Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Menghafal itu Bukan Belajar

Kompas.com - 14/12/2016, 15:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Salah satu kegemasan saya soal pendidikan di Indonesia adalah soal kebiasaan menjadikan kegiatan menghafal sebagai bagian utama dari proses belajar. Ini dilakukan secara sadar maupun tidak.

Yang dilakukan secara sadar adalah perintah untuk menghafal doa, teks, ayat, dan sebagainya. Yang dilakukan secara tidak sadar adalah materi pelajaran yang melebihi porsi, sehingga mustahil dipahami anak.

Akhirnya ditempuh jalan pintas, yaitu, hafalkan saja. Sangat menyedihkan bila melihat bahwa pendidikan dasar kita didominasi oleh kegiatan menghafal.

Menghafal adalah proses menempatkan informasi ke dalam ingatan (memori). Ada proses mengubah informasi menjadi kode dalam proses penyimpanan, ini disebut coding.

Bila diperlukan, informasi itu bisa ditarik kembali, diubah kodenya sehingga menjadi format asal. Menghafal umumnya berbasis pada bunyi yang dihasilkan secara oral.

Belajar adalah proses yang berbeda. Sangat berbeda. Perbedaan terpentingnya terletak pada proses pencernaan informasi. Informasi dicerna, berbasis pada informasi dan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.

Pada akhirnya informasi juga akan disimpan dalam memori, tapi dalam format yang sama sekali berbeda dengan yang disimpan melalui proses hafalan.

Nah, inilah masalah pada pendidikan kita, khususnya pendidikan dasar. Entah kenapa pembuat kurikulum kita begitu bersemangat untuk menjejalkan sebanyak mungkin pengetahuan kepada anak-anak sejak usia dini.

Demikian banyak sehingga guru tak sanggup membangun pemahaman kepada anak-anak atas setiap subjek pelajaran. Anak-anak pun tak sanggup memahaminya. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas, hafalkan saja.

Tentu saja ini sangat terkait dengan pola ujian, atau tes kita. Ujian kita berbasis pada pola pilihan ganda, satu jawaban untuk satu pertanyaan.

Cara paling jitu untuk menghadapi ujian ini adalah menghafal. Kita tidak menyediakan ruangan memadai untuk eksplorasi dan argumentasi dalam sistem tes kita.

Selain hanya menyediakan satu jawaban atas satu persoalan, sistem hafalan tidak membangun hubungan antar informasi yang disimpan.

Informasi disimpan dalam format tunggal, tanpa hubungan. Artinya, informasi tidak membangun pengetahuan, sebatas kumpulan bunyi belaka.

Cara menghafal adalah dengan mengulang. Persis seperti orang melakukan latihan fisik. Kalau kita rajin melakukan latihan beban secara berulang, maka otot kita akan membesar. Itu adalah “memori” yang menandai aktivitas tadi.

Menghafal sama dengan memberi tanda itu pada otak kita. Konsekuensinya, bila prosesnya kita hentikan, maka secara perlahan tanda itu akan hilang. Kita akan lupa.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau