Ignatius Haryanto

Peneliti media, pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Baca Buku Dapat Uang...

Kompas.com - 15/09/2016, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Siapa bilang membaca buku tidak produktif dan tidak bisa menghasilkan uang? Saya sudah membuktikan soal ini selama puluhan tahun.

Lalu bagaimana caranya membaca buku lalu bisa mendatangkan uang? Nah, jadilah seorang peresensi buku.

Pertama kali menulis di media massa mainstream, saya lakukan awal tahun 1990-an. Tulisan-tulisan saya pertama itu banyak yang merupakan resensi buku.

Apa itu resensi buku? Ya, tulisan yang meringkaskan isi sebuah buku baru, dan kemudian memberikan komentar atau pandangan, apakah suatu buku yang baru terbit itu (biasanya dalam waktu setahun terakhir) layak dibaca atau tidak.

Saya ingat sekali buku yang pertama kali saya resensi adalah buku “Mochtar Lubis: Wartawan Jihad” (1992), sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan para sahabat Mochtar Lubis dalam rangka memperingati ulang tahun Mochtar ke-70.

Kebetulan sekali seorang teman menjadi redaktur di majalah Matra, (alm) Ricardo Iwan Yatim, adik dari jurnalis senior, Debra Yatim.

Saya berkenalan dengan Rico – demikian Ricardo Iwan Yatim biasa dipanggil – karena kami sama-sama suka ikut program ekstensi Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat.

Rico sendiri lulusan dari Filsafat UGM, sementara saya masih bergulat menyelesaikan skripsi saya di jurusan Komunikasi, FISIP UI. Kami berdua sering mengobrol dan satu kali ia tanya, “Mengapa kamu tidak menulis di media?”

Saya katakan, “Wah sudah coba, tapi ditolak terus...”

Lalu dia bertanya lagi, “Oke, apa buku yang sedang kamu baca sekarang?”

Sedikit ragu, lalu saya katakan buku Mochtar Lubis yang belum lama itu saya beli.

“Ya sudah, coba kamu tuliskan review kamu atas buku itu, dan kamu kirim ke saya, nanti saya bantu edit untuk masuk di majalah Matra.”

Bagai mendengar petir di bulan September, saya pun terbengong-bengong. Seorang redaktur majalah Matra langsung menawari saya menulis di majalahnya.

Buat yang beda generasi sama saya, majalah Matra itu majalah bulanan yang bergengsi kala itu. Sebuah majalah yang mempelopori penulisan soal gaya hidup dan majalah ini maunya dikhususkan untuk pembaca lelaki, dengan cover depan para model yang sering kali tampil seronok. Sayang majalah ini sekarang sudah tidak ada.

Jadilah saya bersemangat membaca buku Mochtar Lubis "Wartawan Jihad", dan memberi catatan kecil di kertas sebelum saya tuliskan resensinya.

Oh ya, ini juga persoalan beda generasi. Saya waktu itu masih mengetik dengan menggunakan mesin tik yang bunyinya ketak-ketok seru itu.... Sebenarnya menyenangkan mendengarkan suara mesin tik itu.. Ah sudahlah....

Sambil menulis skripsi

Singkat cerita, setelah diedit oleh Rico, sang redaktur, jadilah tulisan saya dimuat oleh majalah bergengsi itu, dan honornya lumayan besar. Dua ratus ribu rupiah saat itu jika tak salah.

Ya untuk ukuran anak mahasiswa yang besar dong nilai itu, mengingat uang kuliah saya saja (maaf sekali lagi ini soal beda generasi) “hanya” seratus tiga puluh ribu rupiah saja – maklum anak mahasiswa yang disubsidi negara.

Saya pun bangga memamerkan honor itu kepada orangtua saya, dan saya pun membeli tas baru hasil keringat sendiri.

Tulisan resensi saya kedua termuat di Harian Kompas pada akhir Juli tahun 1993. Buku yang saya ulas itu tulisan dari Bambang Sadono, yang waktu itu adalah wartawan Suara Merdeka di Semarang.

Tulisan itu adalah tesis S2 penulisnya, yang kemudian pernah menjadi anggota DPR RI dan sekarang menjadi anggota DPD RI.

Judul tulisan saya itu “Tak Ada Bulan Madu Pers dan Pemerintah”. Buku Bambang Sadono, kebetulan adalah salah satu referensi yang saya pergunakan untuk menulis skripsi saya.

Jadi sembari menulis skripsi, kalau ada bacaan yang bisa “dikaryakan”, mengapa tidak? Maklum pola pikir anak mahasiswa tahun terakhir yang mulai berpikir “cari duit”.

Sejak saat itu saya keranjingan menulis resensi buku. Saya pun membaca buku yang saya anggap menarik dan saya merasa cukup percaya diri untuk mengulasnya. Selesai membaca buku, lalu saya tuliskan resensinya.

Setelah lebih dari dua puluh tahun menulis resensi buku ke mana-mana, saya merasa bahwa tulisan resensi buku saya jarang ditolak, sementara tulisan opini terkadang ada ditolak juga, walaupun saya tak merasa “sakitnya tuh di sini”.

Beberapa keuntungan

Menurut saya ada beberapa keuntungan menjadi seorang penulis resensi buku:

Pertama, saya jadi memahami isi sebuah buku, dan bisa menemukan bagian paling penting dari suatu buku. Secara tidak langsung saya pun terbiasa membaca dengan cepat, untuk mengetahui apa hal paling penting dari suatu buku.

Tentu saja karena sebelumnya saya sudah senang membaca buku untuk berbagai topik tertentu yang jadi minat saya, akan menambahkan informasi baru di dalamnya.

Kedua, dengan menulis resensi saya sudah meringkaskan bagian paling penting, kutipan paling penting dari buku tersebut.

Terkadang buku tersebut akan saya butuhkan lagi saat saya menulis hal lain, namun kerap kali saya cukup membaca saja resensi yang pernah saya tulis untuk mengetahui inti sari sebuah buku yang telah saya baca tersebut.

Ketiga, setelah resensi selesai ditulis, saya tinggal menyasar media mana yang mau menerima tulisan saya. Peluang tulisan resensi dimuat, sejauh pengalaman saya menunjukkan, cukup besar.

Mengapa demikian? Karena lebih sedikit orang mau menulis resensi buku, yang menyaratkan orang membaca buku tertentu dulu lalu menuangkan pemikirannya. Hal ini sebaliknya yang terjadi dengan dunia penulisan opini. Penulisan opini saya harus bersaing dengan lebih banyak penulis yang kalibernya luar biasa.

Sekedar ilustrasi saja, di Harian Kompas saya mendengar bahwa dalam satu hari ada sekitar 100 tulisan opini yang masuk dan harus diperiksa redakturnya, dan redaktur hanya akan memilih 3-5 tulisan per harinya untuk dimuat. Sisanya ya tak terpakai.

Dan persaingannya pun tajam, mulai dari menteri, direktur anu dan presiden anu, kandidat PhD di sana, guru besar perguruan tinggi di sini, dan lain-lain. Sementara itu tulisan resensi buku mungkin belum tentu ada 5 terkirim dalam satu harinya.

Sudah habis keuntungannya jadi penulis resensi buku? Belum, masih ada dua keuntungan lain.

Keempat, tulisan resensi yang dimuat ada honorariumnya. Lumayanlah sekedar untuk mengganti ongkos beli buku dan untuk beli buku baru, atau sekedar traktir teman, atau bayar kos-kosan.

Kelima, hasil resensi yang telah termuat di media, bisa anda bawa ke penerbitnya, dan penerbit akan sangat menghargai orang yang mau meresensi buku terbitannya.

Apakah isinya memuji atau mengritik itu soal lain, tapi jika resensi itu termuat di media, itu sudah dianggap promosi bagi isi buku tersebut.

Penerbit biasanya akan rela untuk menghadiahkan penulis resensi dengan buku lain yang cocok dengan minat si penulis. Nah, apa kurang enaknya?

Jadi, mulailah baca buku dan memanen uang dari hasil bacaan anda tersebut. Apalagi sejumlah buku yang saya baca dan saya resensi terkadang buku terbitan luar negeri dan cukup mahal harganya. Jadi biaya beli buku harus balik modal donggg....

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, mendingan Anda tak usah mengikuti saran saya jadi penulis resensi ya, nanti saya jadi tambah banyak punya saingan penulis resensi dong....

Jangan dimasukkan ke hati ya, baca bukunya saja ya dan hal-hal baik yang bisa disebut sebagai keuntungan akan mengikuti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau