Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yohannes Surya, dari Fisika Menuju "Superpower" Dunia

Kompas.com - 09/01/2017, 14:45 WIB

KOMPAS.com — Selasa, 11 Oktober 2016. Pagi itu, cuaca di Serpong, Tangerang, tampak bersahabat. Tidak panas, tidak pula mendung. Dari kejauhan, gedung seluas seribu meter persegi itu kokoh menjulang. Di bagian samping, besi-besi melengkung bercat putih terpacak hampir mengelilingi bangunan tersebut.

Arsitektur gedung ini dibangun sangat futuristik, menandakan kesan sarat teknologi tinggi. Maklum saja, di gedung ini beragam aktivitas seputar pengembangan teknologi kerap dilakukan, terutama ihwal riset dan penelitian.

Itulah gedung Surya Research and Education Center yang didirikan oleh Yohannes Surya pada 22 Februari 2010. Dibangun di atas lahan seluas satu hektar, gedung ini dilengkapi dengan fasilitas laboratorium, perpustakaan, dan ruang kelas berkapasitas 600 sampai 700 orang. Kelak, dari universitas inilah lahir ilmuwan-ilmuwan Indonesia di bidang ilmu fisika.

Sejak berdiri, gedung ini awalnya diperuntukkan sebagai tempat riset dan penelitian saja. Namun, seiring waktu, gedung tersebut juga dipergunakan sebagai sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan. Selain mencetak ilmuwan, tempat ini juga mencetak guru-guru profesional dari berbagai daerah di Indonesia.

Namun, kegiatan pendidikan Surya Research and Education Center tak selamanya di gedung yang beralamatkan di Scientia Boulevard Gading Serpong, Tangerang, itu. Universitas tersebut akan pindah tempat ke daerah Tenjo, Bogor, Jawa Barat. Di kawasan itu, bakal dibangun universitas di atas lahan seluas 100 hektar. Pembangunan akan dimulai pada Januari 2017.

Menjadi pelatih fisika

Syahdan, College of William and Marry, Virginia, Amerika Serikat, berkesempatan menjadi tuan rumah ajang Olimpiade Fisika tingkat dunia pada tahun 1993. Terpilihnya College of William and Mary sebagai tuan rumah mengalahkan Massachussetts Institute of Technology, yang kala itu juga menyatakan kesediannya menjadi tuan rumah.

Gembar-gembor penyelenggaraan Olimpiade Fisika untuk kali ke-24 ini merebak ke sejumlah mahasiswa di Amerika Serikat. Tak terkecuali, informasi itu hinggap ke Yohannes Surya, yang kala itu sedang menimba ilmu tingkat doktoral di Physics Department, College of William and Mary. Dari informasi itu, terbayang oleh Yohannes untuk membawa siswa-siswa Indonesia mengikuti ajang tersebut.

Sejumlah rencana lalu disusun oleh Yohannes. Dia menghubungi Universitas Indonesia, tempat kuliahnya dulu, minta disiapkan sejumlah siswa sekolah menengah atas. Setelah diseleksi, akhirnya terpilih lima siswa terbaik. Sayang, Yohannes tak memiliki banyak waktu untuk melatih mereka. Karena waktu yang mepet dengan gelaran Olimpiade, praktis hanya dua bulan dia memberikan pelatihan.

Meski demikian, Yohannes boleh berbangga. Sebab, keikutsertaan Indonesia untuk kali pertama ini langsung menorehkan gelar medali meski hanya perunggu. Dalam ajang itu, Indonesia menempati peringkat ke-16 dari 42 negara peserta.

“Masalahnya, karena pelatihannya hanya dua bulan, jadi cuma dapat perunggu. Kalau pelatihan 7 bulan bisa dapat medali perak. Kalau mau meraih medali emas, minimal satu tahun,” kata Yohannes.

Berbekal pencapaian awal yang cukup membanggakan itulah, Yohannes mantap memilih jalan hidupnya mengabdi kepada bangsa melalui pendidikan. Selepas lulus program doktoral pada 1994, dia sempat bekerja selama enam bulan di Pusat Fisika Nuklir Amerika Serikat. Namun, akhirnya dia memutuskan pulang ke Indonesia. Kesempatan berkarier di Negeri Paman Sam itu dia tinggalkan.

“Saya pikir, dulu saya bisa kuliah di Amerika karena dapat beasiswa. Tak ada salahnya kalau saya pulang untuk membangun Indonesia,” ujarnya. “Indonesia harus jadi nomor satu. Hal itulah yang mendorong saya untuk mengabdi penuh di Indonesia.”

George Mandagie Meraih medali emas dari berbagai ajang kejuaran sains.
Metode pembelajaran

Melatih anak-anak agar mencintai fisika sungguh tidak mudah bagi Yohannes. Banyak kendala kerap dia jumpai. Menurut dia, kendala yang sering kali muncul adalah persoalan motivasi. Pasalnya, mengikuti Olimpiade Fisika butuh perjuangan besar. Latihan dari pagi hingga malam menjelang dini hari rutin dilakukan hampir setiap hari. Bila latihan seperti itu tidak didasari motivasi tinggi, mustahil rasanya bisa menjuarai Olimpiade Fisika tingkat dunia.

Karena itu, untuk memotivasi agar anak menikmati dan tidak merasa bosan belajar fisika, Yohannes menciptakan metode pembelajaran yang mudah dimengerti. Metode pembelajaran ciptaannya itu dia namakan Gasing (Gampang, Asyik, dan Menyenangkan). Baginya, kegiatan belajar harus sebisa mungkin dibuat gampang agar anak bisa menjawab semua soal.

“Kalau mereka masih kesulitan, berarti itu pelajaran belum gampang. Jadi, harus bisa dibikin segampang mungkin,” katanya.

Yohannes mengatakan, selama ini, banyak siswa mempelajari fisika menggunakan rumus. Cara ini, meski jadi anjuran, tak mudah bagi siswa mempelajarinya, lebih-lebih bagi anak yang masih tertinggal. Besar kemungkinan, mereka merasa bosan, lantas meninggalkan pelajaran yang terkenal sulit itu.

Mengantisipasi hal tersebut, cara demikian lalu diubah oleh Yohannes. Dia meyakinkan, tanpa rumus pun anak didiknya mampu mengerjakan soal fisika serumit apa pun. Dia mencontohkan ihwal mudahnya menjawab soal fisika tanpa rumus.

Misalnya, ada sebuah benda dilempar ke atas dengan kecepatan 70 meter per detik. Berapa lama waktu yang dibutuhkan benda tersebut untuk bisa sampai ke titik tertinggi?

“Benda yang dilempar dengan kecepatan 70 meter per detik itu, ketika bergerak semakin ke atas, kecepatannya akan semakin mengecil. Hingga titik teratas, benda itu berhenti dan balik arah turun ke bawah,” kata Yohannes.

“Itu terjadi karena ada gaya tarik bumi atau gravitasi yang menarik keceptan benda. Karena gravitasi bumi adalah 10 meter per detik kuadrat, maka ketika benda bergerak ke atas, kecepatannya akan berkurang 10 meter per detik. Jadi, tiap melaju satu detik tinggal dikurangi 10 saja. Kalau kecepatannya 70 meter per detik, maka untuk sampai ke titik tertinggi butuh waktu 7 detik.”

Contoh soal di atas merupakan satu dari sekian banyak soal fisika yang bisa dijawab tanpa rumus. Tentu, Yohannes punya beragam metode dalam mengajarkan anak didiknya untuk menjawab soal-soal fisika lainnya. Mengubah metode pengajaran ini menurutnya penting agar anak mudah memahami dan bisa menjawab pertanyaan yang diberikan.

“Kalau gampang, anak merasa tidak ada beban. Maka belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Jadi, dia menikmati belajarnya. Mau mengerjakan ribuan soal pun juga tidak ada masalah,” ujarnya.

Pencapaian sejauh ini

Sejak kali pertama mengikuti Olimpiade Fisika Internasional pada 1993, Indonesia lantas tak pernah absen dalam ajang bergengsi itu. Setiap tahunnya, Indonesia kerap langganan meraih medali. Meski belum bisa meraih medali emas, setidaknya ada peningkatan dengan raihan tambahan medali perak.

Setelah mondar-mandir hanya meraih perak dan perunggu selama tujuh tahun sejak keikutsertaannya, pada tahun 1999, akhirnya Indonesia mampu mendulang medali emas. Medali emas untuk kali pertama ini disumbangkan oleh anak didik Yohannes asal Bali, yakni Made Agus Wirawan.

Sejak meraih emas pertama itu, Yohannes semakin yakin akan kemampuan anak-anak Indonesia. Maka dari itu, tujuh tahun berikutnya, dia menargetkan pencapaian lebih tinggi lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia menginginkan prestasi juara dunia.

Karena target ambisiusnya inilah, Yohannes bergerilya menyambangi 250 kabupaten di Indonesia, dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur, Palembang, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dia mencari anak-anak Indonesia berbakat yang akan dia latih untuk meraih target impiannya itu.

Namun, upaya mencari siswa berbakat ini tak melulu berjalan mulus. Dari kunjungannya ke berbagai daerah, tak jarang dia temui sikap pesimistis anak-anak, guru-guru, dan pemerintah daerah setempat. Namun, itu tak lantas membuatnya patah semangat. Dia menepis anggapan miring itu. Alhasil, pada 2006, sesuai target, Indonesia berhasil menjuarai Olimpiade Fisika dengan gelar Absolute Winner.

“Memang saya nekat. Orang pikir, berani amat. Banyak yang pesimistis juga. Namun, dengan kerja keras dan persiapan matang, saya bilang kita bisa jadi juara dunia,” kata pria kelahiran Jakarta, 6 November 1963, itu. “Namun, ini semua juga tidak lepas berkat Tuhan yang Maha Esa untuk masyarakat Indonesia, hingga akhirnya kita bisa jadi juara dunia.”

Sudah lebih dari 20 tahun Yohannes berkiprah melatih anak-anak Indonesia dalam pelajaran fisika. Jika ditotal, kini lebih dari 100 medali telah sukses diraih anak didiknya dari setiap ajang perlombaan fisika internasional.

Yohannes melatih anak-anak dari berbagai wilayah. Rata-rata memang kebanyakan berasal dari wilayah Indonesia Timur. Pemilihan ini didasari karena merujuk pada program pemerintah yang mengedepankan membangun daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).

Cita-cita ke depan

Meski telah sukses menjadikan Indonesia juara dunia dalam ajang Olimpiade Fisika, bagi Yohannes, itu belum cukup. Dia memiliki cita-cita dan impian lebih “gila” lagi. Dia ingin Indonesia mempunyai peran besar di dunia. Target pertama ia canangkan pada 2030. Pada tahun itu, Indonesia bisa berjaya di kancah global.

Untuk mencapai itu, dia kemudian menciptakan banyak guru melalui beasiswa kepada anak-anak dari berbagai pelosok negeri. Mereka dilatih menjadi guru profesional yang tak hanya bisa menguasai materi pelajaran fisika dengan baik, tetapi juga bisa mengajar dengan berbagai macam metode pengajaran.

Dia berharap, guru-guru inilah yang nantinya, ketika pulang ke kampung halaman masing-masing, bisa menjadi garda terdepan memberikan pendidikan kepada generasi penerus di pelosok-pelosok Nusantara.

Selanjutnya, target kedua yang dicanangkannya pada 2045 adalah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara superpower dunia. Pencapaian tersebut dia targetkan karena berkaca pada kekuatan China saat ini. Yohannes mengatakan, China bisa bangkit menguasai ekonomi dunia hanya dalam 20 tahun.

Jika target Yohannes menjadikan Indonesia negara superpower pada 2045, maka Indonesia masih punya waktu sekitar 29 tahun untuk berbenah agar dapat melampaui Negeri Tirai Bambu. Hal ini juga merupakan kado momentum 100 tahun Indonesia setelah merdeka.

“Kita sangat mungkin bisa menjadi negara superpower. Kita masih punya banyak waktu. Kalau China saja bisa menjadi negara superpower, masa kita tidak bisa?” katanya.

Untuk mencapai misi tersebut, kata Yohannes, ada beberapa aspek yang perlu menjadi fokus perhatian. Sumber daya alam adalah aspek utama yang perlu dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan bangsa Indonesia. Namun, untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam itu, dia menyadari, perwujudannya perlu ditopang dengan dukungan teknologi tinggi.

Maka dari itu, agar Indonesia mampu menciptakan banyak teknologi baru, diperlukan riset dan penelitian yang rutin. Itu sebabnya Yohannes kemudian mendirikan Surya Research and Education Center, sebuah universitas yang berbasis riset dan penelitian.

Di kampus yang dia dirikan itu, mahasiswa memang diarahkan untuk melakukan riset dan penelitian sejak tahun pertama mereka kuliah. Iklim ini sengaja dia ciptakan agar ke depan Indonesia banyak menghasilkan riset dan penelitian, yang saat ini masih jauh tertinggal dari negara-negara lain.

“Semangat saya ini sebenarnya juga ingin mendorong agar universitas-universitas lain juga lebih banyak riset. Kalau universitas lain sudah bisa riset semua, itu bagus sekali sehingga kita benar-benar punya iklim riset yang bagus agar Indonesia bisa berkembang lebih baik,” katanya.

Dengan banyak riset dan penelitian, dia berharap Indonesia bisa menguasai perkembangan teknologi mutakhir. Kelak, teknologi yang diciptakan Indonesia bisa digunakan di seluruh dunia.

“Jadi, penguasaan teknologi itu harus diutamakan. Kalau kita kuat di bidang teknologi, percayalah, kita bisa menjadi negara superpower,” kata Yohannes. (Tito Dirhantoro)

Artikel ini sebelumnya tayang di Ruang Gramedia.com dengan judul "Dari Fisika Menuju Superpower Dunia"

Buku-buku terkait di Gramedia.com:

1. Asyik Belajar Fisika 
2. Fisika Batik 
3. Kreativitas Itu Dipraktekin

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com