Gagasan Full Day School yang dikemukakan oleh Mendikbud Muhadjir Effendy telah menuai banyak kontroversi dan emosi publik.
Full Day School (FDS) atau yang belakangan diralat oleh Mendikbud menjadi aktivitas “co-curricular”, dianggap oleh sebagian publik bakal “merampas” waktu luang anak untuk bermain dan kesempatan bagi orang tua untuk berinteraksi dengan anak.
Siapa Merampas Waktu Anak?
Kekuatiran publik seperti ini sejujurnya bisa diperdebatkan. Apalagi kalau melihat fakta di lapangan, bahwa sebagian besar anak-anak kita selama ini memang menghabiskan banyak waktu dari pagi hingga sore hari di sekolah.
Mereka menghabiskan waktu reguler belajar di sekolah hingga menjelang sore, lalu dilanjutkan dengan bimbingan belajar/les, atau kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah, atau kegiatan lain seperti les keterampilan dan bakat yang diusahakan secara mandiri oleh orangtua. Semua kegiatan ini biasanya selesai hingga menjelang malam hari.
Di kota-kota besar, bukankah tidak sedikit juga kita jumpai sekolah dan orangtua yang “memforsir” anak untuk mengikuti kegiatan ini-itu dengan harapan sang anak dapat menguasai keterampilan tertentu.
Bukankah justru sebagian orangtua, khususnya di kota-kota besar, yang selama ini “merampas” waktu luang anak-anaknya demi menjamin anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik dengan harapan agar siap masuk pasar kerja atau mendapatkan profesi yang diinginkan?
Dalam konteks yang demikian, maka gagasan FDS oleh pemerintah sebenarnya lebih dianggap sebagai penghalang bagi orangtua kelas menengah atas di kota besar dalam upaya mereka mendidik anak, sebagai bagian dari proses reproduksi kelas sosial dan mobilitas sosial, melalui agenda kegiatan khusus yang dirancang untuk memberi nilai tambah pada modal intelektual dan modal kultural sang anak sesuai dengan keinginan dan harapan orangtua.
FDS memang bisa “merampas” waktu bermain anak dengan lingkungan rumah dan komunitasnya. Dengan catatan, bila keluarga dan komunitas lingkungannya selama ini masih dapat memberikan waktu dan tingkat interaksi yang positif bagi pertumbuhan anak, di mana nilai-nilai keluarga dan kebersamaan dalam lingkungan masih dapat muncul dan diandalkan dalam proses formatif anak.
Sebaliknya, bagi keluarga dan komunitas yang tidak sanggup menawarkan interaksi yang positif dan attentif bagi tumbuh kembang anak, FDS tentu bisa menjadi alternatif yang baik.
Apakah gagasan FDS atau co-curricular perlu dipikirkan untuk menjadi sebuah kebijakan? Apakah negara harus mengintervensi pola asuh anak ketika orangtua dan keluarga memiliki daya adaptif dalam proses pendidikan anak-anak mereka?
Nampaknya hal ini memerlukan kajian yang sangat mendalam dengan memperhatikan konteks demografis, sosial kultural Indonesia yang luas dan beragam.
Ini hal yang tidak mudah dilakukan bagi seorang mendikbud yang baru. Apalagi, program FDS sangatlah membutuhkan biaya dan sarana-prasarana yang tidak murah dan tidak sedikit.
Keluarga, Masyarakat dan Negara
Polemik FDS ini dalam perspektif yang lebih luas sebenarnya menguak fenomena tentang bagaimana negara dan masyarakat memandang pendidikan dan peran keluarga.