Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Pendidikan Karakter

Kompas.com - 10/08/2016, 11:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pendidikan karakter jadi terdengar rumit, sampai perlu merombak sistem sekolah segala. Memangnya apa sih, kok jadi rumit begitu?

Bagi saya pendidikan karakter itu adalah pendidikan rumahan. Pusatnya ada pada orang tua yang menjadi teladan. Orang tua yang berkarakter, menjadi dirinya sendiri secara otentik, dan itu menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Dalam hal sekolah, guru-guru yang berkarakter, otentik, menjadi contoh bagi murid-muridnya.

Pendidikan karakter jadi terdengar rumit, karena kita biasa hidup tanpa karakter. Orang tua dan guru tidak menjadi contoh bagi anak-anak.

Misalnya, orang tua/guru mengajarkan tentang kebersihan, tapi mereka sendiri sering buang sampah sembarangan. Mereka mengajarkan soal tepat waktu, mereka sendiri molor. Mereka mengajarkan agar tidak bergunjing, tapi setengah dari hari mereka dipakai untuk bergunjing.

Anak-anak saya sekolah mahal, guru-gurunya mungkin sudah banyak belajar teori pendidikan karakter. Tapi maaf saja, mereka tidak berkarakter.

Suatu hari sekolah anak saya jadi tuan rumah kegiatan nasional antar sekolah dalam satu yayasan. Halaman sekolah penuh sampah. Guru dan murid kompak membuang sampah sembarangan.

Kalau saya datang pada suatu acara di sekolah anak saya, sering saya temukan ruang-ruang kelas dengan lampu menyala, AC diset pada suhu paling rendah. Padahal tak ada orang di situ.

Sering saya tegur guru-guru dan bahkan kepala sekolah soal ini. Mereka dengan manis akan menjawab,”Iya, Pak. Mohon maaf, bla bla bla….” Penuh basa basi.

Di atas saya singgung soal menjadi otentik. Apa itu? Menunjukkan karakter kita yang asli. Bersih, tepat waktu, disiplin, tenggang rasa, dan sikap-sikap positif lainnya harus melekat di diri orang tua dan guru.

Jadi saat mereka mengajarkan sikap-sikap itu, mereka sedang menjadi diri mereka sendiri, bukan sedang berakting. Orang tua atau guru yang berpura-pura tidak akan bisa menularkan karakter yang baik.

Jadi, kalau mau membangun pendidikan karakter, yang perlu kita lakukan adalah revolusi sikap oleh para orang tua dan guru.

Masalah kita adalah kita tidak mau lepas dari berbagai kenyamanan. Kita tidak mau beranjak menjadi manusia berdisiplin, karena tidak disiplin itu nyaman buat kita. Berhenti bergunjing? Aduh, mana mungkiiiiinn.

Kita bersikap bahwa pendidikan karakter itu untuk anak-anak. Sementara kita ingin sikap kita boleh dipertahankan, sampai kita mati. “Kamu saja yang rajin dan tertib ya nak, bapak ibu mah sudah tua, nggak mungkin berubah lagi.”

Begitulah cara kita membuat pendidikan karakter jadi rumit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com