Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/05/2016, 20:19 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

KOMPAS.com - Matahari siang bersinar hangat di atas Sungai Lalang, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Sebuah perahu berlayar tenang menuju hulu di antara barisan tongkang sarat batang-batang kayu dari hutan tanaman industri (HTI).

Sungai Lalang bak urat nadi bagi warga Desa Muara Medak menuju kota kecamatan di Bayung Lencir. Tak hanya bagi perekonomian, sungai ini pun merupakan “jalan” bagi anak-anak desa tersebut menggantang asa, yaitu rute menuju ke sekolah.

Beberapa tahun ini, ada memang jalan darat untuk alternatif dari desa itu ke ibu kota kecamatan. Namun, jauhnya jarak yang mesti dilewati tanpa ada kendaraan apalagi angkutan umum, membuat jalan itu tak banyak dilewati.

Selamat datang di kawasan yang baru beberapa tahun ini juga mengenal uang, meski dihuni oleh sekitar 5.300 orang dari 1.500-an keluarga. Uang dikenal di sini setelah sebagian warga menjadi buruh harian lepas di perusahaan HTI.

Sebelumnya, mayoritas warga masih memakai sistem barter untuk mendapatkan barang-barang kebutuhannya. Dengan kondisi itu, sekolah pun masih menjadi barang mewah bagi mereka.

KOMPAS.com/ JUNAEDI Puluhan siswa di dusun terpencil di Kecamatan Bambang Lamotu, Mamuju Utara, Sulawei Barat, terpaksa menyeberang tiga sungai menuju sekolah.

“Minat sekolah di Muara Medak cukup tinggi. Namun, akses menjadi kendala utama,” ujar Kepala Desa Muara Medak Marudut Panjaitan.

Lulusan sekolah menengah atas tak lebih dari hitungan jari, baru satu orang memiliki gelar sarjana, dan dua orang lagi lulus diploma. Itu pun setelah ada beasiswa dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan salah satu perusahaan hulu migas.

Di wilayah seluas 655 kilometer persegi itu, hanya ada satu sekolah dasar negeri (SDN) dengan 10 guru. Lalu, sekolah menengah pertama juga baru satu kelas, yang itu pun kelas jarak jauh dari salah satu SMP di Kecamatan Bayung Lencir.

Marudut adalah salah satu guru di kelas jarak jauh tersebut. Saat ini, sekitar 250 anak bersekolah di SDN Muara Medak.

Untuk menyiasati keterbatasan ruang kelas, sekolah dibagi menjadi kelas pagi dan kelas siang. Karena jarak dari rumah ke sekolah juga jauh, para guru memberikan pula banyak toleransi soal jam kedatangan siswa.

“Rumah jauh, infrastruktur jalan sulit, terkadang hanya bisa menggunakan sampan maupun tongkang,” tutur Kepala Sekolah SDN Muara Medak, Purnama.

Menyikapi kondisi ini, kembali industri hulu migas berinisiatif turun tangan. Kali ini berupa pembangunan kelas baru. Harapannya, kelas baru tersebut akan  membuat seluruh siswa bisa mengikuti kelas pagi.

Sebagai pelengkap, para siswa mendapatkan pula bantuan seragam dan alat tulis untuk sekolah, selain pelampung untuk keselamatan selama menumpang perahu menuju sekolah.

Bukan satu-satunya

Bantuan yang menjadi cakupan program tanggung jawab sosial SKK Migas bersama industri di sektor ini, bukan hanya satu-satunya di Muara Medak. Program serupa juga dilaksanakan di SDN 3, Desa Kali Berau, Kecamatan Bayung Lencir.

Di sini, bahkan SDN yang ada, hanya satu kelas dan itu pun kelas jauh dari sekolah lain. Secara bertahap program tanggung jawab sosial menghadirkan enam kelas di Desa Kali Berau.

Pelahan, SDN Kali Berau pun menjadi sekolah utama. Bila sebelumnya jumlah siswa hanya 15 orang, sekarang ada 110 anak belajar di sekolah ini.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO Siswa SDN Cigoong 2 berangkat sekolah dengan meniti jembatan rusak yang menghubungkan Desa Karyajaya dan Desa Cigoong Selatan, Lebak, Banten, 7 April 2014. Sudah dua tahun para murid melintasi jembatan ini untuk menuju sekolah, karena jika memutar mereka harus menempuh jarak sejauh tiga kilometer.

“Bahkan sekarang di sini ada perpustakaan dan ruang multimedia,” ujar Kepala Sekolah SDN 3 Kali Berau Sangkut Hidayat.

Di luar Sumatera, program serupa berjalan di juga di Kalimantan. Di antara sekolah yang mendapatkan bantuan ini adalah SDN 031 dan SDN 027 di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Sekolah-sekolah ini mendapatkan bantuan berupa pembangunan mushala, sarana air bersih, rehabilitasi perpustakaan dan toilet, semenisasi halaman, serta buku pelajaran untuk siswa.

Insya Allah, (semua bantuan) bermanfaat bagi proses belajar dan meningkatkan ibadah seluruh penghuni di sekolah ini” ujar Kepala Sekolah SDN 031 Samboja,  Suharti.

Juru Bicara SKK Migas Taslim Z Yunus mengatakan, dukungan penuh dari masyarakat dibutuhkan untuk kelancaran operasi hulu migas. Oleh karena itu, masyarakat harus merasakan dampak nyata yang positif dengan kehadiran industri hulu migas di wilayahnya.

Dalam konteks tanggung jawab sosial bidang pendidikan, program yang dijalankan bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah setempat.

“Harapannya dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar wilayah operasi,” kata Taslim. 

Taslim pun berharap ada dukungan dari para pemangku kepentingan di daerah operasi hulu migas untuk mempermudah kegiatan eksplorasi dan produksi industri ini.

“Apabila (perusahaan industri hulu migas) menemukan cadangan dan berproduksi, hasilnya akan dirasakan (pula oleh) masyarakat Indonesia,” imbuh Taslim.

Tantangan pendidikan

Berdasarkan data Sensus Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, hingga akhir 2015 masih ada 4 persen anak-anak berusia minimal 10 tahun yang terdata buta huruf, demikian juga anak-anak dalam rentang usia 10 tahun sampai 15 tahun.

Data yang sama memperlihatkan, jumlah anak usia SD yang terdaftar di sekolah mencapai 96,7 persen. Namun, tak semuanya lulus, apalagi melanjutkan sekolah.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO Siswa Sekolah Dasar Negeri Cigoong 2 berangkat sekolah dengan meniti jembatan rusak yang menghubungan Desa Karyajaya dan Desa Cigoong Selatan, Lebak, Banten, 7 April 2014. Selama dua tahun mereka menantang bahaya menuju sekolah melalui jembatan ini. Jika memutar mereka harus menempuh perjalanan tiga kilometer untuk mencapai sekolah.

Setidaknya, mereka yang seharusnya duduk di bangku SMP hanya 77,82 persen benar-benar sekolah. Bahkan, mereka yang berusia setingkat anak SMA hanya 59,71 persen menikmati kursi kelas.

Itu pun ada tantangan berupa infrastruktur dan fasilitas sekolah yang memadai. Simak saja misalnya, surat dari tiga siswi sekolah di kawasan perbatasan yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo, untuk peringatan ulang tahun ke-70 Indonesia pada 2015. (Baca: Tiga Siswi Sekolah di Perbatasan Kirim Surat ke Presiden Jokowi).

Perjuangan anak-anak untuk bisa berangkat ke sekolah juga tak sesederhana hitungan tarif angkutan umum atau ojek di perkotaan. Kisah-kisah dari Sumatera di atas adalah segelintir di antara banyak cerita lain yang serupa. (Simak: Lagi-lagi, Berjuang Menuju Sekolah di Banten).

Bertumpu semata pada pemerintah tentu bukan pilihan yang tepat. Institusi usaha juga punya peluang berperan soal pendidikan ini dan itu bisa dilakukan lewat banyak cara. Program tanggung jawab sosial SKK Migas bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) ini hanya salah satu contoh.

Pada 2016, dari total komitmen Rp 470 miliar untuk program tanggung jawab sosial tersebut, 19 persen di antaranya masuk ke pos pendidikan. Wujudnya berupa beasiswa, bantuan untuk infrastruktur sekolah, dan peningkatan kompetensi guru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com