Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Witdarmono

Pernah menjadi siswa, pernah menjadi guru, dan suka sekali berada di sekolah.

Sekolah untuk Apa jika Sumber Pengetahuan Dapat Digantikan Internet?

Kompas.com - 12/05/2016, 17:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

KOMPAS.com — Indonesia merupakan sebuah negara yang luas, dengan budaya, bahasa, dan kepercayaan yang amat beragam. Namun, di tengah keragaman itu, ada kesamaan persepsi yang dapat saya simpulkan setelah bercengkerama dengan banyak orangtua dan dewasa di berbagai lokasi di Nusantara.

Mereka memiliki mimpi agar anak mereka dapat sekolah setinggi-tingginya, dan mereka rela bekerja keras menguras keringat agar anaknya dapat bersekolah.

Sebuah riset dari Universitas Columbia di New York menyatakan, di negara berkembang, yang di sini saya asumsikan termasuk Indonesia, pendidikan tetap dianggap sebagai sebuah golden ticket.

Dengan bekal pendidikan, anak-anak dianggap dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang berijazah bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dengan gaji yang mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sementara itu, data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2012 menunjukkan, angka partisipasi siswa menurun dari satu jenjang ke jenjang berikutnya.

Dari 100 persen anak Indonesia yang duduk di bangku SD, 83 persen bertahan selama enam tahun dan lulus. Tidak semuanya melanjutkan ke tingkat SMP karena hanya 66 persen anak Indonesia yang mengenyam pendidikan lanjutan.

Angka partisipasi ini semakin kecil, dan pada akhirnya 40 persen dari generasi muda Indonesia lulus SMA atau sederajat. Fakta ini bertentangan dengan mimpi para orangtua untuk mengantarkan anak-anaknya bersekolah.

Ujung-ujungnya duit

Kembali melihat secara khusus ke negara berkembang, pada setiap diskusi isu sosial, pastinya kita juga harus melihat unsur ekonomi dalam isu tersebut. Tidak sedikit siswa sekolah yang masih harus bekerja, baik di ladang maupun di warung. Hari-hari mereka dibagi antara menerima ilmu di sekolah dan mencari tambahan uang untuk keluarga.

Yang mereka dapatkan di sekolah adalah bekal pengetahuan abstrak yang mungkin tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan secara langsung.

Sementara itu, saat bekerja, mereka menerima kertas rupiah yang dapat ditukarkan dengan beras, telur, atau terkadang, es puter. Tak heran jika daya tahan mereka di sekolah pun lama-kelamaan luntur. Uang yang didapatkan dari bekerja terasa lebih nyata. Uang itu menyambung kehidupan.

Ketika kebutuhan akan pendidikan disandingkan dengan kebutuhan sehari-hari, tentu pendidikan tidak akan menang. Ilmu adalah sesuatu yang intangible (tanpa wujud), yang di sekolah biasanya dikuantifikasikan dalam nilai angka atau huruf.

Selain itu, ilmu merupakan bekal untuk masa depan. Fungsionalitasnya jangka panjang. Di luar kemampuan membaca dan menulis, kadang kita tidak pernah tahu kapan kita akan menggunakan ilmu yang kita pelajari di sekolah.

Selanjutnya, jika kita bicara ilmu, akses informasi yang luas dengan internet membuat semua orang dapat belajar apa saja. Beberapa minggu lalu, saya melihat seorang tukang bangunan menonton video di YouTube. Ia sedang belajar cara memasang bebatuan di dinding.

Kebutuhan akan ilmu dapat dipuaskan oleh berbagai search engine. Lalu, apa fungsi sekolah, jika ia selalu kehilangan prioritas dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari, dan terlebih jika sumber pengetahuan dapat digantikan oleh internet?

Lebih di luar ilmu

Faktor lain yang menyebabkan angka partisipasi yang rendah adalah kurangnya dorongan dari orangtua akan pentingnya sekolah. Para orangtua mungkin saja tidak pernah mengenyam pendidikan, pun merasakan dampak positif dari bersekolah. Oleh karenanya, ia tidak dapat membagikan pengalaman yang membuat anaknya termotivasi untuk terus berada di bangku sekolah.

Sebenarnya, sekolah memberikan bekal yang jauh lebih besar dari ilmu. Pertama-tama, sekolah memiliki fungsi sosial untuk membiasakan anak-anak dengan norma bermasyarakat yang ada di sekitar kita. Budaya antre, budaya hormat, bahkan kebiasaan menyapa satu dengan yang lain diajarkan melalui interaksi di sekolah, dan harapannya, mereka akan tumbuh besar dengan kebiasaan ini.

Kemudian, sekolah menjadi tempat untuk mengajarkan sikap saling menghormati, pengolahan rasa, dan kemampuan sosial-emosional yang lain melalui hubungan antar-manusia. Siswa belajar untuk mengelola dan mengendalikan emosi sehingga mereka bisa meredam amarah dan mengekspresikannya dengan sesuai.

Sementara itu, guru juga belajar untuk berempati dengan kondisi keluarga siswa yang terkadang menghambat kelancaran proses belajar-mengajar.

Masih banyak bekal yang akan didapatkan oleh siswa, di luar ilmu semata. Namun, bekal ini sering kali tidak kita akui karena kita terpaku pada pengetahuan, dan juga karena tidak banyak orangtua yang telah mendapatkan bekal non-ilmu ini dari sekolah.

Diperlukan kerja sama lintas sektor yang dapat membawa generasi muda Indonesia kembali ke bangku sekolah. Diperlukan ekosistem yang memberikan apresiasi tinggi pada persekolahan sehingga anak ataupun orangtua berniat untuk memberikan ruang untuk pendidikan.

Mimpi dan kerja keras orangtua adalah sebuah awal dari pintarnya seluruh anak Indonesia. Kelanjutannya menjadi tanggung jawab kita semua....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com