Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Pentingnya Mendampingi Anak di Hari Pertama Masuk Sekolah

Kompas.com - 19/07/2016, 06:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

The most important day of a person's education is the first day of school, not Graduation Day.    

Hari pertama sekolah adalah peristiwa penting bagi anak-anak. Begitu penting sehingga banyak yang mengingatnya sampai dewasa, termasuk saya.

Saat pertama memasuki Taman Kanak-kanak puluhan tahun lalu, saya termasuk yang enggan dan gentar memasuki masa sekolah. Saya takut anak-anak lain akan nakal kepada saya, gurunya galak, atau pelajarannya sulit.

Kekhawatiran saya barangkali beralasan. Saya termasuk anak yang jarang bergaul di luar lingkungan keluarga.

Saya juga termasuk anak kesayangan kakek-nenek yang selalu ada dalam perlindungan mereka. Ditambah saya kurang bisa berbahasa Indonesia saat itu, karena di rumah selalu memakai bahasa Jawa.

Maka hari pertama sekolah adalah hari yang ingin saya hindari, atau kalau bisa ditunda.

Ketika saatnya tiba, saya berangkat diantar Bapak yang sengaja izin masuk kerja lebih siang. Kami berjalan menuju halaman sekolah tempat anak-anak lain sudah berkumpul. Tangan saya tak lepas dari gandengan Bapak.

Saat guru-guru meminta anak-anak berbaris dan para orangtua diminta bergeser ke tepi, hati saya makin ciut. Tangisan beberapa anak lain yang tak ingin berpisah dari orangtuanya membuat ingin rasanya berlari ke gandengan Bapak dan pulang ke rumah.

Sorot ketakutan di mata saya sepertinya disadari Bapak. Hal yang kemudian membuat saya sedikit tenang adalah saat Bapak saya mendekati guru yang bertanggung jawab di kelas saya dan mengajaknya berbicara, sambil sesekali menengok ke arah saya, seolah mengatakan, “Itu anakku, tolong dijaga.”

Kehadiran Bapak di hari pertama sekolah itu seperti menegaskan bahwa telah terjadi pengertian antara pihak sekolah dengan Bapakku sehingga aku akan baik-baik saja.

Kejadian yang jauh berbeda saya alami bertahun-tahun kemudian saat saya mengantar anak sulung saya ke sekolah di hari pertama. Meski usianya lebih muda karena baru memasuki kelompok bermain, namun anak saya sangat antusias ingin sekolah.

Karena sekolahnya dekat, kami berjalan kaki menuju sekolah. Dengan celana kedodoran dan tas kebesaran, anak saya dengan riang menikmati perjalanan itu. Sungguh bertolak belakang dibanding saat saya pergi ke sekolah dahulu.

Sesampai di sekolah, dia juga langsung bergabung dengan teman-teman barunya dan tidak ragu mengajak ngobrol guru-gurunya. Bahkan ketika diajak bernyanyi bersama, dia maju ke depan dan meminta pengeras suara dari gurunya karena ingin bernyanyi sendiri.

Saya menduga rasa percaya dirinya menghadapi hari pertama sekolah karena kami memang membiasakan dia bergaul dengan semua orang dan selalu memberi gambaran bahwa sekolah itu menyenangkan.

Sebelumnya, kami juga selalu mengajak dia saat mendaftar maupun mengurus administrasi di sekolah. Selain itu, saya memperkenalkannya secara langsung kepada guru-gurunya sebelum dia resmi masuk agar dia tidak merasa terasing.

Saya melakukan itu mengingat pengalaman saya dulu yang merasa sendirian di lingkungan baru dengan bahasa yang tidak saya pahami sepenuhnya.

Di sisi lain, mengantarkan anak sekolah ternyata juga menyenangkan bagi orangtua. Karena pada momen itu kita menyaksikan peristiwa-peristiwa tak terduga.

Seperti anak-anak yang berebut menyanyi, atau anak-anak yang dengan cuek melepas sepatunya saat masuk kelas, atau anak yang ketiduran karena mungkin terbiasa bangun siang.

Itu juga yang saya alami Senin (18/7/2016) saat mengantar anak kedua saya ke sekolah pertama kali. Sesuai dengan karakternya yang lebih pendiam, anak kedua saya tidak memperlihatkan kegembiraan berlebih saat masuk sekolah, bahkan cenderung bosan karena merasa ngantuk.

Ada sedikit rasa takut karena beberapa kali ia mencari-cari bapak dan ibunya. Saya teringat pengalaman sendiri dan bersyukur bisa mendampinginya hari ini. Setidaknya keberadaan kami menunjukkan bahwa hari pertamanya ini adalah suatu peristiwa penting yang layak dihadiri.

Tentu ada juga anak-anak yang menangis dan meronta minta pulang. Nah, bagaimana para guru menangani hal-hal tersebut bisa kita jadikan gambaran bagaimana nanti  anak-anak kita akan dididik, sehingga sejak awal kita bisa terlibat dalam pendidikan anak dan tidak serta merta menyerahkan segalanya pada sekolah.

Oleh karena itu, Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016  adalah gerakan yang bagus untuk menanamkan saling pengertian antara anak, orangtua, dan sekolah.

Mendikbud Anies Baswedan mengajak orangtua mengantar anaknya di hari pertama sekolah dengan harapan komunikasi orangtua dan guru yang dimulai sejak dini menjadi gerbang membentuk tim pendidik yang solid.

Saya sendiri meyakini, anak yang melihat orangtuanya dekat dengan orang-orang, komunitas, atau institusi tertentu, akan merasa lebih nyaman untuk masuk ke lingkungan tersebut. Bila anak merasa nyaman, maka proses pendidikannya pun akan berlangsung mengasyikkan bagi anak dan juga gurunya.

Saya jadi ingat kata Mendikbud saat meninjau kegiatan hari pertama masuk sekolah di SDN Polisi 1, Kota Bogor, Senin (18/7/2016): "Sekolah itu seperti maraton, prosesnya panjang. Sekolah bukan soal nilai saja, yang penting bagaimana anak mencintai belajar.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau