Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Batu, Gus Dur, dan Gereja

Kompas.com - 21/10/2016, 14:48 WIB

KOMPAS.com - Sosok pria telanjang dada dengan jarah di sekujur badannya itu hanya mengenakan celana jins. Dia berdiri di teras sebuah rumah kayu yang asri di bilangan Kampung Gedong, Jombang, Tangerang Selatan.

Jangan berharap ia akan membalas salam jika kita menegurnya. Ia pasti diam seribu bahasa. Ya, karena sosok tersebut memang hanyalah patung, salah satu karya pematung senior Yani Mariani Sastranegara.

Selain patung sosok manusia tadi, banyak instalasi raksasa di halaman rumah Yani. Masih di lingkungan rumah itu, Yani sedang bekerja di dekat patung Bunda Maria raksasa di bengkel kerjanya, Yatra Studio.

Perempuan yang kenyang berpameran di dalam dan luar negeri itu sejatinya tak lahir dari keluarga seniman. Ayahnya seorang tentara.

Namun, pengalaman masa kecilnya ikut membawa pengaruh berkeseniannya. Sejak kecil hingga ia duduk di kelas 6 SD, Yani dan keluarganya tinggal di Sumatra Utara. Di sana, lingkungan membentuk karakter dan inspirasi Yani sebagai pematung.

Di Sumatra, kediaman keluarganya ada di pedalaman, dekat dengan hutan lindung. Di sana, juga ada sungai, tempat bermain Yani. Kondisi alam di kampung halamannya, di Desa Panunggangan, Lebak, Banten, tak jauh berbeda. Di sebelah rumah kakek dan neneknya, mengalir sungai. Di sana lah Yani kecil bermain.

Berkat pengalaman masa kecilnya yang dihabiskan di lingkungan perkebunan, hutan, dan sungai, perempuan yang menyelesaikan studi dari Jurusan Seni Patung Institut Kesenian Jakarta pada 1981 itu, kini banyak menelurkan karya bernuansa hidup dan alam.

"Masa kecil aku yang senang lihat barang, mengambil barang, itu yang kemudian jadi inspirasi berkaryaku di kemudian hari," kata perempuan kelahiran 17 Agustus 1955 itu.

Pilihan Yani menjadi seorang seniman patung awalnya tak mendapat restu orang tua. Ayahnya ingin ia menjadi ekonom. Tapi, suatu hari, hati ayahnya luluh. Ketika ayahnya berulang tahun, Yani membuat lukisan sebagai kado. Ayahnya senang. Dan, ia diberikan lampu hijau untuk jalan terus pada pilihannya itu.

Koleksi batu

Kebiasaan Yani mengumpulkan batu mungkin tak lazim bagi banyak orang. Perempuan nyentrik itu mulai merasakan ketertarikan kepada batu sejak kecil.

"Semakin ke sini pokoknya lihat batu itu sudah pasti jatuh hati saja," ujarnya.

Aneka jenis batu berbagai ukuran Yani simpan di rumahnya. Semua ditaruh di dalam toples dan kardus.

Menurutnya, semua batu itu memiliki kekhasan bentuk. Ada batu yang bergores mirip huruf “Y”, huruf pertama namanya. Ada yang mirip tubuh seekor lembu. Bahkan, ada pula tiga batu yang jika disatukan membentuk lingga dan yoni.

Lingga dan Yoni adalah lambang kesuburan. Lingga merupakan simbol alat kelamin pria, sedangkan yoni adalah simbol alat kelamin perempuan.

Tiga batu yang ditemukan pada 1997 silam itu adalah batu yang paling berkesan bagi Yani. Ketiganya ditemukan di kampung halamannya, Lebak Banten, di lokasi berbeda. Batu pertama ia temukan di jalan menuju sungai, batu kedua ia ambil di tepi sungai, dan batu ketiga ia dapatkan di daratan sungai yang surut.

"Tiga batu ini menurut aku sangat ajaib dan menyenangkan. Sampai di rumah, ketiga batu itu aku gabung jadi satu bentuk yang menurut aku luar biasa. Dan itu bisa pas. Jadi kayak jodoh," tutur Yani.

Batu-batu yang Yani kumpulkan tak hanya dari kampung halamannya. Setiap kali ia keluar kota, pastilah batu yang menjadi buah tangan. Jumlahnya, menurut perkiraan Yani, sekarang sudah ribuan. Kalau dirinya tak sempat berkunjung ke suatu daerah, ia bahkan menghubungi temannya untuk dikirimkan.

Beberapa batu ada yang dipamerkan di halaman rumahnya. Ada pula yang difungsikan sebagai kursi. Tak pernah ada alasan khusus bagi Yani untuk mengumpulkan batu. Jika tertarik, ia akan ambil. Kalau ia berjalan di suatu tempat, ia seolah-olah mendengar batu yang memanggilnya untuk diambil.

"Mungkin orang lihat, ih apaan sih ngumpulin batu hehehe," kata Yani.

Meski sudah banyak sekali batu yang dikoleksinya, Yani tak ada niat untuk memamerkannya ke publik. Ia berpikir, jika memang ingin dipamerkan, harus layak dan pantas penyajiannya. Ia pun memilih batu-batu itu tetap ada di rumahnya.

"Sementara ini biarkan saja dia berkomunikasi dengan aku, berdekatan dengan aku, hahaha," katanya diiringi tawa.

Patung Gus Dur

Di bengkel kerjanya, teronggok banyak sekali patung. Terbuat dari aneka bahan: tanah liat, semen, resin, perunggu, dan kuningan.

Ada pula sebuah patung manusia dengan posisi tidur miring, terbuat dari akar pohon oyot (rambat). Patung dari akar oyot tadi diberi judul 'Bakti, Tumbuh, Tambat, Daya Hidup'. Patung dengan panjang 300 cm, lebar 230 cm, dan tinggi 70 cm ini dibuat khusus untuk pameran di Galeri Lawangwangi, Bandung pada 6 Agustus 2016 lalu.

Selain untuk pameran, Yani pun kerap diminta untuk membuat patung landmark. Di sebuah kompleks perumahan di Surabaya, ia membuat patung setinggi 12 meter berjudul 'Menggapai Cakrawala' itu pada 2008. Patung itu berwujud seperti orang-orang yang sedang berlari ditiup angin, dan berlari makin tinggi di ujungnya.

Di dekat rumahnya, tepatnya di kawasan BSD City, Tangerang, Yani membuat patung setinggi 6,5 meter yang diberi nama 'Beyond the Tides' pada 2005.

Di Jakarta, Yani pun membuat patung figur Presiden Indonesia ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kecil yang tengah membaca sebuah buku. Patung berwarna emas dan berbahan tembaga itu terpacak di Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta Pusat. Patung itu diresmikan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada April 2015 lalu.

Gus Dur kecil berusia 9 tahun setinggi 1,2 meter itu mengenakan kemeja dan celana pendek. Yani mengatakan, pilihan Taman Amir Hamzah sebagai lokasi patung, karena di tempat itu dahulu Gus Dur menghabiskan sebagian masa kecilnya.

Di sana, tutur Yani, Gus Dur menghabiskan waktu bermain sepak bola bersama kawan-kawannya. Lokasi itu juga tak jauh dari Kantor Wahid Institute—yang dahulu merupakan rumah kakek Gus Dur, KH Hasyim Asyari.

Awalnya, Yani ragu ketika sang pemesan memintanya membuat patung Gus Dur kecil. Sebab, jarang sekali referensi figur Gus Dur cilik. Namun, karena Gus Dur adalah salah satu tokoh idolanya, Yani menyanggupi.

Menurutnya, sang pemesan—yang juga pernah membuat patung Barack Obama kecil—ingin patung itu menginspirasi anak-anak agar gemar membaca, sebagai bekal di kemudian hari.

"Ketika membuat (patung Gus Dur) itu, degdegan-nya jauh lebih banyak, (ada pikiran) diterima (publik) tidak. Tetapi sebuah kebanggaan juga ketika aku disuruh membuat patung potret tokoh. Apalagi itu Gus Dur," ujarnya.

Sentuhan di Gereja

Di saat tumbuh banyaknya sikap fanatisme buta di masyarakat, Yani jauh dari kesan itu. Yani yang lahir dari keluarga Muslim taat justru banyak membuat karya-karya religius agama lain. Beberapa kali ia mendapat pesanan membuat karya untuk gereja Katolik.

Di Gereja Kristus Raja, Pejompongan, Jakarta Pusat, Yani membuat tabernakel. Selain tabernakel, Yani juga merancang dinding gereja itu. Awalnya, Yani sempat bingung membuat atas pesanan Romo Rochadi Widagdo. Suatu ketika, ia pun mendapatkan inspirasi dari mimpinya.

"Aku lihat banyak sekali berlian bertebaran, tapi berlian itu tinggi-tinggi. Di situlah kemudian aku punya ide segi enam (heksagonal)," kata Yani.

Tak disangka, interior gereja itu memang heksagonal. Ia membuat peristiwa kenaikan Yesus Kristus di sana, dengan ukuran 20 meter.

Yani tak sendirian bekerja. Ia bersama 4 seniman lintas agama lainnya, yakni Sindhu Hadiprana, F. Widyanto, dan I Wayan Winten ikut memperindah bangunan gereja yang berdiri pada 1972 tersebut.

Setelah itu, Yani mengerjakan proyek untuk Gereja Saint Yohanes Maria Vianney, Cilangkap, Jakarta Timur.Di gereja ini, Yani membuat patung domba yang bisa berputar. Selain di dua gereja tadi, karya Yani berupa figur singa juga ada di sebuah Vihara, di daerah Puncak, Jawa Barat.

Buku-buku bertema sejarah menjadi salah satu referensi Yani dalam berkarya. Selebihnya, ia banyak terinspirasi oleh alam. Bagi Yani, alam adalah sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Yani menganalogikan pohon-pohon yang berbeda jenis tapi hidup di tanah yang sama. Pematung yang mengidolakan maestro patung Sunaryo, I Nyoman Nuarta, Henry Moore, Barbara Hepworth (Inggris), dan Michaelangelo Buonarroti (Italia) ini, mengatakan pohon mengajarkan kita sebuah pesan. 

"Betapa mereka (pohon) bersahaja, begitu ditaruh benih, mereka tumbuh saja. Ada pesan, kenapa sih, kita hidup ya sama-sama saja damai-damai saja, nggak usah saling gontok-gontokan, karena kita diberi alam ini sama," kata perempuan yang gemar bertualang ini.

Perempuan yang pernah mendapatkan tawaran berpameran 26 tempat dalam setahun tersebut mengaku, alam yang diwujudkan dalam karya-karyanya merupakan bentuk rasa syukurnya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Karya-karya Yani, yang kebanyakan bertema hidup dan alam adalah representasi dari rasa: gerak dan kelembutan.

Tak terkungkung waktu, Yani akan terus memahat, mencetak, membutsir, dan mengkonstruksi bahan logam, tanah liat, batu, ataupun akar, menjadi karya patung yang artistik. Sebab, seperti kata Michaelangelo, "Setiap blok batu memiliki patung di dalamnya, dan itu adalah tugas pematung untuk menemukannya."

FANDY HUTARI/GRAMEDIA.COM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com