Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Jari Ajaib Steve

Kompas.com - 28/05/2016, 15:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

WAJAH dunia Abad-21 berubah total lantaran ulah nyeleneh segelintir manusia. Satu di antaranya oleh Steve Jobs. Ya, Steve si empunya banyak ide "pekerjaan" sesuai nama yang ia sandang ini, telah berhasil menorehkan sejarah hidupnya dengan tinta emas. Atas daya jelajah kreatifitasnya yang tinggi, kita berutang sedemikian besar: utang peradaban.

Steve memudahkan kita dengan komputer brilian buatannya bersama Wozniak: iMac. Ia juga membantu kita berkomunikasi secara elegan dengan iPhone. Tak cukup puas, ia menggalang iTunes. Masih tak lega hatinya, ia buatkan kita studio Pixar dengan film-film berkelas.

Ternyata masih ada iCloud, lemari data yang lazim disebut komputasi awan. Satu-dua dekade ke depan, semua manusia akan sangat bergantung pada sistem yang menawan ini. Semoga Tuhan menempatkan Steve dalam surga-Nya yang ma'wa.

Namun bukan soal itu yang akan saya soroti. Saat Steve berstatus al-Marhum pada 2011 silam, saya mulai membacai kisah hidupnya yang mengagumkan dalam buku tebal karangan Walter Issacson.

Steve beroleh anugerah besar dari Tuhan hanya karena sebuah apel. Buah yang sama, pernah membuat Adam terdepak dari surga dan tersungkur ke Bumi. Pernah juga membuat al-Khazini (bukan Newton) menemu medan gravitasi. Maka dalam hal apel inilah, Steve sungguh diberkahi.

Saya membuktikan itu saat menemukan sebuah petikan dialog Steve dengan salah seorang insinyur desainnya di Apple. Secara tangkas ia meledek insinyur pembuat ponsel dari perusahaan lain yang menggunakan stylus dengan ucapan, "Tuhan sudah memberi kita sepuluh stylus. Kenapa hanya satu saja yang mereka gunakan?"

Pagi ini, ucapan Steve itu kembali bergaung dari mulut seorang maestro Tari Topeng Panji, Yoyoh Siti Mariah, yang sudah sejak lama diberi kesaktian oleh Tuhan, masak cepat tanpa resep--dan enak. Saya telah membuktikan ujaran sang maestro yang lazim kami panggil mimi ini, setelah berulangkali menginap di rumahnya yang adem nan sederhana, di Kota Kembang.

Ledekan Steve untuk para pembuat stylus itu sempat saya selorohi di hadapan kawan seperasapan, bahwa Steve takkan menemukan jalan keluar dari ejekannya itu bila ia tak menyempatkan diri makan di warung tegal (warteg).

Sebab di seantero dunia, hanya di warung inilah para pemesan tak membutuhkan daftar menu. Cukup dengan menempelkan jari telunjuk ke kaca lemari masakan, maka sepinggan nasi yang dipesan pun siap terhidang--lengkap dengan lauk-pauknya.

Menyaksikan ini, duo Steve (Jobs dan Wozniak) pun melongo. Secepat kilat mereka habiskan makanan. Lalu membayar dan pulang ke Palo Alto, California. Maka jadilah ponsel layar sentuh yang secara nginggris sering disebut touchscreen.

Merenungi kisah seputar sepuluh jari ajaib kita yang dimaksud Steve dengan stylus itu, maka sudah sepantasnya kita belajar percaya pada apa yang telah diberi tuhan dalam hidup ini secara pribadi.

Sudah jelas dari Asal bahwa tak satu pun kita memesan kelahiran di dunia, maka segala tentang hidup sejak itu, jelas misteri yang jelas sulit dimengerti. Kecuali bagi mereka yang teberkati. Kemudian kita diberi nama. Tumbuh besar dan sekolah. Menikah lantas beranak pinak. Lalu mati begitu saja.

Benarkah harus sebegitu murah dan remeh hidup kita? Saya rasa, tak.

Tuhan tentu telah menitip Rahasia Besar pada setiap manusia. Masing-masing sesuai takaran dan penempatannya. Layar epik kehidupan memang akan tetap jadi Rahasia-Nya.

Namun kita diberi tugas untuk terus berakting sebagai manusia yang tahu diri. Sadar dengan segenap hati, bahwa sebagai karya indah dan puncak penciptaan Tuhan, kedua tangan dan sepuluh jari kita harus terus berkarya.

Kedua kaki ini tak boleh lelah berjalan menyusuri lorong kehidupan. Agar jadi manfaat bagi banyak orang. Supaya zaman dan peradaban bisa mengenang kita sebagai manusia berdedikasi. Berjiwa luhur. Jernih pikiran dan bersih hati. Tahu berterima kasih pada kelahiran yang entah.

Jika Allah saja percaya, kita bisa hidup sebagai manusia yang berbudi pekerti, kenapa kita malah jungkir-balik seperti ini?


Bandung, 20 Sya'ban 1437 H

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com