Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Najwa Shihab
Jurnalis Televisi

Pendiri Narasi.

Menikam Kolonialisme dan Merdeka dengan Buku

Kompas.com - 18/08/2016, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Semuanya berisi daftar pustaka yang luar biasa kaya dan daftar referensi yang melimpah ruah. Dokumen-dokumen itu menjadi bukti betapa Indonesia dilahirkan para pembaca buku. Dokumen-dokumen itu menjelaskan hutang kita kepada buku.

Kini sudah 71 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan. Kini sudah berjarak 86 tahun dari masa ketika Ibu Inggit Garnasih dengan nekat menyelundupkan buku-buku ke dalam sel penjara Bung Karno di Banceuy.

Didirikan oleh para kutu buku dan penulis buku, sudahkah Indonesia membayar hutangnya kepada dunia pustaka?

Indonesia memang hampir bebas dari persoalan tuna aksara yang sudah menyusut drastis hingga tersisa hanya sekitar 5-6% saja. Kendati demikian, meningkatnya angka melek huruf tidak serta merta meningkatkan minat baca.

Menurut data dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), budaya membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat terendah di antara 52 negara di Asia.

UNESCO melaporkan pada 2012 kemampuan membaca anak-anak Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah: 0 persen! Tepatnya 0,001 persen.

Artinya, dari 1000 anak Indonesia, hanya satu anak yang mampu menghabiskan satu buku dalam setahun.

Ini persoalan penting, ini perkara genting. Soal minat baca memang terlihat tidak semendesak persoalan energi atau pangan. Tapi bagaimana menyiapkan masa depan negeri ini jika tingkat literasi begitu rendah?

Seorang petinju di Papua memutuskan menggendong buku-buku untuk diantarkan kepada masyarakat yang ingin membaca. Ia naik turun gunung berjalan kaki, dengan buku-buku yang dimasukkan ke dalam noken, demi menjawab kebutuhan masyarakat yang kesulitan mengakses bacaan.

Di lereng gunung di Bandung Selatan, seorang pedagang tahu menggunakan gerobaknya untuk mengantarkan buku-buku kepada warga kampung yang membutuhkan.

Di lereng Gunung Slamet, seorang bapak berkeliling dengan delman siap meminjamkan buku kepada siapa saja yang berkenan membaca.

Di Mandar, sekelompok pemuda gigih mengantarkan buku-buku melalui perahu ke pulau-pulau yang jauh dari buku.

Di Surabaya, Jakarta, dan di kota-kota yang lain, ada orang-orang dengan semangat serupa yang gigih mengkampanyekan pentingnya membaca. Tanpa dibayar, bahkan mesti keluar uang untuk membeli buku dan ongkos ini itu, mereka dengan keras kepala mengantarkan buku-buku kepada siapa pun yang mau membaca.

Negara tidak bisa diam. Saatnya berbarengan bergerak. Bukan besok, lusa, apalagi tahun depan. Tapi sekarang. Sebab menyiapkan generasi yang mencintai ilmu pengetahuan adalah tugas besar bersama. Sekarang!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com