Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eka Kurniawan Si Pengembara Ransel

Kompas.com - 21/01/2017, 23:13 WIB

Sebelum dikenal sebagai seorang penulis, Eka Kurniawan menghabiskan masa kecil dan remajanya di Pangandaran. Ia lulus dari SMA PGRI Pangandaran, dan kemudian kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada—lulus pada 1999.

Ia kemudian menerbitkan novel bertajuk Cantik Itu Luka pada tahun 2002, yang tiga belas tahun kemudian menjadi bahan perbincangan setelah diterbitkan oleh New Directions.

Namun, jauh sebelum semuanya itu, Eka sebetulnya pernah terdaftar sebagai siswa di SMAN 1 Tasikmalaya.

Pada sebuah wawancara dengan Linda Christanty untuk majalah Dewi, ia mengaku tak pernah suka sekolah, dan bahkan pernah bolos masuk ke sekolah tersebut selama tiga bulan untuk mengelilingi Jawa. Ia harus pindah sekolah ke Pangandaran karena petualangannya itu.

Saya merasa ini fakta yang menarik dari seorang Eka Kurniawan. Novelnya Cantik Itu Luka memang penuh dengan pengembaraan. Salah satu karakternya Kliwon, karena patah hati, hidup menjadi gelandangan dan mengais sampah untuk berebut makanan dengan anjing.

Pada sebuah wawancara santai di kafe Javaro, Palmerah, saya berkesempatan untuk menggali lebih lanjut mengenai pengalamannya ini.

Gramedia.com: Saya baca dari wawancara Anda dengan Linda Christanty, bahwa Anda pernah kabur dari rumah dan berkelana mengelilingi Jawa.

Eka Kurniawan (tertawa) Ada beberapa hal yang bisa saya ingat soal itu, tapi ada juga yang saya tidak ingat lagi. Itu terjadi ketika saya kelas satu SMA. Alasan tepatnya sendiri saya sudah lupa. Mungkin krisis remaja saja. Saya ingin sekali melihat hal-hal lain. Saya hidup di kota kecil, meskipun juga not bad sih. Yang saya suka simpel: saya suka baca buku, saya suka dengar musik. Enggak terlalu pengin banyak hal. Tapi saat itu saya juga ingin melihat hal-hal lain, hal-hal baru, dan saya rasa sih, pada tingkat-tingkat tertentu saya merasa kehidupan remaja saya sangat membosankan. (tertawa)

G: Anda kabur ke mana?

EK: Sebenarnya tidak berniat kabur sih. Saya hanya, kalau istilah anak sekarang, backpacker-an. Saya niat pergi dan balik lagi, cuma enggak bilang saja. Karena kalau bilang (ke orang tua), tentu enggak akan boleh.

G: Seno Gumira Ajidarma pernah melakukan hal yang sama. Apakah ini salah satu hal yang menginspirasi?

EK: Oh ya? Jaman itu saya bahkan belum tahu Seno Gumira Ajidarma. (tertawa) Itu terjadi tahun 1991, tetapi barangkali ada hubungannya juga dengan cerita silat. Saya suka banget cerita silat, dan cerita-cerita di mana anak-anak muda pergi bertualang. Lima Sekawan. Buku-buku Karl May. Kalau dari Indonesia, Balada Si Roy-nya Gol A Gong. Sebenarnya niat saya tidak besar seperti ingin melihat dunia. Sederhana saja, ingin keluar dari kota kecil tempat saya tinggal.

G: Ketika itu, bagaimana Anda mencukupi kebutuhan sehari-hari Anda?

EK: Saya pergi selama tiga bulan. Untuk mencukupi kebutuhan sebenarnya sederhana. Pertama, saya selalu diberikan uang jajan oleh orang tua selama sekolah. Dan saya bukan anak yang gemar belanja—saya cuma membeli buku dan kaset—sehingga uangnya bisa saya simpan. Teman-teman saya punya sepeda motor dan uangnya habis beli bensin—saya enggak. Saya pakai sepeda atau naik angkutan umum. Mereka juga suka bergerombol main ding-dong—biasanya ada dibawah bioskop. Saya tidak terobsesi dengan itu. Jadi, ketika saya pergi, uangnya cukup—bisa bertahan dengan yang saya punya.

Di jalan saya juga berpikir bagaimana saya bisa enggak bayar bus, misalnya saya naik hitchiking (menumpang mobil yang lewat), atau naik pick-up sayuran dan sopirnya saya kasih rokok. Atau naik kereta tetapi enggak bayar tiket. Jaman itu kan masih memungkinkan. Saya kucing-kucingan saja dengan kondektur keretanya.

G: Di mana Anda tidur?

EK: Macam-macam sih. Ada yang tidur di perjalanan, tidur di terminal bus—biasanya terminal bus yang agak rame, yang paling tidak dua puluh empat jam ada orang; tergeletak saja di sana. Atau di masjid. Paling sering sih di masjid. Saat itu ujung perjalanan saya adalah Tangerang. Saya baru pertama ke Jakarta. Saya tersasar naik bus Jakarta, dan tiba-tiba sampai di Tangerang. Kalau sekarang kan itu hitungannya masih dekat, masih Jabodetabek. Kalau dulu kan, wah, sudah keluar kota nih. Waktu itu di terminal. Di terminal itu ada masjid, tidur deh di masjid. Esoknya balik lagi ke Jakarta. Hanya sekali saya ingat menginap di losmen. Di Jawa Tengah.

ISTIMEWA Cover buku Cantik Itu Luka.
G: Pada Cantik Itu Luka, setelah Kliwon ditolak cintanya oleh Alamanda, ia pergi hidup di jalan. Apakah Anda menulis bagian itu dengan mengambil dari pengalaman Anda sendiri?

EK: Mungkin saja ya. Setelah jalan-jalan itu, saya pulang lagi ke rumah. Saya pindah sekolah dari Tasikmalaya ke Pangandaran. Ketika itu saya sering tidur di luar, nongkrong sama teman-teman di pos ronda atau di pinggir pantai. Biasalah anak remaja di kota kecil, suka tidur di luar.

G: Anda—dengan Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad—menulis Kumpulan Budak Setan, sebuah kumpulan cerita horor sebagai tribut untuk Abdullah Harahap. Apakah itu juga sesuatu yang berasal dari masa muda Anda? Ketika itu Anda sudah pernah menulis horor?

EK: Sebenarnya nulis, tetapi bukan cerpen. Ketika SMA saya sudah mencoba-coba bikin novel. Tapi kemudian (naskahnya) hilang. Ada dua yang masih saya ingat, yang pertama kisang tentang seseorang yang balik dari kota; dia nyetir sendiri, melewati hutan, dan tahu-tahu di mobilnya ada orang asing. Yang kedua tentang dua anak remaja mereka suka satu sama lain tapi tidak berani mengakui, meskipun mereka dekat. Akhirnya mereka pergi ke pinggir pantai, bikin kembang api, dan mengobrol. Sampai malam tiba. Kemudian mereka bingung mau pulang atau menginap di pantai—mereka enggak bawa peralatan kemping. Di situ ada perahu. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur di situ, satu di sisi pertama, yang lain di sisi kedua. Ketika mereka bangun, mereka sudah ada di suatu tempat yang asing—perahunya terbawa air. Di situ ada (elemen) horor, juga romance.

G: Ini juga mengingatkan saya kepada bagian di Cantik Itu Luka, ketika Kliwon kabur dengan Alamanda ke tengah laut. Apakah ini juga diinspirasi oleh tulisan Anda ketika remaja?

EK: Sepertinya sih. Ketika itu saya juga mencoba menulis cerita silat. Judulnya sesuatu dengan “Tujuh Pendekar.” Ceritanya, ada tujuh murid terakhir dari sebuah perguruan, dan mereka punya ilmu yang berbeda. Ketika gurunya meninggal, mereka disuruh mengabdi ke masyarakat. Sebenarnya saya membayangkan premisnya begitu: Tujuh murid, dengan tujuh kemampuan berbeda, dan kemudian timbul konflik. Tetapi kemudian saya enggak tahu konfliknya akan seperti apa. (tertawa)

G: Apa saja yang perlu diingat ketika menulis sesuatu berdasarkan apa yang kita telah alami?

EK: Tak ada hal spesifik dari "apa yang perlu diingat". Saya percaya, ingatan, seperti makhluk hidup, memiliki hukum alamnya sendiri. Ingatan-ingatan tertentu cenderung akan bertahan lama, ingatan lain akan pudar dengan sendirinya. Tapi secara umum, hal-hal yang menarik perhatian kita cenderung bertahan lama, karena barangkali hal itu memang berarti banyak untuk kita. Merawat hal-hal yang menarik perhatian kita, mencoba memperluasnya, saya kira merupakan cara yang alamiah untuk membuat banyak hal tertanam dalam ingatan. (Norman Erikson Pasaribu)

Artikel ini sebelumnya tayang di Ruang Gramedia.com tanggal 1 Oktober 2016.

Buku terkait:

"Cantik Itu Luka" 
"Ripin Cerpen Pilihan Kompas 2005-2006"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com