tersebut.

Saya sendiri pun lama-lama enggan ke sana. Bukan hanya tempatnya yang semakin tidak representatif—dulu "Indonesian Book Fair" digelar di JCC lama-lama pindah ke Istora, acaranya pun tidak menarik.

Potongan harga

Salah satunya, tidak ada diskon yang cukup “nendang” untuk menarik minat pembeli. Beda betul dengan "Big Bad Wolf" yang memberi diskon antara 60-80% dari buku-buku tersebut.

Langsung terasa bedanya antara membeli buku di "Big Bad Wolf" dengan di toko-toko buku asing semacam Periplus atau Kinokuniya. Jelas, orang akan tertarik membeli. Apalagi buku-bukunya pun tergolong terbitan baru. Kalaupun lama, jelas labelnya: cerita atau buku klasik. Ada nilai koleksi di dalamnya.

Sementara pameran buku kita, tidak demikian. Harganya—kalaupun ada diskon—tidak jauh berbeda. Lalu, untuk apa dong datang ke pameran buku kalau harganya sama saja dengan membeli di toko buku terdekat dari rumah?

Kalaupun ada buku yang dijual murah—katakan saja Rp5 ribu atau Rp10 ribu—bisa dipastikan itu adalah buku-buku lama. Dijual dengan harga demikian murah mungkin untuk memberi ruang dalam gudang penerbit yang sudah penuh.

Selain itu, pameran buku kita cenderung tidak fokus. "Pesta Buku Jakarta" biasanya dibarengi dengan penjualan alat tulis dan sekolah karena diadakan menjelang tahun ajaran baru. Lalu, saya tidak ingat lagi pada "Islamic Book Fair" tahun berapa yang saya merasa galau karena lebih banyak menjual perlengkapan muslim daripada buku-bukunya.

Kondisi tempat pameran pun perlu diperhatikan. Memindahkan "Indonesian Book Fair" dari JCC ke Istora, menurut saya, kurang sesuai. Istora terlalu kecil sehingga lebih cepat sesak. Apalagi bila sirkulasi udaranya kurang baik, bau pengap segera menguar, membuat sakit kepala pengunjung pameran. Bedakan dengan "Big Bad Wolf" yang digelar di gedung baru: ICE-BSD. Meski penuh sesak seperti semalam, tak ada aroma yang menganggu.

Memang, tidak semua orang terpuaskan dengan "Big Bad Wolf". Sejumlah teman mengeluhkan tidak adanya buku-buku yang mereka minati, termasuk buku-buku mengenai Islam. Tidak apa. Bukankah ini peluang bagi penerbit kita? Membuat pameran sejenis untuk buku-buku berbahasa Indonesia dan buku-buku dari Timur Tengah, misalnya.

Selama ini penerbit-penerbit besar di Indonesia rutin mengunjungi "Frankfurt Book Fair"—bahkan tahun lalu menjadi guest of honor di sana, "London Book Fair", atau "Bologna Children’s Book Fair"—terutama untuk buku anak-anak. Mengapa tidak menjalin kerja sama dengan penerbit-penerbit di Abu "Dhabi International Book Fair" atau "Cairo International Book Fair"?

Tokoh serigala jahat

"Big Bad Wolf" sebenarnya adalah tokoh serigala—yang biasanya jahat—dalam cerita anak-anak. Kita dapat menemukan tokoh ini dalam cerita Gadis Berkerudung Merah atau Tiga Babi Kecil. Dalam Tiga Babi Kecil, serigala ini bernama Midas. Saya tidak paham kenapa acara atau komunitas ini menggunakan istilah big bad wolf.

Tapi serigala yang ini mungkin adalah jenis yang baik, karena memberikan buku-buku bagus dengan harga yang sangat terjangkau. Jadi, ada baiknya juga bergabung dalam kawanan serigala ini.

Pada kunjungan pertama saya ditawari menjadi member. Manfaatnya apa? Saya sih tidak terlalu memperhatikan penjelasan yang diberikan. Yang tertangkap hanya bahwa member akan mendapat kesempatan H-1 di acara yang sama tahun depan.

Nah, itu saja sudah cukup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com