TOKYO, KOMPAS.com – Fanny Lupita (23) baru saja lulus dari program studi Manajemen Internasional di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU). Saat itu, 2013, ia memutuskan bekerja di Jepang, negeri tempatnya mencari ilmu, untuk mencari pengalaman.
Begitu dinyatakan lolos seleksi Mitsui Sumitomo Bank yang berbasis di Tokyo, Fanny pun sontak bertolak dari Beppu, tempat sekolahnya berada sekaligus tempat domisilinya selama ini.
Meski sudah tinggal bertahun-tahun di Jepang, Fanny tetap harus beradaptasi dari nol seketika masuk ke dunia kerja di sana. Dia harus belajar cepat untuk mengikuti standar dunia karier Jepang.
Sudah begitu, dia juga harus bisa bertahan hidup di kota metropolitan yang dikenal dengan biaya hidup tinggi itu.
“Di sini standar kerjanya tinggi. Apa-apa dilakukan serba cepat dan tepat. Biaya hidup juga tinggi, tetapi setimpal dengan pendapatannya,” ujar Fanny saat ditemui Kompas.com di kantor APU Tokyo, Sabtu (24/9/206).
“Kalau di kantor, saya berhadapan dengan enam layar monitor untuk memantau, menghimpun, dan menganalisis informasi mengenai kondisi pasar saham asing,” tutur Fanny.
Kata Fanny, ia perlu tahu apa saja yang mempengaruhi nilai indeks pasar mata uang, transaksi, dan kondisi makroekonomi negara-negara lain.
Untuk pantauan pergerakan pasar keuangan Amerika Serikat—yang jam kerjanya pada pukul 20.30 sampai 04.00 waktu Tokyo—misalnya, Fanny mengejar informasinya sepagi mungkin pada keesokan hari.
"Sumbernya bisa dari koran AS atau internet," sebut dia.
Nah, saat berada di kantor, Fanny dan rekannya mendiskusikan perkiraan pasar untuk hari itu berdasarkan hasil mereka menghimpun informasi tersebut.
"(Diskusi itu) namanya 'Market Update Meeting'. Dilakukan tiga kali dalam satu hari," ujarnya.
Pilih teratur atau kreatif?
Awalnya, aku Fanny, semua terasa sulit. Terlebih lagi, kemampuan bahasa Jepang-nya selama ini bisa dibilang hanya cukup untuk percakapan harian.
“Lalu kantor memberikan fasilitas untuk kursus bahasa Jepang. Kata mereka, bahasa Jepang saya masih kurang,” cerita Fanny.
Lama-kelamaan, ia pun terbiasa. Kuncinya, tegas dia, tekun belajar dan terus berlatih.
“Adaptasi lainnya adalah soal penampilan,” lanjut Fanny.
Di Jepang, kata Fanny, penampilan karyawan harus seragam. Meski mengharuskan pegawai perempuannya menggunakan make-up, tutur dia, perusahaan Jepang melarang pemakaian warna mencolok.
"Rambut juga (sebaiknya) dikuncir satu, itu juga tak boleh terlalu tinggi ikatannya," imbuh Fanny.
Lucunya, tutur Fanny, semua "keharusan" itu tak tertera sebagai aturan tertulis. Semuanya, kata dia, sudah seperti kebiasaan saja.
"Kalau berpenampilan berbeda di sini (Jepang) akan terkesan aneh. Jadi ya ikuti saja,” ujarnya.
“Begitulah kalau mau bertahan di sini. Ikuti standar dan kebiasaannya. Kalau tidak, akan tergerus sendiri,” kata Vidya, pada hari yang sama.
Saat baru lulus pada 2009, Vidya pernah berkesempatan kerja di perusahaan Jepang. Namun, ia hanya tahan 2,5 tahun.
Rupanya, ia merasa tak cocok dengan budaya kerja perusahaan tersebut. Akhirnya, ia memutuskan tetap bekerja di Tokyo tetapi pada perusahaan afiliasi dari Amerika Serikat.
“Tiap perusahaan ada tantangannya. Kalau perusahaan (milik) Jepang harus siap bekerja cepat, tepat waktu, dan teratur. Nah, kalau budaya perusahaan asing lain lagi. Tuntutan kerja lebih kepada inovasi dan kreativitas karyawan,” papar Vidya.
6 harapan perusahaan
Menurut Associate Dean of Admissions, Associate Professor, Education Development and Learning Support Center (EDLSC) APU, Dahlan Nariman, seseorang yang hendak bekerja di perusahaan asing, apalagi di luar negeri, harus siap dengan standar kerja yang diterapkan.
“Pertama, semangat menerima tantangan,” sebut Dahlan.
Pada saat penerimaan karyawan, perusahaan akan melihat seberapa antusiasnya pekerja tersebut menerima tantangan dan tugas-tugas kantor. Dari sini, mereka bisa mengukur seberapa tangguh karyawan itu menjalani pekerjaannya.
“Kedua, team work,” ujarnya.
Pekerjaan lintas divisi, kata Dahlan, terkadang tak dapat dihindari. Karena itulah, perusahaan asing mengharapkan karyawannya memiliki kemampuan berkoordinasi dan bekerja secara berkelompok.
“Selain itu beberapa kemampuan lain yang mereka harapkan mencakup berkomunikasi dengan baik, kepemimpinan (leadership), mandiri, dan berpikiran global,” lanjutnya.
Kalau memiliki enam keahlian itu, kata Dahlan, seseorang sudah punya modal minimal untuk bekerja di perusahaan asing. Artinya, pemilik keenam keahlian itu sudah tak perlu lagi takut mencari penghidupan di perusahaan asing, di negeri orang pula.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.